Mudanews.com OPINI | Di meja kayu tua perpustakaan saya terhampar peta—sebuah peta yang dibuat oleh para akademisi Oxford: baris-baris tertua dunia pendidikan tinggi.
Ada sesuatu yang menampar nalar amba di sana: tiga dari lima institusi paling awal yang tercatat adalah institusi Islam — al-Zaytunah (Tunis, abad ke-8), al-Qarawiyyin (Fez, 859), al-Azhar (Kairo, 972) — lalu muncul Bologna (1088) dan Oxford (1096).
Fakta itu bukan kebetulan; namun sejarah yang menolak untuk dipadatkan menjadi kebanggaan tunggal satu klaim peradaban.
Kenapa peta itu jujur menempatkan beberapa lembaga Islam di puncak? Karena jika kita membaca sejarah secara serius, “universitas” bukan hanya gedung batu atau gelar, psoudo kasta senat akademik, MWA atawa rektorat —tetapi praktik panjang: ruang belajar yang berkelanjutan, rantai hati guru-murid, tradisi pengajaran yang memberi otoritas (ijazah/ijazah pengajar), dan—paling penting—kontinuitas.
Al-Qarawiyyin, misalnya, sering disebut oleh UNESCO dan sejumlah penulis sebagai salah satu lembaga tertua yang terus beroperasi karena riwayatnya yang berkelanjutan sebagai pusat pengajaran yang juga memberi otoritas akademik.
Al-Azhar tumbuh dari masjid istana Fatimid menjadi mercusuar ilmu Sunni. Bologna dan Oxford, di sisi lain, mewariskan model organisasi universitas yang terinstitusionalisasi ala Eropa (guild mahasiswa/dosen dan struktur kurikulum formal).
Lalu, pertanyaan logis muncul: mengapa Al-Andalus — kota-kota seperti Córdoba dengan Bayt al-’Ilm megahnya, perpustakaan besar, dan para ilmuwan besar — sering luput dari daftar “universitas tertua”?
Jawabannya adalah definisi. Kota-kota Andalusia benar-benar pusat ilmu: perpustakaan, majelis ilmiah, madrasah, dan istana-akademi.
Namun banyak kegiatan intelektual itu tidak selalu terbingkai sebagai “universitas” dalam arti institusi hukum/kurikulum-gelar seperti yang kemudian muncul di Bologna.
Andalusia adalah jantung intelektual yang memberi makan Eropa lewat terjemahan dan kontak budaya—tetapi bentuk organisasinya sering berbeda: kolektif belajar, perpustakaan besar, majlis ilmiah, bukan “studium generale” yang terikat hukum kerajaan atau surat izin universitas.
Makdisi dan banyak sejarawan menekankan peran civilizational Al-Andalus tanpa menyamakan semua pusat ilmunya dengan universitas bergelar abad pertengahan Eropa.
Bagaimana dengan Samarkand? Jangan salah: Samarkand itu indah dan (ini yang penting): salah satu titik terpenting Jalur Sutra—bukan hanya perdagangan, tetapi juga ilmu.
Raja Ulugh Beg membangun madrasah monumental di Registan (1417–1421) yang menjadi pusat astronomi dan matematika Timur Tengah pada masanya. Dia cucu Raja Amir Temur dari Uzbek.
Namun struktur Timur-Asia Tengah itu lebih mirip madrasah-akademi yang sangat terkemuka daripada “universitas” bergelar ala Bologna.
Menariknya, menyebut Raja Ulugh Beg sebagai “universitas” adalah frasa yang menggoda tetapi juga berisiko anachronistic—bagaimanapun madrasah-madrash itu punya pengajaran yang intens dan besar pengaruhnya pada jaringan ilmu. Selain raja, Ulugh Beg adalah penemu koordinat bintang yang presisi. Dia raja-cum-rektor “universitas bintang”.
Sekarang, bergeser ke skala lokal: bagaimana membandingkan tradisi-tradisi besar itu dengan ruh universitas seperti Universitas Sumatera Utara (USU)?
USU lahir dalam konteks nasionalisme pembangunan—didirikan 1952, diresmikan 1957—sebuah institusi yang lahir dari kebutuhan sosial-ekonomi wilayah (Sumatera Utara) untuk pembentukan kelas profesional, pelayanan publik, dan pembangunan daerah.
Kalau universitas-awal dunia membangun sumbu ilmu peradaban atau pengajaran agama-ilmiah, aha.. kemana perguruan tinggi negeri lokal-062, seperti USU membawa misi: mobilitas sosial, penelitian terapan untuk masalah lokal, dan jembatan antara kampus-negara-masyarakatnya.
USU bisa diarsitekti menjadi contoh bagaimana ruh universitas menyesuaikan misi dengan konteks: dari kesehatan masyarakat, pendidikan profesi, sampai advokasi kebijakan daerah.
Apa pelajaran sosialnya?
Perrama; Kontinuitas dan legitimasi: institusi yang bertahan lama bukan sekadar soal usia, melainkan legitimasi sosial—yang datang dari kemampuan mengajar, memberi otoritas (gelar/ijazah), dan merespons kebutuhan zamannya. (Al-Qarawiyyin, Al-Azhar vs madrasah-madrash Andalusia).
Kedua; Bentuk lebih penting daripada nama: “universitas” sebagai kata latin kadang menutup cara lain pengetahuan disusun—madrasah, majlis, perpustakaan besar, observatorium—semuanya kontribusi ke peradaban.
Kwriga; Dampak lokal vs global: lembaga seperti Ulugh Beg atau Bayt al-Hikmah mengubah disiplin (astronomi, matematika, filsafat) yang kemudian menyebar; kampus modern seperti USU mengubah kondisi lokal—kesehatan, hukum, ekonomi—yang langsung menyentuh hidup orang banyak.
Penutup
Bayangkan seorang mahasiswa di halaman Zaytunah, seorang siswa di bawah kubah Ulugh Beg, dan seorang sarjana muda pulang dari USU ke desa—mereka semua memikul harapan yang sama: pengetahuan untuk mengubah hidup.
Bentuknya berbeda, waktu berbeda, tapi roh yang sama: universitas bukan monumen; namun akumulasi janji—janji bahwa belajar punya kuasa untuk merombak dunia, perlahan namun pasti. Menjadikan ruh USU ialah: university for society. Ahooi. Salam hangat.
Tabik.
Adv. Muhammad Joni — Sekjen PP IKA USU, Ketua bidang Sospol, Hukum dan Advokasi Pengurus Besar Ikatan Sarjana Melayu Indonesia (ISMI).