Serial-Raja Ulugh Beg, Rektor Bintang Dibunuh Intrik (1): Ini Samarkand, Bung!

Breaking News
- Advertisement -

 

by: Muhammad Joni

Mudanews.com OPINI – Pagi itu, kota Samarkand seperti museum terbuka. Matahari muncul dari balik kubah biru Registan. Sang surya menyinari mosaik kaligrafi yang berkilau seperti serpihan kaca.

Jalanan dipenuhi turis dengan kamera. Penjual suvenir dengan khas topi karakul –qarakul do’ppi dari kulit domba ringan– dan menyeruak aroma roti khas Uzbek yang baru keluar dari tungku tanah liat.

Namun bagi mereka yang peka, setiap batu di kota berseni ini bukan sekadar artefak, melainkan saksi bisu dua kekuatan yang selalu berseteru: pedang Amir Timur dan bintang Ulugh Beg.

Patung Amir Timur menjulang di alun-alun utama. Wajahnya keras. Sorban menjulang. Sorot matanya menatap sampai jauh. Uhh.., seolah menembus masa depan. Dia duduk dengan gulungan di tangan, simbol visi dan kekuasaan.

Para pemandu wisata berbisik pada rombongan: “Itulah Tamerlane, panglima besar abad ke-14. Dari Samarkand, Amir Temur menaklukkan Persia, India, hingga Anatolia.”

Amir Timur lahir dari tanah stepa. Dia tumbuh sebagai prajurit. Dan, menjadi penguasa imperium yang membentang dari Delhi hingga Damaskus. Tangannya berlumuran darah, tetapi juga berlumuran cat arsitektur. Yang membangun Masjid Bibi-Khanym nan megah. Dia mendirikan Gur-e-Amir—makamnya sendiri—yang kini menjadi magnet sejarah.
Baginya, kota bukan sekadar permukiman, tapi monumen menceritakan geliat kejayaan dan etos kepemimpinan kepada zaman.

Namun di balik segala monumen itu, ada paradoks. Amir Timur membangun Samarkand dengan pedang. Dia memindahkan ribuan pengrajin dari kota yang ditaklukkan ke ibu kota barunya, memaksa mereka mendirikan madrasah, masjid, dan taman. Samarkand tumbuh, tapi darah mengalir di fondasinya demi kuasa.

Lalu, datanglah cucunya: Ulugh Beg (1394–1449). Berbeda dengan sang kakek, ia tak memegang pedang, melainkan pena dan teropong bintang. Dia tak membangun benteng, melainkan observatorium si mata planet bumi ke langit.

Jika Amir Timur menaklukkan bumi, maka Ulugh Beg ingin menaklukkan rahasia langit. Jalan takluk total kepada Tuhan.

Pedang di Tangan Timur

Amir Timur dikenal sebagai panglima yang tak kenal ampun. Dalam setiap pertempuran, dia tak hanya mengalahkan musuh, tapi juga mengukir pesan.

Di Delhi, ia membangun menara dari tengkorak prajurit yang gugur. Di Persia, ia mengirim tawanan untuk membangun masjid megah. Bagi Timur, kemenangan bukan hanya soal wilayah, tapi juga soal simbol.

Beatrice Forbes Manz dalam The Rise and Rule of Tamerlane (1989) mencatat bagaimana Timur membentuk imperiumnya dengan kombinasi teror dan keindahan. Dia menanamkan rasa takut sekaligus kekaguman.

Samarkand menjadi pusat peradaban karena dirawat dengan tangan besi—tangan yang sama yang mencabut nyawa ribuan orang.

Namun, di antara semua simbol kekuasaan, ada satu yang paling personal: Gur-e-Amir, makamnya sendiri. Kubah birunya berkilau seperti safir. Alamak dindingnya dihiasi kaligrafi emas berkilauan. Amir Timur ingin dikenang bukan hanya sebagai penakluk, tapi juga sebagai arsitek keabadian.

Bintang di Mata Ulugh Beg

Berbeda dengan kakeknya, Ulugh Beg adalah pangeran yang lebih suka angka daripada pedang. Sejak muda, dia gemar membaca kitab matematika dan astronomi. Ketika naik takhta sebagai Gubernur Samarkand, dia tidak mempersiapkan pasukan perang, melainkan memanggil para ilmuwan.

Tahun 1420, dia mendirikan Madrasah Ulugh Beg di Registan. Bangunannya megah, pintu gerbangnya dihiasi mosaik biru, dengan kaligrafi yang menyatakan: “Mencari ilmu adalah kewajiban setiap muslim, laki-laki maupun perempuan.”

Di dalamnya, mahasiswa dari berbagai negeri berkumpul: Persia, India, Anatolia, Mongolia. Mereka tinggal di asrama, makan bersama, belajar siang-malam.

Tapi Ulugh Beg tidak berhenti di situ. Tahun 1428, dia membangun Observatorium Samarkand, salah satu yang terbesar di dunia Islam. Bangunannya berbentuk silinder raksasa, dengan instrumen sextant marmer setinggi tiga lantai.

Dari sana, dia dan para ilmuwan mengukur posisi koordinat bintang dengan akurasi luar biasa.

Hasilnya adalah Zij-i Sultani, katalog bintang dengan 1.018 entri. Akurasinya baru bisa disaingi tiga abad kemudian, ketika Galileo dan Kepler muncul di Eropa.

Raja Ulugh Beg membuktikan bahwa Islam tidak hanya melahirkan ulama, tapi juga saintis kosmik.

Kota Pedang dan Kota Bintang

Di satu sisi, Samarkand adalah kota pedang: dibangun oleh Amir Timur dengan darah dan besi. Di sisi lain, Samarkand adalah kota bintang: dijaga oleh Ulugh Beg dengan pena dan teleskop. Dua generasi, dua jalan. Tetapi keduanya bermuara pada satu hal: keabadian.

Namun sejarah kejam. Ulugh Beg, sang ilmuwan, justru dihancurkan oleh konspirasi-intrik politik. Kaum konservatif menuduh observatoriumnya sesat. Para bangsawan iri pada caranya yang lebih sibuk dengan bintang daripada perang. Bahkan putranya sendiri berkhianat, hingga dia dibunuh.
Observatorium diratakan dengan tanah, katalog bintang hampir saja musnah-hilang.

Tapi seperti kata Andrea Hirata, “Bintang tidak bisa dimatikan.” Data Ulugh Beg tetap hidup. Zij-i Sultani dibawa ke India, Persia, bahkan sampai ke Eropa. Ilmuwan Renaissance membacanya, dan darinya lahir sains modern.

Samarkand Hari Ini

Kini, Samarkand menjadi kota wisata. Registan Square menjadi latar foto pengantin. Patung Amir Timur jadi ikon nasional. Observatorium Ulugh Beg jadi reruntuhan yang dibangitkan lagi, kini menjadi situs kunjungan turis. Tapi bagi mereka yang mau mendengar, setiap batu berbisik.

Dari Amir Timur, kita belajar bahwa kekuasaan bisa membangun kota, tapi sering meninggalkan luka.

Dari Ulugh Beg, kita belajar bahwa ilmu bisa membangun peradaban, meski pemiliknya dibunuh.

Samarkand adalah pengingat bahwa pedang bisa meruntuhkan tembok, tapi hanya bintang yang bisa menembus waktu. Samarkand, kota paradoks: dibangun dengan pedang, bertahan dengan bintang. Ini Samarkand , Bung!

Maka, amba merasakan aura ‘agak laen’ yang meneropong jantung tatkala memakan gizi dari nalar magnum opusnya, asa serial buku mini ‘Raja Ulugh Beg, sang Rektor Bintang yang Dibunuh Intrik’. Al Fatiha lahu Ulugh Beg.

Tabik.

*) Muhammad Joni, Advokat, Sekjen PP IKA USU, Ketua bidang Sospol, Hukim dan Advokasi PB Ikatan Sarjana Melayu Indonesia (ISMI), Anggota Majelis Pakar Majelis Nasional Korp Alumni HMI (KAHMI); e-mail: jonitanamalaw@gmail.com

Berita Terkini