Sang Pejuang yang Dibungkam Karena Menolak Takluk pada Kolegium KKI

Breaking News
- Advertisement -

 

Anton Christanto
Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali

Mudanews.com OPINI – Di negeri ini, keberanian berbicara kebenaran ternyata berbayar mahal. Lihatlah apa yang terjadi pada dr. Pimprim Basarah, Sp.A.—seorang dokter anak yang bersuara lantang menolak dominasi Kolegium di bawah KKI. Beliau berdiri tegak, menegaskan bahwa Kolegium tidak boleh menjadi alat politik kekuasaan Kemenkes. Tetapi apa balasannya? Mutasi. Dari RSCM—pusat pendidikan dokter spesialis paling prestisius—dilempar begitu saja ke RS Fatmawati.

Ini jelas bukan rotasi biasa. Ini hukuman. Ini bentuk pembungkaman. Seorang dokter yang berani melawan arus kepentingan birokrasi dipaksa “dikucilkan” agar menjadi pelajaran bagi yang lain: jangan pernah menolak kehendak penguasa!

Keberanian yang Dibayar dengan Pengasingan

Dr. Pimprim tidak bicara untuk kepentingannya sendiri. Beliau bicara demi martabat profesi kedokteran. Beliau menolak intervensi Kemenkes yang ingin mengendalikan pendidikan dokter spesialis lewat Kolegium. Beliau sadar, jika kolegium dikooptasi, maka dokter di Indonesia hanya akan menjadi buruh sistem. Tidak ada lagi independensi profesi, tidak ada lagi harga diri kedokteran.

Tapi apa yang terjadi? IDAI sebagai organisasi profesi memang sempat bersuara, tapi ketika aparat birokrasi mulai menekan, semua ciut nyali. Yang benar-benar berdiri tegak, yang berani bicara, hanyalah satu nama: dr. Pimprim Basarah, Sp.A.

Beliau tidak tunduk. Tidak menjilat. Tidak menjual nurani.
Dan justru karena itulah beliau dikorbankan.

Pengkhianatan Terhadap Profesi

Kemenkes dan KKI seolah-olah ingin menunjukkan taringnya: “Siapa pun yang berani melawan akan dipinggirkan.” Tapi mereka lupa: dokter bukanlah budak. Profesi ini lahir dari sumpah dan nurani, bukan dari izin penguasa.

Mutasi ini bukan hanya serangan terhadap dr. Pimprim, tapi juga terhadap kedaulatan profesi kedokteran. Kalau hari ini dr. Pimprim bisa diperlakukan seperti itu, besok giliran siapa? Anda? Saya? Semua dokter di negeri ini bisa menjadi korban jika diam.

Ketika Keberanian Melawan Sistem Dibalas dengan Mutasi

Di negeri ini, masih ada dokter yang memilih untuk tegak berdiri, meski tahu konsekuensinya adalah dipatahkan oleh kekuasaan. Salah satunya adalah Dr. Pimprim Basarah, Sp.A., seorang dokter anak yang dulu berkiprah di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), pusat pendidikan kedokteran tertinggi di Indonesia.

Beliau memilih jalan yang tidak populer: menolak tunduk pada Kolegium yang dikendalikan oleh KKI (Konsil Kedokteran Indonesia)—sebuah lembaga yang semakin dipertanyakan netralitas dan independensinya. Akibat sikap kerasnya, Dr. Pimprim harus menerima mutasi dari RSCM ke RS Fatmawati.

Mutasi itu jelas bukan sekadar administrasi biasa. Ia adalah hukuman politik medis. Hukuman bagi seorang intelektual yang berani menentang status quo. Hukuman bagi seorang dokter yang tidak mau menjadi pion dalam permainan kekuasaan yang mengorbankan kemandirian profesi kedokteran.

IDAI yang Berani, tapi Sunyi

Yang menarik, Dr. Pimprim tidak bergerak sebagai individu kosong. Ia lahir dari rahim Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), organisasi profesi yang justru memperlihatkan keberanian luar biasa dalam menghadapi Kemenkes terkait isu Kolegium.

Selama bertahun-tahun, Kolegium dipaksa menjadi “alat legitimasi” negara untuk mengendalikan dokter—padahal menurut Undang-Undang, ia seharusnya independen, milik profesi. Kemenkes ingin menjadikan Kolegium sekadar perpanjangan birokrasi, bukan lembaga ilmiah yang mengawal mutu.

IDAI mengambil sikap keras: menolak tunduk. Dalam forum-forum resmi, IDAI menyatakan dengan terang bahwa mereka tidak akan menyerahkan kewenangan akademik pada tangan birokrasi. Ini sebuah perlawanan penting, karena tanpa suara lantang IDAI, profesi dokter akan benar-benar kehilangan kedaulatannya.

Namun sayangnya, keberanian organisasi itu tidak sepenuhnya melindungi individu yang berjuang di garis depan. Dr. Pimprim dibiarkan “sendirian” menghadapi tekanan sistem. Mutasi beliau dari RSCM ke RS Fatmawati adalah bukti nyata bagaimana sistem membalas perlawanan dengan cara halus tapi mematikan: membuang tokoh berpengaruh dari pusat medan pertempuran.

Keberanian yang Harus Dibayar Mahal

Kita tidak boleh menutup mata: keberanian melawan sistem di negeri ini seringkali dibayar dengan isolasi.

Mutasi Dr. Pimprim adalah pesan keras bagi seluruh dokter: “Jangan macam-macam dengan KKI dan Kemenkes.”
Sistem ingin menakut-nakuti bahwa siapa pun yang berani menolak atau melawan, akan digeser, dipinggirkan, bahkan mungkin dilenyapkan secara karier.

Tetapi sejarah selalu menulis hal yang berbeda: mereka yang dikorbankan justru dikenang sebagai pionir perlawanan.

Dr. Pimprim mungkin kehilangan posisi strategis di RSCM, tetapi namanya justru kini menjadi simbol keberanian dokter melawan kooptasi kekuasaan.

Pertarungan yang Belum Usai

Kasus Dr. Pimprim membuka mata kita bahwa masalahnya bukan sekadar soal mutasi, bukan soal RSCM atau Fatmawati. Masalah utamanya adalah: siapa yang berhak mengatur profesi kedokteran di negeri ini?

Apakah dokter harus dikendalikan birokrasi yang hanya memikirkan regulasi politik? Atau tetap dijaga oleh profesinya sendiri melalui Kolegium yang benar-benar independen?

Dr. Pimprim memilih yang kedua. Dan itulah alasan mengapa beliau dianggap “berbahaya.”

Akhir Kata

Perjuangan Dr. Pimprim adalah cermin keberanian seorang dokter yang memilih idealisme ketimbang kenyamanan. Ia berhadapan dengan tembok kekuasaan besar, dan harus membayar mahal dengan kariernya.

Namun justru karena keberanian itu, ia tidak pernah benar-benar sendirian. Ia menjadi simbol, menjadi alarm, menjadi inspirasi bahwa profesi kedokteran tidak boleh sepenuhnya dijajah oleh kekuasaan politik.

Sejarah akan mencatat bahwa di tengah arus dokter yang memilih diam, ada seorang Dr. Pimprim Basarah, Sp.A., yang memilih untuk bersuara.

Bangkitlah, Dokter Indonesia!

Kita harus marah. Kita harus menolak praktik intimidasi dan politik kotor yang menyusup ke dunia profesi. Jangan biarkan seorang pejuang seperti dr. Pimprim berjuang sendirian.

Sejarah selalu mencatat bahwa perubahan lahir dari segelintir orang yang berani melawan. Jika semua dokter Indonesia bersatu, tidak ada kekuatan yang mampu menjadikan profesi ini sebagai budak politik kesehatan.

Hari ini, keberanian dr. Pimprim Basarah sedang diuji. Tapi esok hari, kebisuan kita semua akan diadili sejarah.

Maka mari bersuara:
Hentikan kriminalisasi profesi!
Hentikan pembungkaman dokter yang kritis!
Kembalikan martabat kedokteran ke pangkuan profesi, bukan birokrasi!

Berita Terkini