Pemerintah Kalap Karena Silap

Breaking News
- Advertisement -

 

Oleh : Sunardian Wirodono

Mudanews.com OPINI   | Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah tampak semakin resah menghadapi gelombang ekspresi rakyat di media sosial. Padal, dalam satu dekade terakhir ini Pemerintah juga pemakai ‘kegunaan’ medsos, dengan memakai apa yang disebut influencer dan buzzer. Biasa, asu gedhe menang kerahe.

Yang teranyar, setelah mau memajaki pengguna medsos, Polisi dikerahkan untuk mantengin akun-akun medsos dari berbagai platform yang nayangin peristiwa demonstrasi secara live. Bahkan hingga cuitan spontan yang viral.

Ketika ruang digital kini menjadi panggung alternatif, untuk menyuarakan ketidakpuasan, pemerintah kalap dan gusar. Aparat pun bergerak: memantau, menegur, bahkan sesekali menindak. Tujuannya jelas, mengendalikan arus informasi agar tidak berubah menjadi gelombang perlawanan.

Namun, bukankah melawan teknologi digital itu seperti mencoba melawan angin dengan genggaman tangan? Selalu ada celah, dan selalu akan luput? Apa yang ditakutkan Pemerintah?

Padahal Presiden sebagai pucuk pimpinan eksekutif bisa menggerakkan Kepolisian dan Tentara (yang bersenjata api maupun tajam dan tumpul) untuk melawan rakyat jelantah (yang tak bersenjata apapun, kecuali hati-nurani dan media sosial?

Lagian, dalam melakukan protes sosial atau demonstrasi, rakyat tidak selalu menang bukan? Ratusan pendemo yang bersemangat bisa dipukul mundur dengan water canon atau semprotan gas air mata? Ratusan demonstran brutal bisa dipukul mundur oleh Brimob, atau kalau perlu tentara yang terlatih dalam adu fisik?

Tapi, nyatater, kenapa Pemerintah ketakutan kepada medsos? Karena pemerintahan yang lahir dari pencitraan akan lebih takut kepada citraan yang buruk. Mereka bisa kalap, namun bisa semangkin daripada silap. Walaupun upaya pengawasan (ekspresi public lewat medsos) itu, tidak sepenuhnya buruk. Negara memang punya kewajiban menjaga ketertiban, melindungi warganya dari provokasi dan kabar bohong.

Namun, garis antara ‘provokasi’ dan ‘ekspresi’ begitu tipis. Seringkali kabur oleh tafsir sepihak. Akibatnya, rakyat merasa bukan dilindungi, melainkan dibungkam. Dalam kondisi seperti itu, pengawasan justru melahirkan perlawanan baru: rakyat mencari saluran yang lebih canggih, lebih sulit dilacak, dan lebih liar.

Rakyat jarang bergerak tanpa alasan. Amarah buruh, keresahan mahasiswa, hingga suara nyinyir di medsos bukan muncul dari ruang kosong. Itu adalah reaksi terhadap realitas hidup yang kian menghimpit: upah yang tak cukup, kebijakan yang tak adil, janji yang tak ditepati. Alih-alih malah naikin tunjangan anggota DPR, obral tanda jasa untuk koleganya, yang tak jelas kriterianya (bahkan tim penilai nunjuk diri sendiri sebagai penerima penghargaan).

Bahkan, tindakan ‘tolol se dunia’ (pinjam istilah sopan dari anggota Parlemen bernama Ahmad Sahroni) Polisi yang mau ngawasin medsos. Boleh saja mengawasi layar ponsel rakyat, tapi pemerintah takkan pernah bisa menyentuh luka di perut yang lapar atau hati yang kecewa.

Di sinilah letak ironi paling getir. Penguasa sibuk menuding rakyat provokatif, padahal api itu takkan menyala tanpa bahan bakar. Tak ada asap tanpa api. Kalau pemerintah sungguh-sungguh menjaga amanat publik, melayani dengan tulus, dan mendengarkan suara rakyat, niscaya tak perlu repot-repot jadi ‘polisi medsos’.

Semua keributan ini hanyalah cermin dari pemerintahan yang lupa siapa yang menjadikannya, yakni rakyat sendiri, yang faktanya pemasukan APBN juga 80% dari pajak rakyat. Penghasilan Negara dari SDA dan BUMN, tak lebih dari 20%.

Dari APBN yang 80% berasal dari pajak rakyat itu dipakai untuk menggaji Presiden, Menteri, Wamen, Dirjen, Irjen, ASN, anggota DPR, hakim, jaksa, Polisi, tentara, PNS, MBG, etc, etc.. Tapi rakyat ditolol-tololin, dan ditoyor-toyor pakai bedil dengan sepatu larsa. Siapa tak sakit hati atau marah?

Di situ Pemerintah takkan sanggup melawan dirinya sendiri, karena musuhnya adalah citra diri. Apalagi pemerintahan yang diam-diam menjadi korban politik sandera dari pemerintahan sebelumnya.

Padal tuntutan rakyat mudah saja, tegakkan hukum, jangan korupsi. Lakukan rekrutmen pejabat public berdasar meritokrasi, bukan bagi-bagi jabatan untuk mereka yang tak punya sensitivitas serta sensibilitas public, karena diotaknya hanya soal menang dan kalah.

Pemerintah akan semangkin daripada kalap, karena mereka khilaf, silap, dan semangkin daripada ‘ora isa dialap’. Tak bisa diharap, tak ada harganya.***

 

Berita Terkini