Presiden Jelang Pidato di Forum PBB: Baiknya Fokus Bahas Visi Indonesia

Breaking News
- Advertisement -

_Oleh: Agusto Sulistio – Pendiri The Activist Cyber, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo)._

Mudanewss.com OPINI – Setiap September, New York menjadi panggung diplomasi dunia. Di dalam aula besar Majelis Umum, para kepala negara naik bergiliran ke podium, dari sanalah dunia mendengar, menimbang, sekaligus menilai arah kebijakan sebuah negara.

Pada 23 September 2025, giliran Presiden Prabowo Subianto yang akan berpidato untuk pertama kalinya di forum tertinggi itu. Bagi Indonesia, ini kesempatan menampilkan wajah baru kepemimpinan nasional di hadapan masyarakat internasional.

Namun, jalan menuju podium tersebut tidak sepenuhnya mulus. Penanganan demonstrasi akhir Agustus 2025 lalu yang menewaskan belasan orang dan disertai ribuan penangkapan telah memicu kritik global. Kantor Komisioner Tinggi HAM PBB bahkan memberi peringatan langsung kepada Jakarta. Akibatnya, bayangan sejarah lama seperti tragedi Santa Cruz 1991 kembali menghantui.

Meski begitu, di atas podium Presiden tak perlu mengikuti kemauan segelintir pihak agar terlihat hebat dan gentleman dengan membicarakan soal isu HAM masa lalu ataupun peristiwa akhir Agustus 2025 lalu, apalagi soal reformasi ditubuh Polri. Justru jika itu dilakukan, ruang perdebatan akan terbuka lebar dan berpotensi merusak reputasi Presiden sebagai pemimpin negara demokrasi terbesar keempat di dunia.

Pengalaman menunjukkan bahwa Majelis Umum PBB bukanlah ruang klarifikasi. Banyak pemimpin dunia menghadapi kritik keras, tetapi tidak menjadikannya bahan pidato resmi. Xi Jinping misalnya, meski terus dikritik soal Xinjiang dan Hong Kong, memilih berbicara tentang multilateralisme dan pembangunan global. Vladimir Putin pun tak pernah mengulas isu Chechnya atau pelanggaran HAM, melainkan menekankan multipolaritas dunia. George W. Bush usai invasi Irak yang menimbulkan banyak korban sipil tidak menjadikannya materi pidato di PBB, melainkan tetap mengusung narasi demokrasi dan perang melawan terorisme. Bahkan Rodrigo Duterte yang disorot keras atas ribuan korban perang narkoba di Filipina tidak pernah membela diri di forum internasional, melainkan berbicara tentang kedaulatan negaranya.

Polanya jelas, pemimpin dunia menjaga agar podium Majelis Umum PBB menjadi etalase pencitraan negara, bukan panggung interogasi. Karena itu, pilihan paling strategis bagi Prabowo adalah menampilkan Indonesia dengan visi besar. Ia dapat menekankan peran Indonesia sebagai negara demokrasi besar yang ikut menjaga stabilitas di kawasan Indo Pasifik, membicarakan kontribusi pada kemanusiaan Palestina – Israel, pembangunan berkelanjutan, ketahanan pangan, dan perubahan iklim.

Sementara itu, isu hak asasi manusia tetap harus ditangani serius, tetapi di sampaikan di forum dalam negeri. Apalagi pasca aksi massa agustus lalu Presiden telah menegaskan kepada seluruh lembaga kementrian agar membuka dialog dan menerima semua aspirasi rakyat, membuka langkah konkret seperti pembentukan tim pencari fakta independen atau penguatan akuntabilitas aparat akan lebih efektif daripada menjadikannya bahan pidato di internasional. Kritik global akan mereda jika ada bukti nyata keseriusan pemerintah dalam menghadapi persoalan itu.

Di podium PBB, Presiden Prabowo tidak perlu defensif. Ia hanya perlu fokus pada agenda besar bangsa. Dengan begitu, reputasinya bukan saja akan tetap terjaga, tetapi justru bisa menguat sebagai pemimpin yang percaya diri, visioner, dan menempatkan Indonesia sejajar dengan negara-negara besar dunia.

Kalibata, Jaksel, Senin 15 September 2025, 09.54 Wib.

Berita Terkini