Oleh : Anton Christanto ,Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali
Gejolak di Jalanan, Getar di Istana
Mudanews.com OPINI – Demonstrasi besar yang menuntut pembubaran DPR beberapa waktu lalu tidak bisa dipandang sebagai sekadar kerumunan massa yang marah. Ada sesuatu yang lebih dalam: kegelisahan publik atas kualitas demokrasi, keresahan tentang elit politik yang dianggap sibuk membagi kuasa, serta perasaan bahwa institusi wakil rakyat semakin jauh dari rakyat.
Presiden Prabowo, dalam pernyataannya yang tajam, menyebut aksi tersebut “mengarah kepada makar dan terorisme.” Kalimat ini seketika mengguncang. Publik terbelah: ada yang mendukung, menganggap presiden benar karena negara harus tegas; ada pula yang menilai, framing itu berlebihan, karena tidak semua demonstrasi otomatis makar.
Di sinilah perdebatan besar dimulai. Apakah framing “makar” merupakan sikap tegas untuk menjaga negara, atau justru bentuk delegitimasi aspirasi rakyat?
Tulisan ini akan mengurai persoalan itu dalam empat bagian utama: (1) Framing makar sebagai sinyal politik, (2) Ruang aspirasi jalanan sebagai tradisi demokrasi, (3) Konsolidasi elit di istana sebagai simbol kekuasaan, dan (4) Ujian keseimbangan antara ketegasan negara dengan kebebasan berekspresi.
1. Framing: Makar sebagai Sinyal Tegas
1.1 Politik Bahasa
Kata makar tidaklah netral. Dalam hukum pidana Indonesia (Pasal 107 KUHP), makar merujuk pada upaya menggulingkan pemerintah yang sah, mengganti ideologi negara, atau menguasai wilayah dengan kekerasan. Dengan memakai istilah itu, Presiden Prabowo sedang mengangkat demonstrasi ke level ancaman negara, bukan sekadar aksi protes sosial.
Dalam politik, bahasa adalah senjata. Dengan satu kalimat, presiden mengirim pesan ke publik, aparat, dan elit politik: hati-hati, ada batas yang tidak boleh dilanggar. Ini adalah framing politik yang sangat kuat, karena ia memisahkan “aspirasi sah” dari “upaya makar.”
1.2 Membaca Niat Presiden
Prabowo, sebagai seorang mantan jenderal dan kini presiden, tentu paham betul beratnya istilah makar. Ia tidak mungkin mengucapkannya tanpa maksud. Sinyal yang ingin ia sampaikan adalah dua lapis:
1. Ke rakyat: jangan biarkan dirimu diprovokasi aktor gelap.
2. Ke elit: saya tahu ada yang sedang bermain di balik demonstrasi.
Framing makar, dengan demikian, adalah peringatan. Presiden menegaskan bahwa negara tidak akan mentolerir kerusuhan yang ditunggangi.
1.3 Bahaya Framing Berlebihan
Namun, framing makar juga punya risiko. Bila terlalu sering digunakan, ia bisa membuat publik kehilangan kepercayaan. Aspirasi rakyat bisa dianggap musuh negara. Di sinilah garis tipis muncul: bagaimana membedakan aspirasi murni dengan makar?
2. Ruang Bagi Aspirasi Jalanan
2.1 Parlemen Jalanan dalam Sejarah
Indonesia punya tradisi panjang “parlemen jalanan.” Tahun 1966, mahasiswa turun menentang Orde Lama. Tahun 1998, rakyat berbondong-bondong menumbangkan Orde Baru. Bahkan setelah reformasi, demonstrasi tetap menjadi cara rakyat bersuara, dari isu BBM, korupsi, hingga revisi undang-undang.
Jalanan adalah panggung demokrasi rakyat kecil. Ketika ruang di parlemen dianggap mandek, rakyat menciptakan ruangnya sendiri.
2.2 Pesan Prabowo: Ada Ruang, Tapi Jangan Anarki
Pernyataan Prabowo, jika dibaca cermat, sebenarnya tidak menutup ruang aspirasi. Ia tetap menekankan bahwa demonstrasi damai adalah hak konstitusional. Yang ia peringatkan adalah ketika aksi berubah menjadi kekerasan, perusakan, atau ditunggangi aktor politik yang ingin menggulingkan negara.
Dengan kata lain: parlemen jalanan sah, selama ia tetap dalam koridor damai.
2.3 Aspirasi vs. Anarki
Di titik ini, demokrasi diuji. Negara harus bisa mendengar suara rakyat tanpa merasa terancam. Namun rakyat pun harus bisa menyampaikan aspirasinya tanpa melampaui batas hukum. Begitu garis itu dilanggar, demonstrasi bisa kehilangan legitimasi dan berubah menjadi anarki.
3. Konsolidasi Elit di Istana
3.1 Simbol Kekuasaan yang Solid
Setelah demo, Presiden Prabowo mengundang ketua lembaga negara dan ketua partai ke istana. Pertemuan itu bukan sekadar silaturahmi, tetapi simbol konsolidasi. Pesan yang ingin ditunjukkan: negara solid, elit bersatu, tidak ada celah bagi pihak yang mencoba mendeligitimasi DPR atau pemerintah lewat kerusuhan.
3.2 Pesan ke Elit Politik
Namun ada lapisan lain: pertemuan itu juga pesan internal. Presiden memberi tahu para elit bahwa ia tahu ada yang bermain. Jangan coba menunggangi amarah rakyat untuk agenda tersembunyi.
Bagi Prabowo, ini bukan hanya menjaga stabilitas negara, tetapi juga menjaga kredibilitas kepemimpinannya di awal masa jabatan. Presiden ingin memastikan semua elit tunduk pada garis yang sama: tidak boleh ada yang bermain api.
3.3 Politik Teguran
Konsolidasi elit ini bisa dibaca sebagai bentuk “teguran politik.” Presiden tidak hanya mengingatkan rakyat, tetapi juga para koleganya di lingkar kekuasaan: jangan berpura-pura setia sambil menyulut api di jalanan.
4. Ujian Keseimbangan: Tegas dan Demokratis
4.1 Negara Menegakkan Batas
Framing makar adalah garis tegas. Negara harus menjaga wibawa. Jika demonstrasi berubah anarkis, negara berhak menindak. Tanpa garis ini, kerusuhan bisa membesar dan melumpuhkan legitimasi negara.
4.2 Negara Tidak Boleh Menutup Diri
Namun, jika setiap aksi rakyat dianggap makar, maka demokrasi akan mati pelan-pelan. Rakyat kehilangan ruang bicara. Ketidakpuasan akan membusuk di bawah permukaan dan meledak lebih besar di kemudian hari.
4.3 Dialektika Demokrasi
Di sinilah dilema demokrasi: antara kebebasan dan ketertiban. Negara harus tegas, tetapi juga terbuka. Rakyat harus kritis, tetapi juga tertib. Tanpa keseimbangan ini, demokrasi akan terjerembab dalam dua ekstrem: anarki atau otoritarianisme.
Kesimpulan: Garis Tipis di Antara Makar dan Aspirasi
Pernyataan Presiden Prabowo bahwa demonstrasi pembubaran DPR “mengarah kepada makar” adalah framing politik yang sarat pesan. Di satu sisi, ia menegaskan batas negara: aksi anarkis tidak akan ditolerir. Di sisi lain, ia tetap mengakui ruang aspirasi jalanan sebagai tradisi demokrasi Indonesia.
Konsolidasi elit di istana menunjukkan bahwa negara ingin tampil solid, sekaligus mengirim peringatan ke para pemain politik. Pesannya jelas: presiden tahu siapa yang bermain, dan ia siap menertibkan.
Namun, pertanyaan besar tetap menggantung: bisakah negara benar-benar menjaga keseimbangan? Bisakah ia menindak tegas aktor kerusuhan, sambil tetap menghormati kebebasan berekspresi rakyat?
Di sinilah masa depan demokrasi Indonesia dipertaruhkan. Jalanan tidak boleh ditutup, tetapi juga tidak boleh dibiarkan jadi medan anarki. Negara harus menjadi wasit yang adil—tegas pada makar, tetapi juga terbuka pada aspirasi.
Jika keseimbangan ini gagal dijaga, maka kata makar bisa berubah menjadi senjata politik untuk membungkam rakyat. Tapi bila dijalankan dengan bijak, maka kata makar bisa menjadi pagar demokrasi, yang justru menjaga agar rakyat tetap bebas bersuara tanpa ditunggangi oleh kepentingan gelap.***