Oleh: Agusto Sulistio – Pendiri The Activist Cyber, Mantan Kepala Aksi Advokasi PIJAR 90-an, kini aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo)
Mudanews.com OPINI | Bangsa ini kerap memberi luka kecil yang terasa besar, ketika seorang ayah yang terburu-buru berangkat kerja, tersandung besi di jalan, motornya oleng, kakinya berdarah. Luka sepele itu adalah simbol nyata dimana rakyat terus dipaksa menanggung resiko akibat sistem yang abai.
Harga kebutuhan pokok melambung, jalan rusak dibiarkan, jaminan kesehatan rapuh, sementara pejabat hidup bergaya hedon dalam kemewahan dari hasil uang korupsi.
Kemarahan rakyat akhirnya meledak. Pada 25 dan 28 Agustus 2025, demonstrasi besar di Jakarta dan sejumlah daerah berujung ricuh, sembilan orang tewas, ratusan luka-luka, gedung DPR RI terbakar, kantor DPRD diserbu massa, penjarahan merebak. Itu bukan sekadar amuk spontan, melainkan akumulasi kekecewaan atas sepuluh tahun rezim Jokowi yang gagal menghadirkan kesejahteraan, lemahnya penegak hukum, lahirnya koruptor linkaran pejabat publik dengan nominal jumbo Ironisnya, negara bergerak cepat menangkap rakyat yang marah dalam aksi demo, tapi lamban menindak koruptor dan mafia rente ekonomi, tambang, hukum, pilitik, dll.
Media mencatat adanya provokasi yang memperburuk situasi. Represifnya sebagian aparat justru memicu perlawanan massa. Di ranah digital, buzzer pendukung Jokowi dan Gibran dituding diduga kuat menggiring opini lewat video joget DPR, seolah itu perayaan kenaikan gaji, padahal mereka bergoyang sesaat oleh penampilan musik yang tampil dalam rangkaian hiburan HUT RI ke-80 setelah puncak acara rsmi usai. Framing inilah yang mempertebal bara emosi publik.
Presiden Prabowo semestinya menjadikan laporan berita media independen itu sebagai prioritas investigasi, sebelum memberikan instruksi tindakan tegas penuh ke aparat hukum dan keamanan dilapangan. Pertanyaannya, mengapa aparat begitu represif dan dengan cepat menangkap pelaku kerusuhan yang notabene rakyat kecil yang kesehariannya hidupnya susah dan menderita, tapi terhadap para koruptor, mafia tambang, hukum, ekonomi, aparat lamban dalam penindak dan memproses hukum. Inipun menjadi penyebab amuk massa, yang akan sulit diredam selama tidak ada keadilan hukum yang hanya tajam kebawah.
Filsuf populer dunia John Locke menegaskan, rakyat berhak protes bahkan melawan bila pemerintah gagal memberi rasa aman dan kehidupan layak. Karena itu, penulis mendukung usulan Dr. Syahganda Nainggolan agar dibentuk tim investigasi independen untuk dipertimbangkan. Tanpa itu, laporan aparat bisa saja sekadar “Asal Bapak Senang”, sementara ada pihak yang diam-diam ingin merusak citra kepemimpinan Prabowo dari dalam lingkarannya sendiri. Padahal amuk massa yang terjadi memiliki alasan
Warisan Jokowi bagi Prabowo ibarat bom waktu, utang negara sekitae Rp 8.400 triliun (hampir 39% PDB), persoalan hukum dan politik yang pelik, hingga kehadiran Gibran sebagai wakil presiden melalui putusan MK yang kontroversial. Mahfud MD sudah menegaskan, secara hukum putusan itu sah, tetapi dari segi etika merupakan kemunduran demokrasi. Yusril Ihza Mahendra pun mengingatkan, utang besar bisa menghancurkan generasi berikutnya jika tidak dikelola bijak.
Jika Prabowo membiarkan bayang-bayang Jokowi tetap dominan, posisinya sebagai Presiden bisa tergerus. Gejala itu telah muncul. Mahasiswa dari berbagai kampus kini menuntut pertanggungjawaban atas jatuhnya korban dalam aksi Agustus. Mereka meminta bukti nyata atas tuduhan makar. Tanpa bukti, tudingan itu hanya dianggap upaya membungkam kritik rakyat.
Sejarah telah memberi pelajaran. Filipina pernah mengalami hal serupa ketika Gloria Macapagal-Arroyo menggantikan Joseph Estrada pada 2001. Alih-alih keluar dari krisis, ia justru terjebak dalam kompromi dengan elite lama, sehingga pemerintahannya diguncang krisis legitimasi. Kasus itu menunjukkan betapa rapuhnya pemimpin baru bila tidak mampu memutus warisan rezim sebelumnya.
Pertanyaannya, apakah Prabowo akan mengulang nasib serupa, atau justru membuktikan dirinya berbeda? Ia memang bukan lahir dari jalur yang nyaman. Berulang berada diluar lingkar kekuasaan, hingga akhirnya dipercaya rakyat lewat mandat pemilu. Tetapi mandat itu kini tengah diuji, bukan dengan kata-kata, melainkan dengan tindakan menindak koruptor, melawan mafia ekonomi, mengelola utang dengan adil, dan menghentikan dominasi elite yang merampas masa depan rakyat.
Relevansi kepemimpinan Prabowo hanya akan terjaga bila ia berani bersih-bersih kabinet, menegakkan hukum tanpa pandang bulu, serta mengembalikan kepercayaan rakyat. Jika gagal, sejarah akan menempatkannya bukan sebagai pemimpin harapan, melainkan sekadar bayangan yang kembali mengecewakan.
Kutoarjo, Jawa Tengah, Rabu 3 September 2025, 14:54 Wib.