_Oleh: Agusto Sulistio – Pendiri The Activist Cyber, aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo)._
Mudanews.com OPINI – Kematian Charlie Kirk, aktivis konservatif yang dekat dengan Donald Trump, menjadi pukulan besar bagi politik Amerika. Ia ditembak ketika menghadiri acara kampus di Utah, Amerika (10/9/2025), sebuah peristiwa yang menyulut duka sekaligus perdebatan. Ini bukan hanya kasus kriminal, melainkan potret rapuhnya demokrasi di negeri yang selama ini dianggap sebagai teladan demokrasi.
Donald Trump merespons dengan menurunkan bendera setengah tiang, langkah simbolis yang mempertegas kedekatan politik dan emosional dengan Charlie Kirk yang dibaliknya tersimpan paradoks. Trump masih dianggap figur yang membelah Amerika. Basis pendukungnya melihat Kirk sebagai martir, sementara pihak lain menilai retorika politik yang keras dan konfrontatif justru menciptakan iklim berbahaya. Demokrasi Amerika kini berada di persimpangan jalan, apakah mampu menata kembali ruang publik yang aman, atau justru semakin terjebak dalam polarisasi.
Situasi ekonomi memperburuk ketegangan. Ketimpangan yang melebar, keresahan kelas menengah yang merasa tersisih, serta kebijakan proteksionis yang kadang menimbulkan inflasi memberi ruang subur bagi populisme. Trump tampil sebagai tokoh yang berani menantang globalisasi, tetapi kebijakannya juga menimbulkan beban balik yang tidak ringan. Ketika keresahan ekonomi dipadukan dengan retorika yang membakar emosi, ruang publik menjadi semakin rawan. Data dari Pew Research Center pada awal 2025 menunjukkan bahwa 65 persen warga Amerika merasa negaranya semakin terpecah dan 58 persen menyebut ekonomi tidak bergerak ke arah yang lebih baik, ini memperlihatkan betapa kombinasi antara faktor sosial dan ekonomi menjadi pemicu ketegangan politik.
Dari sisi internasional, Amerika di bawah Trump terus disorot. Dukungan terbuka kepada Israel memunculkan kritik di dunia Arab, yang melebar ke belahan eropa, sementara sikapnya terhadap Ukraina masih nenimbulkan tanda tanya. Perang tarif dengan Tiongkok juga mengguncang pasar global. Banyak pakat mengingatkan bahwa proteksionisme semacam ini dapat memukul balik dengan efek lebih besar terhadap rakyat kecil ketimbang elit bisnis.
Kasus Kirk juga memperlihatkan wajah ganda ekosistem digital. Internet mempercepat mobilisasi aspirasi rakyat, tetapi sekaligus menjadi saluran subur bagi penyebaran narasi kebencian dan teori konspirasi. Rekaman penembakan tepat leher Charlie Kirk yang viral menimbulkan kekhawatiran akan efek peniruan, terutama di kalangan generasi muda yang bisa melihat kekerasan sebagai jalan pintas ketika aspirasi mereka terhambat birokrasi atau kepentingan politik. Pakar dunia, Hannah Arendt dalam kajiannya tentang kekerasan menulis bahwa kekerasan muncul saat kata-kata gagal meyakinkan. Situasi hari ini seolah membenarkan pandangan itu.
Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di Amerika. Nepal baru saja diguncang protes besar yang berujung anarkis, bahkan memaksa evakuasi perdana menteri dengan helikopter. Di negara kita, akhir Agustus lalu, gedung legialatif, markas Polisi, rumah sejumlah anggota DPR dijarah setelah aksi protes membesar. Rangkaian peristiwa ini menunjukkan pola global, ketika aspirasi politik tidak tertampung dalam mekanisme konstitusional, jalan kekerasan kerap dipilih sebagai alternatif.
Bagi kita, ini adalah peringatan keras pemerintah Prabowo Subianto. Kondisi sosial, ekonomi, dan politik kita tidak jauh berbeda dengan Amerika. Polarisasi tajam, ketimpangan ekonomi, dan derasnya arus informasi digital bisa menjadi sumber instabilitas. Kita berharap Presiden Prabowo mengambil langkah antisipatif yang cepat, tepat, dan tidak menimbulkan masalah baru. Penegakan hukum yang transparan, saluran aspirasi yang terbuka, literasi digital yang diperkuat, serta kebijakan ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil harus menjadi prioritas.
Beberapa bulan lalu, dalam diskusi rutin (tiap hari Rabu) Indonesia Democracy Monitor (InDemo) khususnya jelang pilpres Amerika tahun 2024, telah menyoroti percobaan pembunuhan Trump pada 13 Juli 2024 tahun lalu. Dimana dalam peristiwa itu terlihat adanya respon negatif terhadap Trump yang saat itu ditunjukkan dalam bentuk kekerasan, sebuah sinyal adanya persoalan kepempinan di AS. Sinyal itu kini kembali terulang yang menewasa pendukung kuat Donald Trump, mendiang Charlie Kirk.
Di sinilah pesan moral dari tokoh bangsa seperti Buya Hamka menjadi relevan. Dalam salah satu nasehatnya, Buya Hamka menekankan bahwa janji harus ditepati dan tanggung jawab pemimpin bukan sekadar ucapan, melainkan pembuktian nyata di tengah rakyat. Demokrasi akan kehilangan makna jika pejabat publik hanya pandai beretorika, sementara rakyat dibiarkan frustrasi tanpa jalan keluar. Semangat kejujuran, ketulusan, dan keberanian moral yang ditekankan Buya Hamka menjadi fondasi agar bangsa tidak mudah terjerumus pada jalan kekerasan.
Tragedi Charlie Kirk perlu dibaca sebagai sinyal bahaya. Demokrasi tidak hanya diukur dari pemilu, melainkan dari kemampuannya menampung perbedaan tanpa jatuh pada kekerasan. Jika Amerika yang selama ini menjadi simbol demokrasi bisa terguncang oleh polarisasi, negara lain termasuk Indonesia harus lebih waspada. Pelajaran penting yang bisa diambil adalah menjaga agar aspirasi tidak tertutup, menolak kekerasan sebagai jalan politik, serta memastikan bahwa demokrasi kita tetap hidup, beradab, dan berpihak kepada rakyat.***
Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis 11 September 2025, 17:54 Wib.

