Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo)
Mudanews.com OPINI – Ketika rakyat tengah menjerit oleh kesulitan hidup yang kian menjepit, mereka turun ke jalan menuntut solusi konkret dari pemerintah. Namun di saat rakyat berjuang di jalanan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) justru melahirkan keputusan yang sungguh biadab dan brutal.
Melalui SK KPU Nomor 731 Tahun 2025, KPU menetapkan bahwa dokumen persyaratan calon presiden dan wakil presiden, termasuk ijazah pendidikan, tidak boleh dibuka untuk publik.
Keputusan ini bukan hanya konyol, tetapi juga bejat. Ia menghina akal sehat rakyat dan mengkhianati prinsip dasar demokrasi. Bagaimana mungkin rakyat dipaksa memilih calon pemimpin tanpa boleh tahu rekam jejaknya? Itu sama saja memperlakukan bangsa ini seperti membeli kucing dalam karung.
SK 731 jelas sinting dan menipu nalar publik, sebab dokumen calon pemimpin adalah informasi publik yang wajib dibuka. KPU telah melanggar Pasal 28F UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh informasi. Juga melanggar Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang mewajibkan badan publik membuka informasi terkait pejabat publik dan calon pejabat publik. Dengan kata lain, SK 731 bukan sekadar keputusan teknis, melainkan bentuk pengkhianatan konstitusi.
Isi SK 731 mengatur bahwa dokumen pribadi capres-cawapres, termasuk ijazah, hanya boleh diakses internal KPU dengan dalih perlindungan data pribadi. Dalih ini busuk. Data pribadi pejabat publik berbeda dengan warga biasa. Justru transparansi adalah syarat mutlak agar rakyat bisa menilai apakah calon pemimpin layak dipercaya.
Tak heran publik marah. Apalagi isu ijazah Presiden Jokowi yang belum tuntas serta dugaan serupa pada anak sulungnya membuat SK ini terlihat jelas sebagai upaya licik menutupi kecurigaan rakyat. Wajar bila publik menilai KPU sedang membuka jalan bagi pemimpin bermental jahat, rakus, dan berwatak mafia untuk menguasai negeri ini.
Yang membuat rakyat makin muak, SK 731 lahir di saat massa memenuhi jalanan pada akhir Agustus 2025. Wajar jika kemarahan rakyat yang awalnya tertuju pada DPR, tiba-tiba berbalik mengarah ke KPU. Takut bernasib sama dengan komisioner di Nepal yang diusir massa Gen Z, KPU buru-buru membatalkan SK 731 hanya beberapa hari setelah disahkan.
Tetapi apakah rakyat puas? Tentu tidak. Membatalkan keputusan bejat tidak serta-merta menghapus dosa politik. Justru dengan lahirnya SK 731, rakyat melihat wajah asli KPU, lembaga yang digaji mahal oleh rakyat, diberi fasilitas negara, tetapi tega mengkhianati rakyat dengan keputusan brutal yang melecehkan akal sehat.
Presiden Prabowo Subianto tidak boleh diam, sebagaimana yang telah disampaikan dalam pidatonya yang akan serius menegakkan kebenaran dan keadilan. Terlebih keputusan sepihak, licik dan biadab ini lahir di masa pemerintahannya, sehingga mencoreng wibawa negara. Presiden harus menindak tegas para komisioner KPU periode 2022–2027 yang dipimpin oleh Mochammad Afifuddin, serta Idham Holik, August Mellaz, Yulianto Sudrajat, Parsadaan Harahap, Betty Epsilon Idroos dan Iffa Rosita. Komisioner yang sudah jelas melanggar sumpah jabatan ini layak dipecat. Mereka juga harus diproses hukum karena melanggar UUD 1945 dan UU KIP. Rekening pribadi para komisioner perlu diperiksa untuk memastikan tidak ada permainan pemodal busuk di balik SK 731. Bahkan biaya operasional yang digunakan dalam penyusunan keputusan sinting ini semestinya dipertanggungjawabkan dan dikembalikan.
Jika busuknya SK 731 bisa lahir dari KPU, apa jaminan besok mereka tidak melahirkan keputusan licik lain? Demokrasi akan runtuh jika lembaga penyelenggara pemilu tidak lagi berpihak pada rakyat, melainkan pada kepentingan elit dan mafia politik.
Rakyat tidak boleh lupa. KPU pernah meloloskan presiden kontroversial dengan kualitas kepemimpinan rendah, sehingga membawa rakyat dan pemerintah dibawah kepimpinan Prabowo hidup dalam kesulitan, hutang yang besar dan tumbuhnya dinasti politik. Kini mereka melahirkan SK brutal yang nyaris menutup mata rakyat dari calon pemimpin bejat. Inilah akar masalah.
Maka, agar bangsa ini tidak terus dipermainkan, komisioner yang berperan dalam lahirnya SK 731 harus disapu bersih. Jika tidak, sejarah akan mencatat bahwa demokrasi Indonesia runtuh bukan oleh asing, melainkan oleh pengkhianatan brutal lembaga yang seharusnya menjadi wasit jujur yakni KPU.
Kalibata, Jaksel, Kamis 18 September 2025, 17:09 Wib.