Oleh : Anton Christanto
Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali
Negeri yang Menjebak Orang Baik
Mudanews,com OPINI – Indonesia adalah negeri yang paradoksal. Kaya sumber daya alam, penuh talenta, tapi juga dihuni sistem yang korup, rapuh, dan sering kali justru memakan orang-orang baik. Kita sering mendengar ungkapan sinis: di negeri ini, sebersih apa pun seseorang ketika masuk birokrasi, cepat atau lambat akan tercemar juga.
Itulah sebabnya ketika nama Nadiem Makarim mendadak terseret dalam tuduhan korupsi triliunan rupiah, publik terbelah antara kaget, marah, dan tak percaya. Bagaimana mungkin seorang tokoh muda, jebolan Harvard, pendiri Gojek—startup kebanggaan nasional—tiba-tiba menjadi terdakwa dalam permainan uang kotor negara?
Bagi banyak orang, kasus ini terasa seperti sebuah ironi. Seorang anak bangsa yang dianggap brilian, visioner, bahkan dijadikan simbol generasi muda yang bisa menembus batas global, kini ditampilkan seolah-olah tak ada bedanya dengan pejabat-pejabat rakus yang selama ini kita hujat.
Tapi sejarah menunjukkan, Nadiem bukan yang pertama. Sebelum dia, ada Mandra, seorang komedian Betawi yang jauh berbeda latar belakangnya, tapi mengalami nasib serupa: diseret ke pusaran korupsi yang bahkan ia sendiri tidak pahami.
Dan di situlah benang merah ini dimulai.
Kasus Nadiem: Dari Unicorn ke Tersangka
Nadiem Makarim adalah wajah modern Indonesia. Dengan Gojek, ia bukan hanya menciptakan aplikasi transportasi, tetapi juga simbol perubahan sosial-ekonomi. Ratusan ribu driver ojol terbantu, UMKM naik kelas, dan Indonesia punya cerita sukses di panggung global.
Namun, kariernya kemudian berbelok ke dunia birokrasi ketika ia dipilih menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Publik menganggap penunjukan ini adalah bentuk harapan: generasi baru akan membawa nafas segar ke pendidikan.
Tuduhan korupsi yang menyeretnya jelas mengejutkan. Triliunan rupiah, proyek-proyek besar, dan jejak transaksi yang rumit. Media menyorotinya seakan-akan semua kesalahan terpusat pada Nadiem.
Tapi benarkah ia pemain utama? Ataukah ia hanya menjadi pion dalam permainan yang lebih besar?
Di dunia politik Indonesia, kita tahu ada yang namanya korupsi sistemik. Bukan sekadar soal orang serakah, tapi jebakan struktural: kontrak yang dipaksakan, tanda tangan administratif yang bisa dipalsukan, bahkan mekanisme anggaran yang sudah penuh perangkap sejak awal.
Nadiem, yang terbiasa di dunia startup dengan transparansi dan kecepatan, mungkin tidak siap menghadapi rimba birokrasi yang penuh jebakan itu. Dan seperti yang dialami Mandra dulu, kepolosan bisa menjadi pintu malapetaka.
Kilas Balik: Kasus Mandra
Beda kelas, beda latar, tapi Mandra adalah contoh paling nyata bagaimana sistem korup bisa menjebak orang lugu.
Mandra dikenal publik sebagai komedian Betawi, wajah polos dengan logat khas, yang dicintai lewat sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Tidak ada yang mengira ia akan berurusan dengan hukum dalam kasus besar.
Namun pada 2015, Kejaksaan mendakwanya menyebabkan kerugian negara Rp12,03 miliar dalam proyek pengadaan acara di TVRI. Angkanya memang tidak sefantastis triliunan, tapi bagi sosok sederhana seperti Mandra, itu sudah seperti mustahil.
Proses persidangan mengungkap banyak kejanggalan. Uang miliaran rupiah disebut pernah masuk ke rekening Mandra, tapi hanya sebentar, lalu mengalir ke rekening lain. Ada indikasi pemalsuan tanda tangan. Ada dugaan kuat bahwa jaringan mafia internal TVRI memanfaatkan namanya.
Mandra tetap harus mendekam di penjara, meskipun publik banyak yang percaya ia hanyalah korban. Dan sampai hari ini, namanya tidak pernah benar-benar bersih di mata hukum.
Namun yang menarik adalah, publik tetap menerima Mandra sebagai sosok bersih. Setelah keluar, ia tetap disambut, tetap bisa berkarya, dan orang-orang tetap percaya bahwa ia hanyalah kambing hitam dari sistem busuk.
Benang Merah: Kepolosan yang Dibajak
Jika kita tarik garis, Nadiem dan Mandra punya perbedaan besar:
Mandra lugu, sederhana, anak Betawi yang tumbuh dari kampung.
Nadiem cerdas, modern, lahir dari keluarga kaya, dididik di sekolah top dunia.
Namun, dalam sistem korup, keduanya sama-sama dijadikan wajah depan.
Mandra dijadikan boneka oleh mafia internal TVRI.
Nadiem bisa saja dijadikan pion oleh oligarki dan birokrasi yang jauh lebih canggih, dengan angka yang berkali lipat lebih besar.
Sistem ini selalu mencari kambing hitam. Selalu ada wajah yang harus dipajang ke publik, agar dalang sejati tetap aman.
Sistem Jebakan Korupsi
Di Indonesia, korupsi bukan sekadar kejahatan personal. Ia adalah ekosistem.
Ada aktor intelektual, ada birokrat, ada pengusaha, ada konsultan keuangan, bahkan ada buzzers yang bertugas membentuk opini publik. Semua bekerja seperti jaringan laba-laba.
Dalam sistem ini, orang baik bisa terseret hanya karena tiga hal:
1. Menandatangani dokumen yang dipalsukan atau dimanipulasi.
2. Mempercayai bawahan yang ternyata bagian dari jaringan.
3. Tidak mampu mengontrol aliran uang yang bergerak begitu cepat.
Mandra jatuh pada poin pertama dan kedua.
Nadiem, sangat mungkin jatuh pada poin kedua dan ketiga.
Dan seperti biasa, publik hanya diperlihatkan wajahnya—sementara jaringan yang sesungguhnya nyaris tidak tersentuh.
Oligarki: Dalang di Balik Layar
Tidak bisa dipungkiri, oligarki adalah aktor utama. Mereka adalah para pengusaha, politisi, mafia, yang punya uang besar dan jejaring kuat.
Dalam kasus besar, biasanya selalu ada donatur gelap, penumpang gelap, dan dalang politik. Mereka butuh kambing hitam agar sorotan tidak mengarah ke mereka.
Maka, nama besar seperti Nadiem bisa sangat berguna. Apalagi ia tokoh publik, mudah dijual sebagai narasi: “lihat, bahkan yang Harvard pun bisa korupsi.” Padahal, siapa tahu ia hanya pion dalam permainan para oligark.
Renungan
Siapa yang Sebenarnya Bersalah?
Ketika publik melihat Mandra, hati kita lebih mudah percaya ia hanyalah korban. Keluguannya begitu jelas, kesederhanaannya begitu nyata.
Ketika melihat Nadiem, banyak yang masih ragu. Ia pintar, kaya, punya kuasa. Namun, justru di situ letak bahayanya. Kalau orang pintar dan kaya saja bisa dijebak sistem korup, bagaimana dengan orang biasa?
Dua kasus ini seakan jadi pelajaran pahit: di negeri yang sistemnya busuk, siapa pun bisa jadi tersangka. Orang baik bisa dipajang sebagai maling, sementara maling sejati tetap tertawa di belakang layar.
Pertanyaannya sekarang: apakah kita mau terus membiarkan sistem ini berjalan? Atau kita akan berani menuntut keadilan yang sesungguhnya, sampai ke akar-akar oligarki yang selama ini bersembunyi?
Penutup
Membandingkan Nadiem dan Mandra mungkin terasa tidak sepadan. Yang satu menteri, yang satu komedian. Yang satu triliunan, yang satu miliaran. Yang satu global, yang satu lokal.
Tapi keduanya sama-sama korban dari satu hal: sistem korup yang tidak peduli siapa Anda, selama Anda bisa dijadikan kambing hitam.
Dan selama sistem itu tidak dibongkar, kita semua—Anda, saya, bahkan orang yang kita anggap paling jujur—bisa sewaktu-waktu bernasib sama.***