_Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo)._
Mudanews.com OPINI – Komentar Hendardi dari SETARA Institute soal penganugerahan Bintang Mahaputera oleh Presiden Prabowo Subianto memang tajam. Menurutnya, pemberian penghargaan itu melanggar UU No. 20 Tahun 2009, soal asa keobjektifan, keterbukaan, dan kehati-hatian. Dari kaca mata hukum positif, kritik itu sahih. Namun kehidupan berbangsa kita tidak hanya berdiri di atas undang-undang. Ada ruh lain yang sudah lama hidup dalam masyarakat kita, budaya timur, yang menempatkan budi, balas budi, dan adab sebagai nilai kehidupan.
Indonesia sebagai bangsa timur, diajarkan untuk menghormati jasa. “Budi baik harus dibalas dengan budi baik.” Begitulah pepatah yang diwariskan orang tua kita. Dalam hal ini langkah Prabowo dapat dibaca sebagai wujud jiwa prajurit kesatria. Ia bukan sekadar presiden yang menjalankan hukum formal, tapi orang timur yang paham arti ucapan terima kasih. Maka ketika ia memberikan Bintang Mahaputera kepada orang-orang yang pernah mendukung perjalanan hidup dan politiknya, itu dapat dimaknai bukan semata transaksi politik, melainkan ekspresi penghormatan dan loyalitas.
Beberapa pengamat, diantaranya, Hendardi dan Yudi Latif menilai hal itu tak sesuai dengan undang-undang. Namun perlu diingat bahwa undang-undang adalah produk tafsir manusia, dan tafsir selalu bisa berubah. Barangkali inilah saatnya aturan tentang tanda jasa disempurnakan dengan memasukkan nilai-nilai budaya ketimuran, agar penghargaan negara tidak menjauh dari nuansa moral dan adab, melainkan menyatu dengan watak bangsa Pancasila.
Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno pada era awal Republik telah juga memberikan tanda kehormatan kepada tokoh-tokoh yang oleh sebagian kalangan dianggap kontroversial. Tokoh militer yang terlibat dalam bermacam pergolakan, tokoh politik yang sempat beda pendapat dengannya, bahkan tokoh asing, pernah diberi penghargaan. Bagi Soekarno, penghargaan bukan sekadar soal catatan hukum, tapi simbol persatuan, penghormatan, dan balas jasa.
Di era Orde Baru, Presiden Soeharto juga telah menganugerahkan tanda jasa kepada pejabat, pengusaha, atau tokoh masyarakat yang dianggap berjasa dalam menopang stabilitas politik.
Selalu ada perdebatan, tetapi selalu juga ada tafsir budaya, “jasa tidak boleh dilupakan.”
Dari banyak sumber terpercaya langkah ini juga terjadi di Jepang dengan pemberian penghargaan kenegaraan “Order of the Rising Sun”, di Korea Selatan dengan “Order of Civil Merit”, dan Inggris dengan “knighthood”, semua itu sering diperdebatkan di negaranya, karena juga kerap terjadi penerima penghargaan di sana memiliki catatan kontroversial. Bedanya, Barat cenderung menekankan pada prosedur formal, sementara bangsa-bangsa timur memberi ruang pada adab, loyalitas, dan simbol balas budi.
Dalam konteks Indonesia hari ini, ucapan terima kasih seorang pemimpin memang tidak cukup hanya dengan kata-kata. Uang bisa dianggap transaksional, jabatan bisa menimbulkan salah paham, sementara tanda jasa negara memberi makna simbolik yang lebih luhur. Bintang Mahaputera, dalam pandangan Presiden RI, Prabowo adalah cara paling elegan untuk menyampaikan rasa terima kasih kepada mereka yang pernah berjasa.
Apakah langkah ini sempurna? Tidak. Apakah ia akan terus diperdebatkan? Sudah pasti. Tetapi di balik perdebatan itu, ada pesan budaya yang lebih besar, bahwa politik Indonesia jangan kehilangan ruh ketimurannya. Ruh yang menempatkan adab, kesetiaan, dan jiwa besar di atas hitungan hukum dan kalkulasi kekuasaan.
Nah, disinilah pemberian tanda jasa bisa kita baca bukan hanya sebagai keputusan politik, tapi sebagai cermin jiwa kesatria seorang Presiden.***
Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis 28 Agustus 2025, 12:45 Wib.