Oleh : Anton Christanto Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali
Simbolisme dalam Upacara Kenegaraan
Mudanews.com OPINI – Perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus di Istana Merdeka selalu menjadi panggung simbol politik. Bukan hanya seremoni kenegaraan, melainkan juga ruang di mana rakyat, elite, dan para tamu undangan memberi makna tentang “apa arti merdeka hari ini”. Pada 17 Agustus 2025, sorotan publik justru jatuh kepada Gustika Hatta, cucu dari Mohammad Hatta—Proklamator RI, Wakil Presiden pertama, dan tokoh yang dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Berbeda dengan para undangan lain yang tampil dengan busana glamor penuh warna, Gustika memilih kebaya hitam dipadukan dengan batik Slobog. Sebuah pilihan busana yang tak sekadar estetika, melainkan simbol berkabung atas luka bangsa. Dalam tradisi Jawa, batik Slobog bermotif garis renggang melambangkan pelepasan dan doa agar arwah mendapat jalan lapang—biasanya dipakai saat kematian. Dalam konteks ini, pemakaiannya menjadi kritik simbolis bahwa bangsa Indonesia sendiri sedang “berkabung”: atas luka pelanggaran HAM, atas kemunduran demokrasi, dan atas krisis moral elite politik.
Figur Gustika: Warisan Bung Hatta yang Bertransformasi
Gustika bukan sekadar cucu biologis dari Bung Hatta. Ia menempatkan dirinya sebagai pewaris etika politik sang kakek. Bung Hatta dikenal hidup sederhana, menolak feodalisme, dan kritis pada kekuasaan. Dalam arsip kenegaraan, Hatta pernah menulis:
> “Demokrasi adalah keadilan. Bila keadilan tidak ditegakkan, maka demokrasi hanya menjadi slogan.”
Warisan pemikiran itu tampak nyata dalam kiprah Gustika. Ia tumbuh di era digital global, menyerap pemikiran kosmopolitan, tetapi tetap membawa moralitas keluarga Hatta. Saat memilih untuk bersuara kritis di panggung kenegaraan, Gustika mengulang tradisi moral “berani melawan arus demi kebenaran” yang pernah ditempuh kakeknya.
Pendidikan Global dan Keberanian Bicara HAM
Pendidikan Gustika memperkuat kapasitas intelektualnya dalam isu demokrasi dan HAM. Ia lulus Bachelor of Arts (Hons) War Studies di King’s College London—salah satu pusat studi strategis militer, perang, dan politik global. Ia juga sempat belajar di Sciences Po Lyon, Prancis, sebuah sekolah politik bergengsi yang dikenal kritis terhadap isu hak sipil. Kini ia menempuh Master di Geneva Academy of International Humanitarian Law and Human Rights, sebuah institusi yang berbasis di jantung diplomasi HAM internasional.
Basis akademik ini menjelaskan mengapa ia berani menyampaikan kritik tajam di forum publik, termasuk ucapannya yang viral:
> “Di hari kemerdekaan tahun ini, rasa syukurku bercampur dengan keprihatinan atas luka HAM yang belum tertutup. Bahkan kini kita dipimpin oleh seorang Presiden penculik dan penjahat HAM, dengan Wakil anak haram konstitusi.”
Pernyataan ini bukan sekadar luapan emosi, tetapi refleksi analisis hukum internasional: bahwa praktik pelanggaran HAM berat di Indonesia tidak ditutup dengan mekanisme truth and reconciliation, melainkan justru dilanggengkan oleh para elite politik.
Batik Slobog: Simbol Kultural, Simbol Politik
Pilihan batik Slobog bukan kebetulan. Dalam serat budaya Jawa, batik ini dipakai dalam prosesi duka: kematian, perpisahan, atau pelepasan. Kata slobog berarti “longgar” atau “lapang”—sebuah doa agar yang pergi mendapat jalan lapang. Di tangan Gustika, makna itu diartikulasikan sebagai ungkapan duka bangsa:
1. Luka HAM masa lalu yang belum tuntas (Tragedi 1965, Petrus, Talangsari, Timor Timur, Mei 1998, dan Penculikan 1997–98).
2. Demokrasi yang “longgar” dimanipulasi oleh oligarki.
3. Rakyat yang harus merelakan “kematian” idealisme reformasi.
Dengan demikian, busana menjadi bahasa protes diam. Ia tidak berteriak di jalan, tetapi berdiri di jantung kekuasaan dengan simbol “Indonesia sedang berduka”.
Konteks Politik Indonesia 2025
Kritik Gustika muncul di tengah krisis demokrasi Indonesia. Pasca Pemilu 2024, banyak kalangan menilai terjadi:
1. Kemunduran demokrasi elektoral: KPU dan MK dipertanyakan netralitasnya.
2. Presiden terpilih berlatar belakang pelanggaran HAM: isu penculikan aktivis 1997–1998 melekat.
3. Wakil Presiden hasil rekayasa politik dinasti: disebut “anak haram konstitusi” karena perubahan mendadak batas usia capres-cawapres melalui putusan MK.
4. Rakyat terpinggirkan: harga pangan tinggi, rumah sakit penuh, sementara elit politik menikmati rente jabatan.
Gestur Gustika mengartikulasikan kekecewaan rakyat sipil yang terpinggirkan dari ruang politik formal.
Studi Komparatif Internasional
Fenomena “aktivis simbolik” seperti Gustika bukan hanya khas Indonesia. Di negara lain, penggunaan simbol budaya sebagai kritik politik juga muncul:
India: Mahatma Gandhi menjadikan kain khadi (tenunan rakyat) sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme. Hingga kini, politisi India yang memakai khadi mengklaim mewarisi tradisi moral rakyat.
Korea Selatan: Aktivis mahasiswa tahun 1980-an sering mengenakan busana hitam saat protes melawan kediktatoran militer, sebagai simbol berkabung atas korban Gwangju Massacre.
Jerman: Peringatan Holocaust diwarnai dengan simbol-simbol duka publik. Di Bundestag, keluarga korban Nazi kerap hadir dengan atribut simbolis sebagai bentuk “peringatan abadi” agar negara tak melupakan luka HAM.
Dalam konteks ini, Gustika mempraktikkan politik simbolik global, dengan akar budaya lokal (batik Slobog).
Analisis Politik: Simbol vs Kekuasaan
Secara politik, aksi Gustika memperlihatkan tiga hal penting:
1. Counter-narrative: Di saat negara ingin menampilkan wajah gembira dalam upacara 17 Agustus, kehadiran Gustika menjadi “gangguan simbolik” yang memaksa publik mengingat luka HAM.
2. Kekuatan masyarakat sipil: Simbol kultural yang sederhana bisa lebih kuat daripada pidato panjang. Media sosial memperkuat resonansinya.
3. Respon kekuasaan: Diamnya pemerintah terhadap aksi simbolik ini menunjukkan dilema. Bila diabaikan, kritik tetap viral; bila ditekan, justru memperkuat legitimasi moral Gustika.
Dampak Sosial-Politik
Bagi rakyat: Aksi ini memberi ruang ekspresi alternatif, terutama bagi generasi muda yang kecewa dengan demokrasi prosedural.
Bagi rumah sakit dan sektor sosial: Kritik tentang pelanggaran HAM dan demokrasi juga bersinggungan dengan isu kesejahteraan. Anggaran negara lebih condong ke infrastruktur “mercusuar” dan belanja elite, sementara layanan kesehatan rakyat dibiarkan defisit.
Bagi sejarah politik: Kehadiran Gustika mencatatkan bahwa keluarga Proklamator masih memegang peran moral sebagai “hati nurani bangsa”.
Politik Simbolik sebagai Peringatan Bangsa
Peristiwa 17 Agustus 2025 di Istana Merdeka akan dikenang bukan karena pidato resmi Presiden, melainkan karena kebaya hitam dan batik Slobog Gustika Hatta. Di era ketika demokrasi tampak surut dan HAM terlupakan, simbol itu mengingatkan bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya upacara, tetapi keberanian melawan ketidakadilan.
Gestur diam Gustika menggemakan pesan Bung Hatta:
> “Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta, tetapi karena lilin-lilin di desa.”
Dan kali ini, lilin itu menyala di Istana Merdeka, dalam sosok cucu yang memilih berkabung demi bangsa.