Pemerintahan yang Tersandera — Mengurai Lemahnya Kepemimpinan Prabowo dan Bayang-Bayang Relawan Jokowi

Breaking News
- Advertisement -

 

Anton Christanto
Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali

Mudanews.com OPINI |  Sejak awal, kita sebenarnya sudah bisa membaca arah perjalanan bangsa ini. Dari jauh-jauh hari, ketika wacana pencalonan Prabowo Subianto kembali digulirkan dan akhirnya disokong oleh Jokowi serta relawannya, banyak yang mengingatkan: negara ini sedang diarahkan pada sebuah eksperimen politik berbahaya. Eksperimen yang bukan lahir dari visi, misi, dan kapasitas seorang pemimpin, tetapi dari kalkulasi kekuasaan, deal-deal politik, serta sandera kepentingan yang bercabang. Kini, setelah pemerintahan ini berjalan, semakin nyata terlihat: kepemimpinan Prabowo lemah secara personal, tidak qualified untuk jabatan presiden, dan tersandera sepenuhnya oleh kekuatan eksternal.

Kepemimpinan Prabowo: Antara Citra dan Realita

Bila bicara soal citra, Prabowo sering dipoles sebagai sosok tegas, berwibawa, berkarisma militeristik yang memberi rasa aman bagi pendukungnya. Tetapi bila ditelisik lebih dalam, citra itu hanya sebatas kulit luar. Kepemimpinan negara bukan sekadar soal tegas berbicara atau garang dalam gestur tubuh. Kepemimpinan negara adalah soal kemampuan intelektual, kapasitas analisis, kejelasan visi, serta kemampuan merangkul dan mengelola keragaman kepentingan bangsa.

Secara personal, Prabowo tidak pernah terbukti memiliki kapasitas itu. Jejak rekamnya, baik ketika masih aktif di militer maupun setelah masuk ke dunia politik, lebih banyak meninggalkan tanda tanya. Kasus penculikan aktivis 1998 yang sampai kini tak pernah tuntas, sejarah hubungan retaknya dengan TNI, hingga gaya politiknya yang selalu penuh amarah, menunjukkan satu hal: ia bukan sosok dengan kualifikasi kenegarawanan yang matang.

Di dunia politik, Prabowo memang gigih. Ia berkali-kali mencalonkan diri sebagai presiden. Namun, kegigihan itu tak sejalan dengan kualitas kepemimpinan. Tiga kali kalah dalam pemilu sebelumnya adalah bukti bahwa rakyat tidak pernah benar-benar memberi kepercayaan penuh kepadanya. Baru pada 2024, ketika Jokowi ikut turun tangan, dukungan elektoral yang menentukan datang menghampirinya.

Jokowi dan Relawan: Faktor Penentu Kemenangan

Tidak bisa dipungkiri, kemenangan Prabowo di Pilpres 2024 adalah hasil dari kerja mesin politik Jokowi dan para relawannya. Inilah kenyataan yang tidak bisa dihapus dari catatan sejarah. Tanpa endorsement Jokowi, tanpa restu istana, dan tanpa jaringan relawan yang sudah terbentuk selama dua periode kekuasaan, Prabowo tidak akan pernah berhasil menembus istana.

Relawan Jokowi yang semula dikenal militan mendukung “pemimpin sederhana dari Solo”, pada akhirnya digiring untuk mengalihkan dukungan mereka kepada Prabowo. Jokowi memainkan politik transaksional yang sangat rapi. Dengan cara itu, Jokowi berhasil mewariskan “warisan politik” kepada Prabowo, meski sejatinya warisan itu bukan berupa visi besar pembangunan, melainkan hanya sekadar dukungan elektoral yang penuh syarat.

Para relawan Jokowi yang ikut cawe-cawe dalam Pilpres ini sesungguhnya tahu, mereka sedang memindahkan dukungan kepada sosok yang sama sekali berbeda dari Jokowi. Tetapi karena kalkulasi politik jangka pendek, mereka memilih untuk menutup mata. Maka lahirlah rezim yang cacat sejak awal, karena legitimasi kemenangannya dibangun bukan dari keyakinan publik akan kapasitas Prabowo, melainkan dari instrumen kekuasaan Jokowi.

Lahirnya Pemerintahan yang Tersandera

Konsekuensi logis dari kemenangan yang “dipinjamkan” itu adalah lahirnya pemerintahan yang tersandera. Prabowo tidak memimpin dengan pijakan yang kokoh. Ia tidak lahir dari basis ideologis yang solid, melainkan dari kompromi politik yang rapuh. Karena itu, sejak hari pertama pemerintahannya, ia sudah tidak bebas.

Bayangkan sebuah pemerintahan yang dari awal harus membayar utang politik kepada para sponsor, relawan, dan oligarki. Bayangkan presiden yang tidak bisa mengambil keputusan strategis tanpa mempertimbangkan bagaimana para pemegang saham politik akan bereaksi. Itulah wajah pemerintahan hari ini.

Prabowo bukan presiden yang berdaulat penuh. Ia tidak bisa mengeksekusi kebijakan tanpa menimbang kepentingan kelompok-kelompok yang membawanya ke kursi kekuasaan. Inilah yang disebut sebagai pemerintahan tersandera. Dan kondisi ini lebih berbahaya daripada sekadar pemerintahan yang lemah, karena ia menciptakan stagnasi. Tidak ada arah. Tidak ada lompatan besar. Yang ada hanya politik bertahan.

Politik Bertahan: Defense Government

Ketika sebuah pemerintahan lahir dalam kondisi tersandera, yang terjadi bukanlah pemerintahan yang proaktif, melainkan reaktif. Bukan pemerintahan yang visioner, melainkan defensif. Dan itulah yang sedang kita saksikan.

Prabowo membangun pemerintahan defense: sebuah rezim yang kerja utamanya adalah menjaga keseimbangan kepentingan di antara kelompok-kelompok yang menopangnya. Bukan menciptakan strategi jangka panjang. Bukan memikirkan arah pembangunan bangsa.

Lihatlah bagaimana berbagai kebijakan ekonomi yang dikeluarkan: semuanya berorientasi jangka pendek. Fokus pada menjaga kestabilan politik, bukan keberlanjutan pembangunan. Isu-isu mendesak seperti pendidikan dan kesehatan tidak disentuh secara serius. Padahal, kedua sektor ini adalah fondasi peradaban. Tetapi dalam politik defense, pendidikan hanya dilihat sebagai pos anggaran, bukan investasi masa depan. Kesehatan hanya dipandang sebagai beban fiskal, bukan instrumen peningkatan kualitas hidup.

Kehilangan Value Strategis

Negara yang besar seharusnya dipimpin dengan strategi jangka panjang. Jepang, Korea Selatan, Tiongkok — semua negara besar memiliki visi yang melampaui horizon lima tahun. Tetapi apa yang terjadi di Indonesia di bawah Prabowo? Tidak ada value strategis.

Apa visi besar pembangunan manusia Indonesia? Apa strategi menghadapi bonus demografi? Bagaimana arah Indonesia dalam transisi energi global? Semua pertanyaan itu tidak punya jawaban. Yang ada hanyalah manuver-manuver politik untuk menjaga kelangsungan kekuasaan.

Ironisnya, semua ini terjadi ketika dunia sedang bergerak cepat. Revolusi teknologi, krisis iklim, geopolitik global — semua menuntut pemimpin yang sigap, visioner, dan berani. Tetapi di Indonesia, kita justru terjebak dalam politik bertahan yang miskin gagasan.

Antara Janji dan Realita

Sebelum terpilih, Prabowo sering melontarkan janji bombastis: makan siang gratis, gizi anak, peningkatan kesejahteraan guru, perbaikan layanan kesehatan, dan lain-lain. Tetapi ketika berhadapan dengan realitas fiskal, semua janji itu hanya menjadi retorika.

Makan siang gratis, misalnya, ternyata tidak lebih dari gimmick populis. Alih-alih menyelesaikan masalah gizi dan stunting secara sistematis, program itu hanya menambah beban APBN tanpa arah jelas. Sementara itu, sektor pendidikan dan kesehatan tetap terabaikan. Guru tetap dipandang sebagai beban negara, tenaga kesehatan tetap dipaksa bekerja dengan tarif rendah dari BPJS, dan anak-anak Indonesia tetap kehilangan kesempatan untuk tumbuh dalam ekosistem pendidikan dan kesehatan yang memadai.

Tanggung Jawab Publik

Pada akhirnya, esai ini bukan hanya tentang Prabowo. Ini tentang kita semua, warga negara yang seringkali mudah terbuai janji. Kita sering lebih sibuk pada drama politik jangka pendek daripada mengawal substansi pembangunan jangka panjang.

Kita harus berani mengatakan: Prabowo bukan presiden yang qualified. Kemenangannya bukan karena kapasitas, melainkan karena cawe-cawe Jokowi dan relawan. Dan konsekuensinya, bangsa ini kini dipimpin oleh pemerintahan yang tersandera, pemerintahan yang defensif, dan pemerintahan yang kehilangan arah strategis.

Kita tidak boleh berhenti pada mengeluh. Kita harus terus cerewet, kritis, juweh. Mengingatkan pemerintah bahwa mandat rakyat bukan untuk menjaga kepentingan kelompok, tetapi untuk membangun bangsa. Bila kritik ini terus digaungkan, kita masih bisa berharap akan ada koreksi. Tetapi bila kita diam, sejarah akan mencatat: lima tahun kekuasaan ini adalah lima tahun yang hilang.

Berita Terkini