Cerpen “KPU Takut Dinepalkan Lalu Cabut SK”

Breaking News
- Advertisement -

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

Mudanews.com OPINI |Banyak followers minta lanjutan cerita fiksi KPU. Ntah kenapa mereka kayak bahagia bangat. Padahal, fiksi. Aneh kan, ups. Demi followers tercinta, inilah lanjutan kisah KPU negara sebelah. Simak sambil seruput chinese tea, wak!

Ruang rapat KPU malam itu mirip tenda pengungsian. Wajah-wajah komisioner pucat, rambut berantakan, dan ekspresi campur aduk antara stres, lapar, dan ingin kabur ke Bali tanpa tiket.

“Semua ini gara-gara Pak Ketua!” bentak salah satu anggota, menunjuk Aliuddin dengan telunjuk gemetar. “Kalau bukan karena telepon misterius itu, kita tak mungkin terjebak di lubang ini. SK keluar, rakyat ngamuk, meme bertebaran. Saya jadi stiker WA keluarga besar, Pak! Istri saya kirim ke grup arisan, malu saya!”

Aliuddin berdiri, wajahnya penuh keringat. “Hei, jangan salahkan saya! Waktu penelepon ngancam, kalian semua diam. Saya sendirian menghadapi suara mirip malaikat pencabut jabatan! Kalau kalian berani, angkat sendiri teleponnya!”

Anggota lain langsung menyambar, “Kami tak salah! Kami hanya ikut arus! Tapi arusnya ternyata deras, bawa kita hanyut sampai ke got demokrasi!”

“Ah, kamu memang pengecut!” seru yang lain.

“Pengecut katamu? Lebih pengecut siapa? Kau sendiri yang waktu rapat tadi malam sembunyi di bawah meja!”

Semua mendadak hening. Lalu terdengar suara batuk kecil. Seorang anggota dengan muka memelas berbisik, “Itu benar, Pak. Saya lihat dia pegang meja rapat sambil komat-kamit doa pendek umur.”

Ruang rapat pecah lagi. Suara bentak-bentakan, kursi diseret kasar, bolpoin beterbangan. Seakan KPU bukan lagi lembaga negara, tapi arena SmackDown kelas menengah.

“Sudahlah!” bentak Aliuddin, menghantam meja dengan telapak tangannya. “Kita semua salah. Salah bikin SK, salah percaya telepon misterius, salah juga takut di-nepal-kan. Sekarang rakyat sudah ngamuk, kita mau apa?!”

Suasana kembali hening.

Lalu seorang komisioner yang biasanya diam tiba-tiba berdiri, tangannya gemetar sambil menunjuk langit-langit. “Saya tahu jawabannya… Kita pasrah. Kita cabut SK itu, biar rakyat reda. Kalau masih ngamuk, ya biarlah. Kita duduk diam menunggu ajal politik.”

Kata-kata itu jatuh seperti guntur. Semua tertegun, lalu satu demi satu mengangguk.

“Ya, pasrah saja. Saya sudah lelah.”
“Benar, biarlah takdir yang memutuskan. Kita cuma pion, bukan raja.”
“Paling tidak, kalau kita cabut, rakyat berhenti bikin meme kita jadi kucing duduk di kursi rapat.”

Ada yang mulai tertawa getir. Ada yang menepuk bahu sendiri, seakan sedang pamit pada kursi jabatannya.

“Bayangkan,” ujar salah satu, “besok headline koran: KPU Cabut SK demi Menghindari Nepal Massal. Kita akan dikenang sebagai lembaga paling labil sedunia.”

Semua terdiam lagi, lalu… tawa meledak. Bukan tawa bahagia, tapi tawa stres yang meluap-luap. Ada yang tertawa sambil banting botol air mineral, ada yang ngakak sampai batuk, ada yang guling-guling di lantai mirip peserta lomba ketawa darurat.

Ketua KPU pun ikut tertawa. “Hahaha! Cabut saja! Cabut semua! Cabut SK, cabut harga diri, cabut nyali! Kita tinggal tunggu giliran dicabut dari kursi!”

Tangis dan tawa bercampur. Ruangan jadi mirip drama Korea yang naskahnya ditulis komedian kampung.

Malam itu, keputusan pun diambil, SK dicabut. Tanpa debat panjang, tanpa kalkulasi politik, hanya karena ketakutan jadi korban nepal massal.

Di luar gedung, rakyat sudah bersiap dengan meme baru. Foto komisioner KPU dengan caption, “Cabut SK, cabut akal. Next episode: cabut sandal.”

Indonesia pun sekali lagi terbahak. Demokrasi, di tangan mereka, berubah jadi sinetron komedi tanpa sutradara.

Tamat. Nantikan cerpen dengan kisah lebih absurd lagi***

Berita Terkini