Oleh : Muhammad Joni
Mudanews.com OPINI | Universitas sering disanjung seperti menara gading: tinggi, megah, tetapi jauh dari denyut rakyat. Universitas Sumatera Utara (USU) pun menghadapi ironi serupa.
Nama besarnya masih bergema, tetapi publik kini lebih sering mendengar nyaring isu politik dan tuduhan yang extraordinary ketimbang mendengar riset dan prestasi akademik skala extra ordinary.
Padahal, sejarah USU adalah sejarah kampus rakyat. USU lahir bukan sekadar sebagai proyek pendidikan tinggi, melainkan sebagai hasrat rakyat Sumut agar ilmu bisa jadi jalan perubahan. Karena itu, USU seharusnya tidak terjebak dalam hiruk-pikuk politik internal, melainkan kembali pada akar: memberi dampak sosial.
Oxford: Inspirasi
Oxford kini mengukur keberhasilan bukan hanya lewat Nobel atau peringkat dunia, tapi juga lewat Oxford Social Impact—seberapa nyata riset mereka menjawab masalah kesehatan, energi, atau solidaritas komunitas.
Universitas besar itu tidak sekadar bicara teori, tetapi hadir dalam denyut persoalan.
Bayangkan jika USU mengambil langkah serupa. Tidak lagi berhenti pada slogan hiperpolis World Class University, melainkan nyata menjadi University for Society. Ukuran keberhasilannya bukan sekadar akreditasi, ranking-rangkingan versi sana sini. Akan tetapi seberapa jauh desa-kampung di Langkat dan Batu Bara terancam ganasnya abrasi, USU bisa membantu. Kebijakan daerah dilahirkan dari riset menjaga tanah adat dan jiwa hak ulayat tidak diembat, dan anak muda terbimbing untuk mencipta perubahan.
Tiga Langkah Bangkit
Ada tiga langkah penting agar USU bisa bangkit. Pertama, arahkan riset pada masalah rakyat Sumut—abrasi pantai, deforestasi, kesehatan desa, kemiskinan kota.
Kedua, bentuk mahasiswa sebagai agen perubahan, bukan sekadar pencari ijazah. Ijazah alumni USU kudu plus.
Ketiga, bangun jejaring sosial: merangkul pemerintah, tapi menjaga marwah. Berakrab-akrab dengan organisasi alumni bukan mengeliminasi. USU kudu bersahabat dengan komunitas adat sebagai lumbung ilmu kearifan budi, bukan membiarkan “ayam dieksekusi di limbung padi” di depan halaman sendiri.
Pelaku usaha diajak partisipasi UPP: university-private partnership; bukan akuisisi.
Berkawan dalam pergulatan akal dan berlomba amal dengan NGO, dan media jangan didiamkan.
Suara Alumni
USU tidak boleh diam ketika sorotan publik begitu tajam. Apapun isu yang beredar, apalagi sensitif, harus dijawab dengan terang dan bukti.
USU ini kampus rakyat, dan rakyat berhak melihat universitas hadir nyata—dengan riset yang membumi, pendidikan yang bermoral, dan dampak sosial yang dirasakan lingkungan.
IKA USU mendorong calon rektor agar mengembalikan kepercayaan publik, menjadikan USU bukan sekadar menara gading, tetapi universitas untuk masyarakat yang tak renggang-jaih dari realitas sosial yang payah.
USU memang kebanggaan Sumut. Tetapi kebanggaan tanpa kontribusi hanyalah nostalgia. Universitas sejati hadir di tengah rakyat, mengubah kehidupan sehari-hari, bukan sekadar menambah angka di indeks sitasi.
Kini saatnya USU menulis bab baru. Jika Oxford mampu menyalakan obor social impact untuk dunia, USU bisa menyalakan lentera perubahan bagi Sumatera.
Lebih baik jadi mercusuar kecil yang menyinari kampung daripada menara gading yang membeku dalam kesepian.
USU harus bangkit—dari kampus rakyat, untuk rakyat, demi bangsa. Menjadi “Pengabdi Bangsa” seperti sepotong lirik mars USU. Cukupkan gaya. Banyakkan karya. Tabik***