Oleh: Agusto Sulistio
(Diskusi kecil The Activist Cyber – pikiranmerdeka.com)
Mudanews.com OPINI – Pergantian kursi Menteri Keuangan dari Sri Mulyani ke Purbaya membawa warna baru. Publik disuguhi kabar segar, ada dana mangkrak Rp 200 triliun di Bank Indonesia yang dialihkan ke lima bank negara untuk disalurkan ke masyarakat melalui kredit produktif. Sekilas, ini seperti oase di tengah dahaga rakyat. Seakan-akan uang yang selama ini hanya tidur akhirnya bisa digerakkan demi rakyat kecil.
Namun, jangan buru-buru terbuai. Kita mesti melihat lebih jernih, uang Rp 200 triliun itu bukan bantuan gratis, bukan pula suntikan tunai ke kantong rakyat. Itu adalah kredit. Pinjaman yang harus dikembalikan, lengkap dengan bunga, sesuai mekanisme perbankan. Bank tetap akan menyeleksi ketat siapa saja yang layak menerima. Artinya, hanya mereka yang punya usaha jelas, jaminan memadai, dan catatan keuangan yang rapi yang bisa mengaksesnya.
Analogi sederhananya, kita bayangkan ada tetangga kaya yang punya beras 10 karung. Dia tidak membagikannya ke warga yang kelaparan, tapi hanya mau meminjamkan dengan syarat harus ada jaminan emas atau sertifikat tanah. Padahal banyak warga bahkan untuk makan hari itu saja sudah kesulitan, apalagi punya jaminan. Maka yang kenyang tetap mereka yang sudah relatif mampu, sementara yang lapar tetap lapar.
Lantas, bagaimana dengan jutaan rakyat yang saat ini menganggur, dagangannya sepi, atau warung kecil yang pembelinya kian menipis? Mereka tetap tersisih.
Inilah problem dasarnya, daya beli rakyat sedang rapuh. Pasar sepi bukan karena barang tidak tersedia, tetapi karena dompet rakyat kosong. Apa artinya stok barang melimpah kalau pembelinya tidak ada? Apa gunanya kredit produktif kalau hasil produksi akhirnya menumpuk di gudang karena rakyat tak mampu membeli? Situasi ini berpotensi menjadi lingkaran setan, usaha yang mendapat kredit justru terjerat utang karena tidak mampu menjual dagangannya. Akhirnya bank menghadapi kredit macet, sementara rakyat kehilangan harapan.
Ini seperti memberi bensin gratis kepada sopir angkot, tetapi penumpang tidak ada. Mobil memang bisa jalan, tapi akhirnya berhenti juga karena kursi kosong. Atau ibarat listrik rumah tangga, semua kabel sudah terpasang, lampu siap menyala, peralatan elektronik ada, tapi token listrik di meteran kosong. Tanpa isi ulang, semuanya mati. Begitu juga ekonomi, produksi boleh jalan, kredit boleh cair, tetapi tanpa daya beli rakyat, roda perdagangan tetap macet.
Kita bisa belajar dari pengalaman negara lain. Amerika Serikat pasca-krisis 2008 menggelontorkan dana besar melalui “Quantitative Easing”. Hasilnya? Bank selamat, korporasi besar kaya raya, tapi rakyat kecil tetap terseok. Pemerintah baru sadar ketika ketimpangan makin melebar, lalu buru-buru mengoreksi kebijakan dengan membagi stimulus check langsung ke rumah tangga. Jepang pun pernah menghadapi krisis serupa di 1990-an. Bedanya, mereka tidak hanya mengandalkan kredit perbankan, melainkan membangun lapangan kerja nyata lewat proyek padat karya dan infrastruktur lokal. Rakyat diberi pekerjaan, daya beli pulih, dan roda perdagangan bergerak lagi.
Pelajarannya jelas, uang triliunan lewat bank tidak akan otomatis sampai ke meja makan rakyat. Ekonomi rakyat tidak bisa hanya diselamatkan lewat angka di neraca bank, tapi lewat strategi konkret yang menyentuh dapur rumah tangga.
Lalu, apa yang penting dilakukan pemerintah?
Pertama, selamatkan rakyat dari jurang kelaparan dengan bantuan langsung. Ini bukan soal memanjakan, melainkan menjaga keselamatan sosial. Kelaparan yang meluas adalah ancaman stabilitas negara.
Kedua, ciptakan lapangan kerja cepat melalui program padat karya, proyek infrastruktur lokal, dan pemberdayaan desa. Bukan sekadar proyek besar yang menguntungkan kontraktor, tetapi pekerjaan riil yang memberi gaji langsung ke rakyat.
Ketiga, permudah usaha mikro dan ultra-mikro untuk mengakses modal tanpa syarat jaminan berat. Mereka inilah yang menjadi denyut nadi ekonomi pasar tradisional dan warung kecil.
Rp 200 triliun itu bisa menjadi peluang, tapi jangan sampai hanya jadi angka ilusi di papan presentasi. Rakyat butuh bukti, bukan janji. Pemerintah harus berani keluar dari jebakan logika perbankan semata, dan menaruh fokus pada menghidupkan daya beli rakyat. Sebab tanpa rakyat yang punya uang di tangan, semua kebijakan ekonomi hanyalah menara gading yang indah dilihat dari jauh, namun rapuh di dalamnya.
Kini, tugas kita bersama sebagai rakyat adalah mengawasi setiap rupiah dari kebijakan ini. Jangan biarkan Rp 200 triliun hanya berputar di lingkaran elit dan pengusaha besar, sementara rakyat kecil hanya menjadi penonton. Kita harus bersuara, mengkritisi, dan menuntut agar uang negara benar-benar kembali pada tujuan sejatinya: menyejahterakan rakyat banyak, bukan segelintir pemilik modal.***
Kalibata, Jaksel, Minggu 21 September 2025, 18:45 Wib.