_Oleh: Ps. Ludovicus Mardiyono_
_(Gembala Gereja & Pemerhati Sosial-Politik)_
Mudanews.com OPINI | Indonesia tengah memasuki satu fase penting dalam sejarah politik kontemporernya. Sejak 25 Agustus 2025, gelombang demonstrasi mahasiswa dan rakyat bermunculan di berbagai kota besar. Tuntutan mereka tegas: pembubaran DPR, pencopotan pejabat yang dinilai gagal dan korup, serta desakan akan pemulihan etika kekuasaan. Namun yang terjadi justru sebaliknya: pejabat bereaksi dengan label “anarkis”, menyebut mahasiswa “tak paham konstitusi”, dan bersembunyi di balik jargon “demokrasi Pancasila”.
Narasi seperti ini justru memperlihatkan jurang yang makin lebar antara rakyat dan para penguasa.
Ketatanegaraan yang Elitis dan Simbolik
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, DPR adalah representasi rakyat. Tapi hari-hari ini, DPR justru tampil sebagai menara gading: sibuk mengamankan kepentingan elit, menaikkan tunjangan, membungkam kritik, dan abai terhadap jeritan masyarakat. Ketika rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan pokok, para wakilnya malah memanjakan diri dengan fasilitas negara yang disumbang dari keringat rakyat.
Secara konstitusional, tidak ada pasal eksplisit yang menyebutkan prosedur pembubaran DPR oleh rakyat secara langsung. Namun, secara moral dan politik, suara rakyat yang massif dapat membentuk tekanan sosial dan konstitusional. Bila tidak dijawab secara bijak, tekanan ini akan melahirkan ketidakpercayaan akut terhadap lembaga legislatif—sebuah bahaya serius bagi demokrasi.
Arogansi Kekuasaan dan Hilangnya Rasa Malu
Beberapa komentar menteri dalam beberapa waktu terakhir menyulut api di tengah rakyat yang lapar dan frustrasi. Ketika Menteri PAN-RB mengusulkan kenaikan tunjangan ASN di tengah kemiskinan struktural, atau Menteri BUMN membela monopoli bisnis, atau Menteri Keuangan tetap kukuh dengan kebijakan fiskal yang mencekik UMKM—maka publik tak bisa lagi dibujuk dengan narasi stabilitas ekonomi.
Puncaknya adalah kematian tragis seorang pengemudi ojek online yang tertabrak mobil dinas polisi. Ini bukan hanya kecelakaan lalu lintas. Ini simbol: bahwa rakyat kecil bisa mati di jalanan, dan institusi kekuasaan tetap bergeming kecuali ditekan.
Dugaan Rekayasa Politik & Geng Kekuasaan
Tak bisa diabaikan isu yang beredar: benarkah aksi mahasiswa ini digerakkan oleh “Geng Solo”? Apakah ini manuver untuk mendongkel Prabowo dan menyiapkan jalan bagi Gibran? Bila benar, ini bukan hanya pelecehan terhadap idealisme mahasiswa, tetapi juga bentuk manipulasi politik yang sangat keji: meminjam keresahan rakyat demi kepentingan keluarga.
Namun rakyat sekarang lebih cerdas. Mereka tahu membedakan gerakan murni dan yang dibajak. Dan kalau kekuasaan terus bermain api, sejarah membuktikan: kekuasaan yang bermain dengan api, akan terbakar olehnya.
Solusi: Pertobatan Politik dan Reformasi Sosial
Kita tidak butuh revolusi berdarah, tapi kita butuh pertobatan politik. Kita perlu para pejabat yang berani mundur ketika gagal, bukan justru menyalahkan rakyat. Kita butuh DPR yang mewakili nurani bangsa, bukan sekadar partai.
Dan kita butuh gereja, masjid, pura, vihara dan semua komunitas moral untuk bersuara. Diam di tengah ketidakadilan adalah bentuk kolusi dengan kekuasaan busuk.
Mari kita mulai dari tiga hal ini:
1. Bangun literasi politik rakyat.
2. Dorong partisipasi warga dalam pengawasan publik.
3. Reformasi sistem representasi politik agar lebih akuntabel dan etis.
Indonesia tidak kekurangan aktivis. Tapi kita kekurangan pemimpin yang takut kepada Tuhan dan mencintai rakyat. Jangan biarkan demokrasi kita dijalankan oleh orang-orang yang hanya mahir bicara tetapi tuli terhadap jeritan rakyat. Jangan biarkan negara ini tenggelam dalam pesta pora elit sementara rakyatnya berkabung dalam diam.
Sudah saatnya rakyat bukan hanya menonton… tapi mengambil peran aktif sebagai penjaga masa depan republik ini.
Ps. Ludovicus Mardiyono
_Gembala Gereja & Pemerhati Sosial-Politik_
_Brussels, Belgia_