Siapa Lagi yang Berani Nantangin Rakyat?

Breaking News
- Advertisement -

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

Mudanews.com OPINI – Rakyat Indonesia sedang marah. Bukan marah biasa, tapi marah yang sudah diasapi bertahun-tahun oleh janji palsu, joget pejabat, dan survei kepuasan yang entah ditulis pakai tinta atau air mata. Demo besar-besaran bukan lagi soal tuntutan. Ini sudah jadi ritual kemarahan nasional. Di tengah kobaran itu, muncul parade tokoh-tokoh yang entah sedang berperan sebagai wakil rakyat atau bintang variety show.

Ahmad Sahroni, Eko Patrio, dan Uya Kuya, tiga nama yang disebut berulang kali oleh massa demo di depan DPR. Mereka viral bukan karena gagasan brilian, tapi karena ucapan tolol sedunia dan berjoget di Sidang Tahunan MPR 2025. Mereka jumawa saat rakyat sedang berduka atas tewasnya Affan Kurniawan, driver ojol yang dilindas rantis polisi. “Mana lu Uya Kuya, Eko Patrio, Sahroni?” teriak demonstran, sambil menjebol pagar DPR dan memblokir jalan tol. Ini bukan nostalgia 1998, ini 2025, dan rakyat masih harus menerobos pagar untuk menyampaikan aspirasi.

Sementara itu, Nafa Urbach dan Dedy Sitorus ikut menyumbang luka dengan pernyataan yang menyulut emosi publik. Dedy menyebut demonstrasi sebagai “gerakan emosional yang tidak berdasar”, seolah-olah rakyat tidak punya alasan untuk marah. Nafa, yang dulu dikenal lewat sinetron, kini lebih dikenal lewat komentar yang membuat rakyat ingin mematikan televisi selamanya.

Jangan lupakan Bupati Sudewo, si penantang rakyat, yang viral karena menyebut demo sebagai “gangguan pembangunan”, padahal yang diganggu adalah tanah rakyat, air rakyat, dan hidup rakyat. Sudewo bahkan sempat menyarankan rakyat “belajar bersyukur”, sebuah kalimat yang cocoknya ditulis di bantal hotel, bukan di pidato pejabat.

Lalu datang angka ajaib, 78 persen rakyat puas terhadap kinerja pemerintah. Survei Indonesian Social Survey (ISS) menyebut kepuasan publik tinggi karena rasa aman dan kepercayaan terhadap institusi. Tapi tunggu dulu, skor kesejahteraan ekonomi hanya 42,6 dari 100. Artinya, rakyat puas meski miskin? Atau surveinya puas karena tidak ditanya soal utang dan harga beras?

Celios bahkan melaporkan BPS ke PBB karena data ekonomi dianggap manipulatif dan melanggar prinsip statistik internasional. Katanya ekonomi tumbuh 5,12%, padahal rakyat tumbuh stres, tumbuh utang, dan tumbuh rasa ingin pindah ke planet lain. Ini bukan statistik, ini sulap.

Kalau ada yang masih bertanya “kenapa rakyat marah?”, mari kita buka peta. Kota-kota yang dilanda demo besar sepanjang Agustus 2025:
Jakarta, Solo, Pati, Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar, Batam, Pontianak, Samarinda, Banjarmasin, Banda Aceh, Gorontalo, dan Bandar Lampung.
Ini bukan demo lokal. Ini koreografi nasional. Dari Sabang sampai Merauke, rakyat menari dalam kemarahan. Bukan joget ala DPR, tapi tarian perlawanan.

So, siapa lagi yang mau nantangi rakyat? Silakan maju. Tapi jangan lupa, rakyat bukan lagi figuran. Mereka sudah jadi penulis naskah, sutradara, dan pemeran utama. Kalau episode berikutnya adalah revolusi, jangan bilang tidak diberi spoiler. Kalian sendiri yang menulis skripnya, dengan joget, dengan survei, dan dengan kata-kata yang menyakiti.

Kekuasaan tanpa empati akan selalu berujung pada perlawanan. Ketika para pemimpin lebih sibuk berjoget dari mendengar jeritan rakyat, panggung politik berubah menjadi arena kemarahan. Rakyat bukan objek statistik yang bisa dipoles seenaknya. Mereka adalah subjek sejarah yang punya suara, luka, dan hak untuk marah. Ketika data dimanipulasi, ketika survei dijadikan selimut untuk menutupi kegagalan, yang tersisa hanyalah api di jalanan dan poster-poster perlawanan yang tak bisa dibungkam.

Kemarahan rakyat bukanlah ancaman, melainkan cermin. Cermin yang memantulkan wajah asli dari sistem yang selama ini pura-pura peduli. Dari Jakarta hingga Gorontalo, dari Solo hingga Pontianak, rakyat bersatu bukan karena ditunggangi, tapi karena ditindas, eh salah, dilindas.***

 

Berita Terkini