Oligarki itu Monster Dilegitimasi

Breaking News
- Advertisement -

 

 

Oleh Erizeli Bandaro

Mudanews.com OPINI – Saya temui juga Ira di Café di Kawasan Selatan Jakarta. Tadi katanya mau kenalkan saya dengan teman nya peneliti geopolitik. Saat saya datang. Ira sudah bersama temannya. “ Ale, kenalkan ini, Anna.” Kata Ira perkenalkan temannya. Anna cerita bahwa dia sudah lama mendengar cerita tentang saya dari Ira. Dia juga merindukan persahabatan seperti saya dan Ira, yang bisa bertahan lebih 30 tahun.

“Bro, kau lihat berita terakhir? Menteri itu bikin kebijakan lagi yang sama sekali nggak nyambung,” Ira membuka diskusi.

Saya tertawa hambar. “Blunder sudah jadi habit. Bukan lagi sekadar kesalahan teknis, tapi memang desain. Menteri bukan representasi visi presiden, melainkan perpanjangan tangan oligarki.”

Anna mengangguk pelan. “Itu persis yang disebut Winters dalam Oligarchy. Menteri bukan teknokrat, melainkan broker kepentingan. Jadi jangan heran kalau kebijakan lebih mirip titipan.”

“Dan Prabowo? Dia seakan membiarkan para ketua Lembaga dan Menteri yang sowan ke Rumah Jokowi. Seperti masih terikat bayang-bayang kekuasaan masa lalu.” Kata Ira menambahkan dengan sinis.

Saya menyeruput kopi hitam. Kemudian menghembuskan asap rokok ke atas.

“Itu path dependency, Rich. Acemoglu & Robinson, sudah menjelaskan “ Kata Anna. “ institusi yang sudah terkunci oleh elite sulit diubah oleh penguasa baru. Jokowi meninggalkan jaringan patronase, dari BUMN, proyek strategis, sampai arsitektur fiscal. Dan Prabowo tampaknya memilih kompromi daripada benturan.”

ira menatap saya, matanya tajam. “Tapi kompromi ini berbahaya. Polisi dan jaksa sekarang seperti dua kerajaan kecil. Mereka berebut kasus, bukan menegakkan hukum. Presiden gagal menjadi komando tunggal.”

“Dan oligarki yang paling diuntungkan,” sahut saya. “Mereka bisa bermain di ruang fragmentasi itu. Polisi melindungi kepentingan bisnis tertentu, jaksa mengatur kanal sendiri. Hasilnya? Kasus besar menggantung. Negara kehilangan legitimasi.”

Ira mencondongkan tubuhnya. “Lebih parah lagi di fiskal. Debt Service Ratio kita sudah engga sehat. Beban bunga utang makin menggila. Tapi presiden tampaknya hanya mendengar laporan manis, ‘Asal Bapak Senang’.”

Ana menambahkan, “Stiglitz menyebut itu ilusi stabilitas. Pemerintah sengaja memoles data. Stok pangan katanya aman, pertumbuhan konon stabil, padahal rakyat tahu harga di pasar melonjak. Data bias jadi mekanisme untuk mempertahankan narasi, bukan untuk menyelesaikan masalah.”

Saya menatap keluar jendela. Lampu-lampu jalan berpendar seperti bayangan ilusi itu sendiri. “Kalian tahu.” Kata saya.” dalam kondisi ini ending-nya bisa tiga. Pertama, presiden melemah permanen. Jadi simbol tanpa kuasa, sementara oligarki memegang kendali de facto. Kedua, kompromi stabilitas. Negara bertahan dengan ilusi pertumbuhan tapi tanpa legacy. Ketiga, konflik terbuka. Jika krisis fiskal atau politik meledak, Prabowo harus memilih, melawan oligarki atau runtuh dalam tekanan.”

Anna mengetuk meja dengan jarinya. “Sepertinya mereka menggiring Prabowo pada situasi ketiga.”

“ Jadi sebenarnya, Prabowo sekarang sedang di persimpangan. Apakah ia jadi presiden de jure atau penguasa de facto?” Kata Ira.

Ana tersenyum miris. “Dan jawabannya bukan soal kapasitas pribadi. Ini soal keberanian memutus cengkeraman oligarki. Kalau tidak, demokrasi hanya panggung kosong. Presiden sekadar caretaker, menjaga kursi, sementara drama dimainkan di balik layar.”

Saya mengangguk pelan. “Winters benar. Oligarki hanya bisa dibatasi kalau ada political will yang berani menggeser keseimbangan kekuasaan. Kalau tidak, kita akan terus hidup dalam ilusi: data yang bias, hukum yang diperdagangkan, dan presiden yang jadi sandera.”

Hening sejenak. Hanya suara hujan sisa yang menetes dari atap seng.

Saya menyalakan rokok lagi. “Dan kita, sebagai rakyat hanya bisa mengeluh dan merekam sejarah. Kadang melawan itu bukan dengan senjata, tapi dengan mendidik generasi muda untuk tahu arti kemedekaan dan memperjuangkannya.”

“Sejarah selalu memberi pilihan. Tapi bangsa ini terlalu sering memilih kompromi, bukan keberanian.” Kata Anna lirih. “Sebenarnya, tidak semua presiden selalu gagal. Ada contoh negara lain yang berhasil keluar dari jeratan oligarki.”

Saya mendongak, sedikit terkejut. “Maksudmu siapa?”

“Lihat Korea Selatan. Setelah krisis finansial Asia 1997, negeri itu hampir tenggelam oleh cengkeraman chaebol. Namun presiden Kim Dae-jung berani melakukan reformasi struktural. Ia membuka transparansi keuangan, memperkuat otoritas independen, dan membatasi dominasi konglomerat lewat pembatasan pinjaman bergulir. IMF menyebut langkah itu sebagai ‘shock therapy’, tapi nyatanya Korea bisa bangkit dan industri teknologinya justru melesat.” Kata Anna.

Saya menimpali, “Ya, itu tepat. Kim Dae-jung menunjukkan political will. Ia tahu oligarki bisa mematikan demokrasi, sehingga reformasi bukan sekadar kebijakan ekonomi, tapi keputusan politik yang melawan jaringan rente.”

Ira mengangguk, lalu menambahkan, “Ada juga contoh Meksiko. Presiden Lázaro Cárdenas tahun 1930-an berani menasionalisasi industri minyak yang dikuasai perusahaan asing dan elite dalam negeri. Itu keputusan radikal, membuatnya berhadapan dengan oligarki minyak. Tapi keberanian itu yang menegaskan kedaulatan negara. Sampai sekarang, Cárdenas dikenang sebagai presiden yang mengembalikan martabat nasional.”

Anna tersenyum tipis. “Dan jangan lupa Uruguay di awal 2000-an. Presiden Tabaré Vázquez serta José Mujica. Mereka membatasi pengaruh finansial elite lewat reformasi pajak progresif, memperkuat koperasi, dan menjadikan data ekonomi lebih transparan. Mujica, dengan gaya hidup sederhana, memberi teladan moral: presiden bukan boneka kapital.”

Saya menatap mereka berdua, lalu berkata pelan, “Itulah bedanya. Di negara-negara itu, presiden memilih risiko konfrontasi dibanding kompromi. Mereka paham, tanpa benturan dengan oligarki, demokrasi hanya ilusi. “

“ Ya Seperti kata Acemoglu dan Robinson, “ kata Ira. “ perubahan besar hanya lahir ketika ada critical juncture, momen krisis yang dipakai pemimpin untuk mengubah arah institusi.”

Anna memukul pelan meja dengan jarinya. “Pertanyaannya, apakah Prabowo punya nyali itu? Atau ia akan tetap jadi caretaker, presiden de jure, tapi oligarki de facto?”

Saya menatap keluar jendela. “Sejarah selalu memberi pilihan. Tapi bangsa ini terlalu sering memilih kompromi, bukan keberanian. Moga Prabowo yang lahir dari keluarga terpelajar dan dididik secara militer, dengan sapta marga nya punya keberanian. Dan kita tentu berharap .”

***

State Capture dan Oligarki.

Ada satu wajah kekuasaan yang tidak lagi samar di hadapan kita: oligarki. Ia bukan sekadar sekumpulan orang kaya yang menumpuk harta, melainkan monster yang tumbuh dari darah rakyat, menghisap sumber daya, dan ironisnya, hidup dengan legitimasi yang kita sendiri berikan.

Oligarki bekerja sunyi, tidak pernah tampil vulgar. Ia tidak menembakkan peluru, melainkan menekan dengan kontrak, utang, dan regulasi yang dipesan. Ia tidak mengancam dengan tank, melainkan dengan angka pertumbuhan ekonomi yang dipoles, laporan fiskal yang bias, dan janji pembangunan yang mengilusi. Seperti yang diuraikan Jeffrey Winters dalam Oligarchy (2011), oligarki bukan sekadar kaya, tapi memiliki kapasitas untuk mempertahankan kekayaan itu melalui kuasa negara. Inilah yang membuatnya berbeda dari sekadar kapitalis biasa—ia menjelma menjadi institusi bayangan yang lebih kuat daripada pemerintah yang seharusnya berdaulat.

Kita menyaksikan bagaimana presiden seakan hanya menjadi penjaga panggung, sementara lakon ditulis oleh mereka yang duduk di balik meja lobi. Menteri sering kali bukan teknokrat, melainkan perpanjangan tangan konglomerat. Polisi dan jaksa bukannya menjadi benteng hukum, justru berubah menjadi kerajaan kecil yang diperebutkan. Sementara itu, presiden lebih sibuk menerima laporan manis ketimbang menyingkap realitas fiskal yang makin kritis. Oligarki berhasil menciptakan legitimasi lewat kompromi politik, bukan melalui kebenaran.

Joseph Stiglitz (2002) menyebutnya sebagai ilusi stabilitas—pemerintah menjaga citra seolah semua baik-baik saja, padahal di pasar harga pangan melonjak, di APBN beban bunga menggunung, dan di lapangan kerja rakyat mengeluh. Legitimasi semacam ini rapuh. Ia berdiri di atas data yang dipoles dan narasi yang dimanipulasi, bukan pada kepercayaan rakyat yang otentik.

Sejarah menunjukkan monster ini bisa dilawan, tapi hanya oleh pemimpin yang berani membayar harga. Kim Dae-jung di Korea Selatan memukul balik chaebol pasca krisis 1997 dengan reformasi institusional. Lázaro Cárdenas di Meksiko menasionalisasi minyak untuk merebut kembali martabat bangsa. José Mujica di Uruguay membalikkan logika politik uang dengan hidup sederhana dan reformasi progresif. Mereka menolak kompromi, memilih benturan dengan oligarki, dan karena itu mereka dikenang.

Indonesia hari ini berdiri di persimpangan yang sama. Apakah kita membiarkan oligarki terus menghisap darah dengan selubung legitimasi politik, ataukah kita berani menegakkan kedaulatan institusi dan memutus patronase busuk yang diwariskan? Pertanyaan itu bukan hanya untuk presiden, tetapi untuk kita semua, rakyat yang kerap dibungkam dengan ilusi angka.

Karena pada akhirnya, monster itu tidak lahir dari ruang hampa—ia tumbuh subur dari kompromi kita sendiri. Dan legitimasi yang ia miliki, sesungguhnya adalah darah kita yang mengalir deras ke dalam tubuhnya.

Istilah state capture pertama kali diperkenalkan oleh World Bank dalam Transition Report (2000), ketika meneliti transformasi ekonomi di negara-negara pasca-Soviet. Definisi klasiknya merujuk pada praktik manipulasi prosedur formal negara, baik hukum, regulasi, maupun birokrasi oleh aktor politik maupun ekonomi untuk memperoleh keuntungan privat yang dilegalkan secara normatif. Dengan kata lain, state capture dapat dipahami sebagai “penipuan terhormat”: kejahatan yang dilegalkan melalui instrumen hukum dan prosedur administratif.

Aktor yang terlibat dalam state capture biasanya terdiri dari pejabat negara, korporasi besar, dan individu berpengaruh. Mereka membentuk jaringan oligarki yang saling menyandera, menciptakan kepentingan bersama untuk melanggengkan distribusi rente.. Fenomena ini lebih mudah muncul dalam sistem multipartai tanpa oposisi kuat. Mekanisme seperti presidential threshold seringkali mengunci peluang calon independen, sehingga memastikan kandidat lahir dari konsensus oligarki, bukan dari aspirasi rakyat.

Dalam konteks politik elektoral, biaya kontestasi yang tinggi mendorong ketergantungan kandidat pada dana oligarki. Akibatnya, regulasi pemilu, proses penyelesaian sengketa, hingga independensi pengadilan dapat direkayasa untuk menguntungkan pihak berkuasa.. Pemimpin yang lahir dari mekanisme ini seringkali hanya menjadi “konduktor” bagi orkestra kepentingan oligarki.

Pengalaman Amerika Latin memberikan pelajaran penting. Nasionalisasi aset strategis pada era tertentu justru diikuti oleh privatisasi yang melahirkan konglomerasi oligarki. BUMN, yang awalnya menjadi instrumen pembangunan, kemudian terjerat utang akibat skema pembiayaan berbasis proyek (EPC, pengadaan tanah, hingga mark-up biaya). Pada saat gagal bayar, negara dipaksa melakukan bailout melalui APBN, melahirkan siklus moral hazard.

Dalam sektor mineral, rezim perizinan (IUP) sering kali dipermudah dengan dalih menarik investasi. Namun kenyataannya, akses hanya terbuka bagi jaringan oligarki domestik yang menjadi beneficial owner atas nama investor asing melalui skema participating interest dan counter trade. Konsekuensinya: Devisa hasil ekspor lebih banyak tinggal di luar negeri. Kerusakan lingkungan dibiarkan menjadi biaya sosial. Polisi menjadi Satpam oligarki bukan pelindung rakyat. Kondisi ini memperlihatkan bahwa state capture tidak hanya merugikan fiskal negara, tetapi juga merusak basis ekologis pembangunan dan keadilan.

Kasus penyalahgunaan Dana Pensiun (Dapen) BUMN menunjukkan bagaimana oligarki merambah sektor keuangan. Skema obligasi konversi pra-IPO menguntungkan korporasi, sementara kerugian akibat penurunan harga saham ditanggung Dapen. Dengan teknik financial engineering seperti pengemasan portofolio dalam bentuk reksa dana, kerugian hanya menjadi “unrealized loss” di atas kertas, meskipun secara substantif dana pensiun telah menjadi zombie asset.

Pangan adalah instrumen vital dalam state capture. Regulasi ketahanan pangan yang seharusnya melindungi petani domestik justru melemahkan kemandirian produksi. Ketergantungan pada impor yang dikendalikan trader internasional membuat harga pangan ditentukan pasar global, sementara negara dipaksa menyalurkan subsidi besar dari APBN..

Bank domestik juga menjadi instrumen penting dalam sirkulasi uang hasil state capture. Dana dari aktivitas ilegal (perjudian daring, pertambangan ilegal, komisi proyek) disalurkan melalui pinjaman korporasi oligarki, kemudian dijual kembali ke bank luar negeri dalam bentuk credit selling. Uang yang kembali masuk melalui pembelian surat utang negara berubah status menjadi sah (laundered). Dengan demikian, ketergantungan utang negara tidak hanya kepada asing, tetapi juga kepada oligarki domestik.

***

Sejarah menunjukkan, ketika rakyat ditipu cukup lama, mereka cenderung menolak menerima bukti penipuan itu. Inilah bahaya terbesar state capture: ia bukan hanya menguras fiskal dan merusak ekologi, tetapi juga menjerat kesadaran publik dalam jebakan legitimasi semu. Indonesia perlu belajar dari pengalaman Amerika Latin agar tidak terjebak dalam spiral oligarki yang melanggengkan “penipuan terhormat”.

 

Berita Terkini