Kekuasaan yang Terjebak Bayang-Bayang — Prabowo, Jokowi, dan Politik Kontestasi Memori

Breaking News
- Advertisement -

 

Oleh : Anton Christanto
Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali

Pendahuluan

Mudanews.com OPINI – Sejarah politik Indonesia pasca-Reformasi selalu ditandai oleh tarik-menarik antara figur karismatik, struktur institusi, dan jaringan oligarki yang memanfaatkan ruang demokrasi sebagai arena perebutan sumber daya. Ketika Prabowo Subianto akhirnya naik ke tampuk kekuasaan pada 2024, banyak kalangan menilai bahwa ia tidak berdiri di atas pondasi kokoh dari legitimasi personal semata, melainkan lebih pada warisan jaringan relawan dan strategi politik yang dirancang oleh Jokowi dan lingkarannya. Kemenangan Prabowo ibarat buah dari perhitungan dingin kekuatan politik lama, bukan dari kebaruan visi kepemimpinan.

Dari awal, sudah banyak analisis yang menyebut bahwa Prabowo menghadapi persoalan serius: keterbatasan kapasitas personal dalam mengelola pemerintahan, kerentanan terhadap sandera politik, dan ketergantungan pada figur-figur yang justru bukan berasal dari lingkar inti loyalisnya. Situasi ini melahirkan apa yang dalam ilmu politik disebut sebagai fragile leadership—kepemimpinan yang rapuh karena tidak memiliki fondasi ideologis maupun teknokratis yang jelas.

Kepemimpinan yang Lemah: Prabowo di Persimpangan Legitimasi

Secara akademik, konsep qualified leadership dalam kepemimpinan politik mengacu pada tiga aspek: kapabilitas teknokratis, integritas moral, dan kapasitas membangun konsensus. Prabowo tidak sepenuhnya memenuhi kriteria tersebut. Ia dikenal sebagai figur dengan retorika keras dan visi nasionalisme ekonomi, tetapi di balik itu tidak terdapat struktur konseptual yang sistematis mengenai arah pembangunan jangka panjang.

Kelemahan ini segera terekspos setelah ia menjabat. Banyak kebijakan strategis justru tidak dikomunikasikan langsung oleh presiden, melainkan melalui pembantu atau pejabat lama yang masih berafiliasi dengan lingkar Jokowi. Hal ini memperkuat persepsi publik bahwa Prabowo hanya menempati kursi, tetapi kendali mesin pemerintahan masih berada di tangan bayangan masa lalu.

Dalam teori shadow state (Negara Bayangan), negara formal sering kali dimanipulasi oleh kekuatan informal yang mengendalikan sumber daya, informasi, dan kebijakan. Kasus Indonesia pasca-2024 bisa dikategorikan dalam model ini: seorang presiden terpilih secara sah, namun tidak memiliki kedaulatan penuh atas birokrasi dan kebijakan publik karena dikuasai oleh aktor politik yang telah bercokol sebelumnya.

Peran Jokowi dan Relawan dalam Kemenangan

Tidak dapat dipungkiri, kemenangan Prabowo adalah kemenangan yang sangat ditentukan oleh jaringan relawan Jokowi. Relawan yang awalnya dibentuk untuk mengamankan kekuasaan Jokowi, sebagian besar dialihkan menjadi mesin pemenangan Prabowo melalui narasi keberlanjutan. Jokowi memosisikan dirinya sebagai “king maker” yang mampu mengalihkan basis dukungan rakyat kepada kandidat pilihannya.

Namun, loyalitas relawan bukanlah loyalitas kepada Prabowo secara personal, melainkan kepada memori politik Jokowi. Hal ini menciptakan dilema: di satu sisi Prabowo membutuhkan relawan untuk legitimasi massa, tetapi di sisi lain relawan menjadi pengingat konstan bahwa dirinya adalah presiden yang lahir dari rahim politik Jokowi.

Dalam kerangka teori political clientelism, relawan berperan sebagai jaringan patron-klien. Mereka tidak hanya menuntut akses kekuasaan, tetapi juga memastikan agenda Jokowi tetap terjaga dalam pemerintahan baru. Maka, ketika Prabowo berusaha melakukan “pembersihan” dari orang-orang Jokowi, ia tidak sedang melawan sekadar individu, melainkan menghadapi jaringan sosial-politik yang sudah mengakar.

Pemerintahan yang Tersandera

Kondisi ini melahirkan pemerintahan yang tersandera. Hampir setiap kebijakan strategis harus dinegosiasikan dengan kelompok-kelompok yang membawa “stempel” Jokowi. Bahkan, beberapa kebijakan kontroversial yang membuat rakyat marah—kenaikan harga pangan, kebijakan energi yang merugikan konsumen, atau proyek infrastruktur yang mangkrak—ditengarai lahir dari inisiatif pejabat yang masih loyal kepada Jokowi, tanpa koordinasi langsung dengan Prabowo.

Secara akademik, hal ini menunjukkan gejala dual authority: otoritas formal presiden berhadapan dengan otoritas informal jaringan politik lama. Fenomena ini menciptakan ketidakjelasan arah pemerintahan, yang kemudian memperlemah kredibilitas presiden di mata rakyat.

Prabowo berusaha melakukan purge atau pembersihan birokrasi. Namun, langkah ini bukan perkara mudah. Setiap kali ia mencoba mengganti pejabat tinggi, ia harus berhadapan dengan resistensi politik di DPR, tekanan media, serta mobilisasi opini publik oleh kelompok relawan. Akibatnya, pemerintahan tampak tidak solid, lebih sibuk dengan politik defensif ketimbang menawarkan visi strategis.

Pemerintahan dalam Mode Defensif

Selama lima tahun, pemerintahan Prabowo diperkirakan hanya akan bergerak dalam mode defensif. Ia lebih fokus menjaga stabilitas jangka pendek daripada membangun nilai strategis untuk masa depan. Konsep defensive governance dalam studi politik merujuk pada pemerintahan yang menghabiskan energi untuk merespons krisis, mengelola konflik elite, dan mempertahankan legitimasi, alih-alih merumuskan agenda pembangunan jangka panjang.

Kebijakan yang lahir pun cenderung bersifat tambal sulam. Misalnya, subsidi energi yang tidak konsisten, program bantuan sosial yang tidak memiliki kerangka pemberdayaan, serta proyek infrastruktur yang dipaksakan meskipun analisis biaya-manfaatnya tidak rasional. Semua ini membuat rakyat semakin frustrasi, karena janji besar perubahan yang dibawa Prabowo tidak terwujud.

Rakyat kemudian membandingkan situasi tersebut dengan masa Jokowi. Nostalgia muncul: meskipun Jokowi dikritik, ia dianggap lebih mampu mengelola stabilitas, lebih komunikatif dengan rakyat, dan setidaknya menghadirkan simbol kesederhanaan. Perbandingan ini menempatkan Prabowo dalam posisi sulit: ia tidak hanya gagal menghadirkan narasi baru, tetapi juga kehilangan kesempatan untuk meneguhkan kepemimpinannya.

Krisis Legitimasi dan Potensi Jatuhnya Rezim

Dalam sejarah politik, krisis legitimasi sering kali menjadi pemicu jatuhnya rezim. Jika rakyat merasa tidak lagi diwakili, demonstrasi massal bisa menjadi jalan keluar politik. Ketika kebijakan buruk yang ditengarai dibuat “orang Jokowi” tanpa izin Prabowo terus memicu kemarahan publik, narasi yang berkembang bukan hanya soal buruknya pemerintahan, tetapi juga lemahnya presiden yang tidak mampu mengendalikan bawahannya.

Gelombang protes mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil bisa menjelma menjadi gerakan sosial yang lebih besar. Teori political opportunity structure menjelaskan bahwa protes akan membesar ketika ada kelemahan pada negara, peluang untuk mobilisasi, serta jaringan yang mampu menyebarkan isu. Semua kondisi ini tampak hadir di era Prabowo.

Jika situasi ini berlanjut, bukan tidak mungkin rezim menghadapi delegitimasi serius. Skenario paling ekstrem adalah jatuhnya pemerintahan sebelum periode selesai. Namun, skenario yang lebih mungkin adalah stagnasi pemerintahan: Prabowo bertahan, tetapi hanya sebagai simbol, sementara kekuasaan nyata tetap berada pada oligarki lama.

Politik Nostalgia: Rakyat Merindukan Jokowi

Ironisnya, di tengah kemarahan terhadap kebijakan yang dianggap “produk Jokowi”, rakyat justru kembali merindukan sosok Jokowi. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui konsep politics of memory—politik memori kolektif yang digunakan masyarakat untuk menilai kondisi saat ini dengan membandingkannya dengan masa lalu.

Jokowi diposisikan ulang sebagai “pahlawan stabilitas” meskipun di masa pemerintahannya banyak kontroversi. Ingatan kolektif bekerja selektif: yang diingat adalah citra merakyat, pembangunan infrastruktur yang terlihat, serta gaya komunikasi yang sederhana. Sementara itu, kegagalan-kegagalan besar cenderung terlupakan.

Prabowo menjadi korban dari paradoks ini. Ia ingin melepaskan diri dari bayang-bayang Jokowi, tetapi semakin keras ia berusaha, semakin kuat nostalgia rakyat terhadap pendahulunya. Inilah lingkaran setan politik memori yang sulit diputus.

Kesimpulan

Secara akademik, pemerintahan Prabowo bisa dikategorikan sebagai captured state—negara yang tersandera oleh kepentingan kelompok. Dari awal, ia tidak memiliki kapasitas personal yang cukup untuk membangun legitimasi strategis. Kemenangannya adalah hasil kerja jaringan Jokowi dan relawan, yang kemudian justru menjadi beban.

Pemerintahan yang lahir pun cenderung defensif, terjebak dalam tarik-menarik kekuasaan, dan gagal menawarkan visi jangka panjang. Rakyat semakin frustrasi, protes meluas, dan nostalgia terhadap Jokowi tumbuh. Dalam situasi ini, stabilitas politik Indonesia menghadapi ancaman serius: apakah pemerintahan akan jatuh, ataukah ia bertahan dalam keadaan setengah lumpuh, tersandera oleh bayangan masa lalu?

Esai ini menunjukkan bahwa politik Indonesia pasca-2024 bukan hanya soal siapa yang berkuasa, tetapi juga soal siapa yang mampu mengendalikan narasi, memori, dan jaringan kekuasaan di balik layar.

Berita Terkini