Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Mudanews.com OPINI – Saya bertemu seorang kawan. Namanya, Fajar Cahyanto. Namanya bercahaya, tapi hidupnya seakan sengaja ditempatkan di sudut tergelap Kota Pontianak. Hanya 500 meter dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Di sini ada gunungan sampah menjulang tinggi. Baunya? Jangan ditanya lagi. Bau yang menikam hidung, menusuk otak, memporak-porandakan akal sehat. Di sana, di tengah kerajaan sampah, berdiri sebuah madrasah mungil, rapuh, setia menantang kebusukan zaman. Namanya, Madrasah Tsanawiyah Islam Miftahussolihin.
Madrasah ini bukan sekolah, melainkan doa yang disemen seadanya, tanpa plester, tanpa pintu, tanpa jendela. Dindingnya pucat, lantainya gersang, atapnya seng bekas yang kalau hujan berubah jadi panci raksasa bocor, dan kalau panas menjadi oven yang membakar isi kepala. Tak ada plafon, tak ada listrik, tak ada Wi-Fi, bahkan tak ada sekadar lampu untuk mengusir gelap. Halamannya? Tanah gambut becek, penuh lumpur, tempat anak-anak belajar berjalan di antara genangan dan kubangan, seolah Tuhan sengaja melatih mereka jadi atlet bertahan hidup sejak dini.
Di ruang kelas itu, ada 18 jiwa mungil. Delapan belas anak manusia, kelas 1 sampai 3, duduk di bangku seadanya, menatap papan tulis yang lusuh, sambil menghirup aroma sampah dari jendela yang tak pernah ada. Beberapa dari mereka adalah anak pemulung. Mereka setiap hari melihat orang tuanya menggali sisa-sisa kehidupan dari gunungan plastik dan kaleng. Sebagian lagi anak petani kecil yang tanahnya semakin sempit, dan sebagian lain anak yatim dari panti asuhan yang dikirim agar bisa sekolah gratis. Gratis, karena di dunia yang katanya adil, masih ada sekolah yang harus berjuang meniadakan biaya agar anak-anak tanpa ayah-ibu bisa tetap mengeja mimpi.
Ada delapan guru. Delapan pahlawan yang seharusnya dapat dipahat di monumen, tapi ironisnya mereka hanya digaji Rp150.000 per bulan. Ya, seratus lima puluh ribu rupiah. Uang yang bahkan tak cukup untuk membeli pulsa unlimited sebulan, atau sekadar traktir gorengan di warung setiap sore. Namun, mereka tetap datang, tetap mengajar, tetap menulis huruf demi huruf di papan, seolah gaji itu hanyalah catatan sampingan, sementara pahala dan keberkahan adalah gaji utama.
Sejak 2018, bangunan ini tegak bukan karena negara, bukan karena dana hibah, bukan karena donatur kaya yang pura-pura dermawan. Bangunan ini lahir dari gotong royong masyarakat sekitar TPA, masyarakat yang sehari-hari bersahabat dengan sampah, tapi hatinya lebih mulia dari banyak pejabat yang rumahnya wangi parfum impor. Ironi itu menusuk, negara punya anggaran triliunan untuk infrastruktur mewah, tapi satu ruang kelas dengan pintu layak saja tak pernah sempat.
Bayangkan, setiap hari Fajar dan anak-anak itu menghirup aroma busuk yang tak pernah selesai. Sampah datang setiap jam, setiap hari, setiap minggu, ditumpuk, dibusukkan, diaduk oleh matahari tropis Pontianak. Bau itu tak sekadar singgah, ia menjadi teman akrab, menjadi pengingat pahit bahwa belajar bagi anak-anak ini bukan hanya melawan malas, tapi juga melawan mual. Sementara itu, di pusat kota, ada sekolah dengan AC dingin, plafon rapi, Wi-Fi kencang, bahkan taman bunga yang lebih cocok jadi konten Instagram daripada tempat belajar.
Namun di dekat TPA, sekolah ini adalah benteng terakhir bagi anak-anak yang namanya jarang masuk berita. Mereka belajar bukan karena ingin jadi juara kelas, tapi karena satu-satunya harapan keluar dari lingkaran bau busuk adalah lewat huruf, angka, dan doa yang diulang-ulang. Lalu, Fajar, dengan wajah teduh dan tekad keras, terus memelihara api kecil itu, meski angin dunia terus berusaha memadamkan.
Saya tak tahu, apakah harus tertawa atau menangis membaca kenyataan ini. Betapa pendidikan yang katanya pilar bangsa justru berdiri di tepi tumpukan sampah. Menangis karena di tengah absurditas itu, masih ada guru-guru bergaji receh yang rela menyulut pelita untuk anak-anak pemulung. Rasanya ingin marah, ingin menggugat, ingin menjerit: apakah negeri ini benar-benar buta atau hanya pura-pura tuli?
Tapi di balik tragedi, selalu ada kisah epik. Epik itu kini menunggu, apakah kita, yang hidup dengan Wi-Fi kencang, kopi hangat, dan ruangan ber-AC, sanggup menutup hidung sejenak dan membuka hati untuk membantu mereka? Atau kita akan tetap sibuk berselfie dengan senyum palsu. Sementara di tepi TPA, ada anak-anak yang bahkan belum tahu rasanya punya jendela di kelas mereka?***