Oleh : Anton Christanto , Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali
Mudanews.com OPINI – Akhir Agustus 2025, jalan-jalan di Jakarta kembali dipenuhi massa aksi. Demo yang awalnya diklaim “spontan” oleh sebagian media, dalam hitungan jam berubah menjadi kerusuhan dengan pembakaran, penjarahan, dan bentrok aparat. Halte bus Sarinah terbakar, video-video amatir tersebar luas, dan tiba-tiba narasi “siapa aktor intelektual di balik demo” menjadi trending.
Di tengah panasnya suhu politik pasca-Pemilu 2024 dan konsolidasi pemerintahan baru, muncul pertanyaan besar: apakah aksi ini benar-benar lahir dari aspirasi rakyat, ataukah digerakkan oleh kekuatan besar yang punya uang, jaringan, dan motif politik?
Isu ini menjadi kian kompleks karena dua hal. Pertama, ada bukti visual—video dan CCTV—yang memperlihatkan kelompok tertentu memang bertugas melakukan penjarahan dan perusakan. Kedua, sejarah politik Indonesia selalu menyimpan pola: ketika kekuasaan goyah, selalu ada “kambing hitam” yang dikorbankan untuk menutupi jejak aktor besar.
Tulisan ini mencoba mengurai simpul-simpul itu. Dengan menggabungkan data dari media arus utama (Kompas.com sumber 1, sumber 2), isu-isu yang berkembang di publik, dan analisis skenario politik, kita akan melihat peta kemungkinan: siapa saja yang mungkin menjadi aktor intelektual dan donatur aksi demo akhir Agustus 2025?
Bab I. Kelompok Mafia: Bayangan Lama yang Tak Pernah Pergi
Nama Rizal Chalid bukan barang baru dalam politik jalanan Indonesia. Sosok ini pernah disebut-sebut dalam berbagai kasus mafia migas dan lobi politik besar. Kini, dalam konteks demo akhir Agustus 2025, namanya kembali muncul dalam bisik-bisik.
Pertanyaan utamanya: apakah kelompok mafia ini benar-benar ada di balik demo?
Secara historis, mafia politik dan ekonomi selalu hadir di setiap pergolakan. Mereka punya kepentingan besar: regulasi energi, impor migas, kontrak besar, bahkan proyek infrastruktur. Bila pemerintahan baru mengambil kebijakan yang merugikan mereka, tidak mustahil mereka mendanai gerakan massa untuk menciptakan instabilitas.
Pola mereka jelas: uang untuk massa, jaringan preman untuk mobilisasi, dan framing politik untuk menggiring opini.
Namun, bukti langsung keterlibatan Rizal Chalid dkk masih belum muncul ke permukaan. Yang ada baru sebatas analisis dan dugaan. Ini penting dicatat: media arus utama belum berani memastikan. Tetapi absennya bukti tidak menutup kemungkinan ada aliran dana dari kelompok-kelompok yang merasa terancam oleh kebijakan energi pemerintah.
Bab II. Oligarki: Pemodal Besar dan Bayangan di Balik Layar
Jika ada yang paling diuntungkan dari chaos politik, oligarki ada di barisan depan. Mereka bukan sekadar donatur, melainkan pengatur arah politik.
Oligarki di Indonesia terbagi dalam beberapa kepentingan:
1. Korporasi tambang dan energi yang bisa terganggu dengan regulasi baru.
2. Konglomerat media yang bisa mengatur narasi.
3. Pengusaha besar yang merasa tersisih dari lingkaran istana baru.
Dalam beberapa kasus, oligarki tidak perlu tampil di lapangan. Mereka cukup menyuntikkan dana, mengatur buzzer, lalu memastikan media mengemas berita sesuai kepentingan.
Skenario yang mungkin: oligarki yang kecewa dengan arah kebijakan ekonomi Prabowo mencoba mengirim pesan keras lewat chaos di jalan. Tidak untuk menjatuhkan pemerintahan, tetapi untuk mengingatkan bahwa mereka bisa membuat suasana tidak stabil kapan saja.
Bab III. Genk Solo: Intrik PSI dan Politik Simbolik
Salah satu isu paling menarik adalah keterkaitan Genk Solo. Narasinya bermula dari dua fakta:
1. Ketua PSI tidak diundang ke istana dalam momen penting.
2. Ada pertemuan para buzzer di Solo dengan topik “ajakan demo”.
Kombinasi dua hal ini membuat publik berspekulasi: apakah ada friksi antara kekuasaan dan kelompok buzzer yang dulu menjadi motor dukungan politik?
Genk Solo disebut-sebut sebagai kelompok yang punya jaringan akar rumput, kreator konten, dan jaringan digital. Jika benar mereka merasa “disingkirkan”, bukan tidak mungkin ada upaya melakukan aksi balas dendam politik dengan memanfaatkan demo sebagai panggung.
Namun lagi-lagi, yang ada baru sebatas potongan informasi. Bukti kuat siapa yang mendanai dan menggerakkan belum terungkap. Tapi dinamika PSI dan hubungannya dengan lingkar kekuasaan jelas memberi warna dalam drama demo akhir Agustus ini.
Bab IV. Video Penugasan: Instruksi untuk Menjarah dan Menyerang
Salah satu bukti paling kuat adalah video sekelompok orang yang ditugasi untuk menjarah dan merusak. Target mereka disebut-sebut bukan main: anggota dewan, Menteri Keuangan, bahkan Presiden Prabowo.
Jika benar instruksi ini ada, berarti demo sudah didesain bukan sekadar protes, melainkan operasi politik untuk menciptakan chaos.
Pertanyaannya: siapa yang mampu mendesain operasi sebesar itu?
Kelompok kecil tanpa dana besar mustahil bisa melakukannya.
Harus ada sponsor, jaringan, dan aktor yang mengatur logistik.
Jika targetnya adalah simbol negara (Menkeu dan Presiden), berarti ada upaya sistematis untuk melemahkan legitimasi pemerintahan.
Bab V. CCTV Sarinah: Pola Lama, Tempat yang Sama
Rekaman CCTV di Sarinah yang menunjukkan sekelompok orang membakar halte bus mengingatkan kita pada pola lama: aksi di titik ikonik Jakarta untuk menciptakan efek simbolik.
Sarinah bukan sekadar halte. Ia adalah simbol jantung kota, lokasi strategis yang selalu masuk pemberitaan. Dengan membakarnya, pesan politik yang ingin dikirim adalah: “Jakarta tidak aman. Pemerintah gagal menjaga stabilitas.”
Sejarah menunjukkan pola ini berulang. Tahun 1998, 2016, 2019, dan kini 2025. Selalu ada titik strategis yang dibakar demi efek media.
Bab VI. Membaca Skenario Politik
Dari semua fakta di atas, kita bisa membayangkan beberapa skenario:
1. Skenario Mafia
– Didanai oleh jaringan mafia migas/energi yang merasa dirugikan.
– Tujuannya menekan pemerintah agar tidak mengambil kebijakan tertentu.
2. Skenario Oligarki
– Oligarki kecewa menggerakkan massa lewat kaki tangan politik.
– Pesan: “jangan tinggalkan kami dalam kebijakan baru.”
3. Skenario Genk Solo
– Aksi dimanfaatkan sebagai panggung politik balas dendam buzzer.
– Tujuannya mengguncang narasi kekuasaan.
4. Skenario Operasi Rahasia
– Justru aksi ini didesain oleh kekuatan internal untuk menciptakan kambing hitam.
– Dengan chaos, publik diarahkan untuk menyalahkan kelompok tertentu.
Bab VII. Kambing Hitam: Siapa yang Akan Dikorbankan?
Sejarah Indonesia penuh dengan politik kambing hitam. Tahun 1965, 1998, hingga 2019, selalu ada kelompok yang dijadikan musuh bersama.
Kini, pertanyaan terbesar: siapa yang akan dikorbankan untuk demo akhir Agustus 2025?
Apakah mafia, oligarki, Genk Solo, atau kelompok lain yang justru tidak terlibat langsung?
Jawaban ini akan sangat menentukan arah politik ke depan. Bila pemerintah salah menunjuk kambing hitam, krisis bisa makin dalam. Tapi bila benar, maka aktor intelektual sesungguhnya bisa terungkap.
Kesimpulan: Membuka Mata Publik
Demo akhir Agustus 2025 adalah cermin rapuhnya politik Indonesia. Ia memperlihatkan bagaimana massa bisa dimobilisasi, bagaimana uang bisa membeli chaos, dan bagaimana narasi bisa diarahkan untuk menyelamatkan aktor besar sambil mengorbankan kambing hitam.
Yang jelas, fakta-fakta awal sudah terlihat: ada video penugasan, ada rekaman CCTV, ada narasi tentang mafia, oligarki, dan Genk Solo. Tetapi semua masih butuh pembuktian hukum.
Tugas publik adalah tetap kritis. Jangan buru-buru percaya pada narasi siapapun. Karena dalam politik Indonesia, kebenaran sering kali bukan soal fakta, melainkan soal siapa yang paling kuat membentuk opini.**