Oleh Erizeli Bandaro
Mudanews.com OPINI – Sore di sebuah café di bilangan Menteng. Hujan baru saja reda/ Lampu gantung berwarna kuning temaram memantulkan bayangan meja-meja kayu. Saya sudah duduk lebih dulu di pojok, menyeruput cappuccino yang masih mengepulkan asap. Dari balik kaca, saya melihat Mia berjalan masuk—blazer hitam sederhana, rambut sebahu digerai. Seperti biasa, langkahnya cepat, wajahnya tenang, tetapi matanya selalu tajam seperti sedang menimbang angka-angka yang hanya dia yang bisa baca.
“Maaf telat, B. Jalanan kacau,” katanya sambil menarik kursi.
Saya tersenyum. “Ekonomi kita lebih kacau, Mia.”
Dia terkekeh kecil, lalu membuka Ipad. Di layar muncul tabel yang sudah akrab: angka defisit, utang, dan proyeksi pertumbuhan.
“Lihat ini,” ujarnya. “Target defisit 2,4% PDB. Tapi dengan shortfall pajak dan subsidi yang pasti bengkak, bisa lewat tiga persen. Utang sudah Rp9.000 triliun. Debt service ratio tiga puluh persen. Crowding out di atas empat puluh. Ini bukan lagi ruang fiskal, ini lorong sempit.”
Saya menatap grafik itu, sambil menekuk bibir. “Artinya rupiah dalam tekanan. Investor asing tidak suka cerita fiskal longgar tanpa basis penerimaan. Spread naik, rating bisa terancam. Itu bola salju.”
Mia menutup notepad nya, menatap saya. “Aku jadi teringat Inggris. Begitu Keir Starmer menang, hal pertama yang dia lakukan lewat Rachel Reeves adalah audit APBN. Publik tahu, defisit £20 miliar akibat pesta populis pemerintahan sebelumnya. Transparan, gamblang, tanpa gimmick.”
Saya menyandarkan punggung ke kursi, menikmati aroma kopi yang makin dingin. “Dan Reeves tidak memilih jalur mudah menaikkan PPN atau income tax. Dia kenakan pajak tambahan untuk orang kaya, yaitu warisan saham, sumber laten kalangan bangsawan. Itu berani! menciptakan rasa adil bagi semua, terutama rakyat kelas menengah bawah. Sekaligus membangun National Wealth Fund. Skemanya sederhana, setiap £3 investasi swasta, negara menambahkan £1 lewat UK Infrastructure Bank. Leverage fiskal sehat, multiplier jelas.”
Mia mengangguk, matanya berbinar. “Walau bukan langkah yang cepat dan pasti tidak too good to be true, namun Itu redistribusi cerdas. Defisit tertutup tanpa mematikan sektor riil. Bahkan memberi dorongan ke green economy, ESG, dan kredibilitas jangka panjang.”
Café makin ramai. Hujan yang reda rupanya menarik pengunjung baru. Tapi di meja kami, percakapan hanya tentang angka-angka, seolah dunia di luar hanyalah gema samar.
“Sementara di Indonesia,” kata saya pelan, “kita masih terjebak jargon pertumbuhan enam persen. Struktur pajak sempit, keberanian menyentuh warisan atau pajak kekayaan bagi orang super rich. Sovereign Wealth Fund kita masih parkir di SDA, bukan dana pendamping produktif.”
Mia tersenyum pahit. “Populisme fiskal memang candu. Manis di awal, pahit di ujung. Padahal jalan keluarnya ada, yaitu audit transparan, pajak laten, dan instrumen kelembagaan yang kredibel.”
Saya menatapnya lama, lalu tertawa kecil. “Mungkin Indonesia butuh Rachel Reeves versi seorang teknokrat yang bisa menjembatani logika makro dengan rekayasa finansial yang reliable
Dia menatap balik, kali ini senyumnya lebih hangat, lebih manusiawi. “Kalau ada yang berani, bukan hanya kurs yang selamat. Keadilan pun bisa tumbuh. Karena fiskal bukan soal angka semata, tapi soal keberanian memangkas privilese.”
Di luar, langit sore mulai meremang. Di dalam café, percakapan kami mengendap seperti ampas kopi di dasar cangkir, pahit, pekat, tapi justru di situlah kebenaran bersembunyi.
“ Tapi gaya Menteri keuangan, Purbaya. Sangat percaya diri dan berusaha meyakinkan publik bahwa dia qualified menyelesaikan masalah ekonomi Indonesia” Tanya Mia
Saya tersenyum. “ Dia pernah lama berkecimpung di dunia sekuritas menjadi ekonomis dan tentu pialang saham, paham betul cara menggoreng isu, membelokkan fakta, mendiskreditkan berbagai pihak, seperti lembaga negara, kementerian, bahkan influencer ekonomi dan lembaga sekelas IMF pun tak luput dari kritikannya. Semua ini dia lakukan agar publik yakin bahwa dia adalah pihak yang paling mampu menyelesaikan problem ekonomi yang selama ini dianggap tak pernah ditangani.
Dia ingin membangun persepsi bahwa di tengah gelombang ketidakpastian, dia adalah sosok yang tenang, tepat, dan mampu membawa perubahan. Meski kritik menyeruak, meski banyak yang memuji, bagi dia itu bukan tentang popularitas, melainkan bagaimana menegakkan keyakinan bahwa dirinya pantas dipercaya.” Kata saya.
Mia tertawa. “ Animal Spirits, George Akerlof dan Robert Shiller, ya..” Kata Mia. “ Aku ingat waktu ikut training market perception yang diadakan Yuan di Budapest. Kami diajarkan soal animal spirit itu. Menjadi media darling dan bahkan dilatih seperti actor film bagaimana berlakon depan kamera para jurnalis.. “ Lanjut Mia. Dia memang team shadow Ale Capital di Zurich yang bertugas sebagai team trading support untuk product hedge fund. Saya acungkan jempol.
***
Dalam buku Animal Spirits, George Akerlof dan Robert Shiller menegaskan bahwa ekonomi bukanlah mesin matematis yang dingin. Rasionalitas hanya sebagian kecil dari cerita. Lebih sering, perilaku ekonomi digerakkan oleh psikologi kolektif: rasa percaya, narasi, ilusi uang, bahkan keinginan untuk berlaku adil atau sebaliknya, menipu. Inilah yang mereka sebut animal spirits.
Konsep ini terasa sangat relevan dengan Indonesia. Sebab dalam setiap krisis, dalam setiap kebijakan fiskal, dan dalam setiap narasi politik, animal spirits justru menjadi penentu cepat atau lambatnya reaksi pasar. Indonesia adalah laboratorium hidup bagi fenomena ini: dari panic buying di toko, pelarian modal di bursa, hingga konsumsi yang dikendalikan jargon politik.
Beberapa tahun lalu, minyak goreng menjadi contoh sempurna. Pemerintah menyatakan stok cukup, data produksi menunjukkan angka yang relatif stabil, tetapi masyarakat tidak percaya. Begitu muncul narasi bahwa harga akan melonjak atau pasokan akan habis, perilaku kolektif berubah drastis. Rak-rak supermarket kosong dalam hitungan jam, bukan karena kekurangan fisik yang parah, melainkan karena stories yang menyebar lebih cepat daripada data resmi.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana animal spirits beroperasi: cerita tentang kelangkaan lebih menentukan perilaku daripada logika rasional. Dan begitu psikologi massa bergerak, kebijakan distribusi yang terencana pun menjadi tidak efektif.
Di level yang lebih makro, animal spirits juga menjelaskan kenapa pasar modal Indonesia sering sangat sensitif terhadap isu fiskal. Begitu ada rumor defisit APBN melebar atau utang pemerintah dianggap terlalu tinggi, investor asing cepat sekali menarik modal. Sebaliknya dengan berita media massa dan para influencer social media yang positif tentang kebijakan Menteri keuangan Purbaya, bursa index menguat. Padahal laporan resmi pertumbunan ekonomi belum dirilis, dan angka defisit belum tahu pasti.
Namun dalam logika confidence, persepsi lebih penting daripada data. Investor berasumsi: lebih baik keluar dulu sebelum terlambat. Hasilnya, pasar saham anjlok, rupiah melemah, dan biaya pinjaman pemerintah naik hanya karena isu. Inilah paradoks ekonomi terbuka: negara dengan Posisi Investasi Internasional Neto negatif USD 244 miliar seperti Indonesia, sangat rentan pada getaran kecil di tingkat kepercayaan global.
Konsumsi rumah tangga adalah mesin utama PDB Indonesia, menyumbang lebih dari 50%. Tetapi konsumsi ini tidak hanya dipengaruhi pendapatan riil; ia juga dipengaruhi oleh keyakinan publik. Ketika pemerintah terus mengulang jargon “pertumbuhan 6%”, sebagian masyarakat percaya masa depan ekonomi cerah, sehingga mereka berani belanja lebih banyak.
Namun keyakinan yang dibangun semata-mata lewat retorika bisa berbahaya. Begitu realita berbeda. misalnya inflasi pangan naik, atau pekerjaan tidak bertambah maka narasi itu pecah, dan konsumsi bisa turun lebih cepat daripada proses perbaikannya. Di sinilah stories dan confidence berkelindan, menciptakan euforia sesaat yang tak berakar pada fundamental.
Fenomena animal spirits tidak hanya hidup di kalangan masyarakat atau investor, tetapi juga di ruang kekuasaan. Seorang menteri keuangan yang terlalu menyederhanakan masalah, meremehkan risiko, dan tampil dengan wajah over-confident justru bisa memperburuk psikologi publik.
Ketika defisit melebar, utang jatuh tempo menumpuk, dan belanja negara tersendat, publik butuh transparansi serta sikap realistis. Namun yang sering terdengar justru kalimat menenangkan yang simplistis: “tidak usah kawatir kalau target pajak tidak tercapai, “utang aman”, “pertumbuhan tetap kuat”. Pesan seperti ini mungkin dimaksudkan untuk menjaga kepercayaan, tetapi sering kali menjadi bumerang.
Investor global membaca overconfidence sebagai sinyal bahwa masalah sebenarnya lebih serius daripada yang diakui. Masyarakat menafsirkan penyederhanaan berlebihan sebagai bukti ketidakjujuran. Pada akhirnya, confidence yang ingin dibangun justru runtuh, karena ketidakselarasan antara kata dan kenyataan. Inilah animal spirits versi elite: kepercayaan diri yang berlebihan berubah menjadi narasi kosong, yang mempercepat kepanikan begitu realitas membantah klaim optimis tersebut.
Kasus Inggris di bawah Starmer dan Reeves menunjukkan: transparansi fiskal, keberanian menyentuh pajak laten, serta pembangunan instrumen jangka panjang seperti National Wealth Fund bisa menenangkan publik dan pasar. Narasi keadilan, bahwa orang kaya turut menanggung beban. Tentu itu menciptakan confidence yang nyata, bukan semu. Indonesia membutuhkan keberanian serupa. Bukan sekadar mengandalkan jargon pertumbuhan, bukan pula memoles persepsi dengan overconfidence. Melainkan menata narasi berdasarkan data yang jujur, kebijakan yang adil, dan keberanian memotong privilese.
Akerlof dan Shiller juga menyebut dua dimensi lain dari animal spirits: rasa keadilan dan niat buruk. Keduanya juga kentara di Indonesia. Ketika masyarakat merasa kebijakan fiskal hanya menguntungkan segelintir elite, resistensi muncul, mulai dari mogok buruh, demonstrasi mahasiswa, hingga ketidakpercayaan pajak. Itu adalah manifestasi fairness. Sebaliknya, korupsi, kolusi, dan manipulasi akuntansi perusahaan adalah wajah bad faith. Keduanya membentuk psikologi publik bahwa “sistem tidak adil”, yang ujungnya melemahkan kepatuhan sosial dan fiskal.
Apa pelajaran yang bisa diambil? Pertama, bahwa stabilitas ekonomi tidak cukup dijaga lewat angka dan instrumen teknis. Transparansi data, komunikasi kebijakan yang konsisten, dan kredibilitas institusi menjadi penentu utama apakah animal spirits bisa diarahkan ke arah positif atau tidak.
Kedua, bahwa pemerintah harus sadar setiap narasi punya kekuatan ekonomi. Mengumumkan target pertumbuhan, program subsidi, atau stimulus fiskal bukan sekadar soal konten, tetapi juga soal efek psikologis. Tanpa perhitungan matang, narasi bisa jadi bumerang: bukannya menenangkan, malah memicu panik atau eksodus modal.
Ketiga, bahwa Indonesia butuh strategi komunikasi krisis yang lebih dewasa. Dalam era media sosial, isu lebih cepat dari fakta. Satu rumor soal utang bisa mengguncang rupiah, satu cerita soal kelangkaan bisa mengosongkan pasar, dan satu komentar over-confident dari menteri bisa menambah keraguan pasar. Animal spirits tidak bisa dibungkam, tetapi bisa ditata dengan informasi yang jujur, data yang terbuka, dan kebijakan yang konsisten.
Terakhir, ekonomi Indonesia bukan sekadar soal neraca, suku bunga, atau defisit. Ia adalah cermin jiwa kolektif. Panic buying, pelarian modal, konsumsi yang dipengaruhi jargon, bahkan overconfidence pejabat adalah bukti nyata bahwa animal spirits hidup dan berdenyut di tengah masyarakat kita.
Maka tugas negara bukan hanya mengatur angka, tetapi juga menjaga psikologi publik. Sebab ketika animal spirits kehilangan arah, bukan hanya rak supermarket yang kosong, melainkan juga neraca negara yang goyah, pasar modal yang limbung, dan masa depan pembangunan yang terancam. ***