Oleh : Anton Christanto
Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali
RAPBN 2026 dan Kekecewaan Publik
Mudanews.com OPINI – Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 resmi dibacakan Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Tahunan DPR. Dokumen itu seharusnya menjadi peta jalan negara menuju kesejahteraan rakyat. Namun, alih-alih membawa harapan, RAPBN 2026 justru meninggalkan tanda tanya besar: mengapa prioritas utama justru jatuh pada pertahanan, keamanan, dan lembaga baru bernama Badan Garuda Nusantara (BGN), sementara pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial kembali ditekan porsinya?
Berdasarkan infografis RAPBN 2026, alokasi belanja negara sebesar Rp 3.476 triliun, dengan prioritas yang aneh: kementerian/lembaga terkait pertahanan, Polri, dan BGN mendapat kenaikan signifikan. Sebaliknya, pendidikan dan kesehatan—yang menjadi hajat hidup mayoritas rakyat—turun porsinya. Padahal, konstitusi (UUD 1945 Pasal 31 ayat 4) sudah jelas mengamanatkan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN.
Kekecewaan publik semakin dalam ketika melihat postur APBN ini sebagai representasi politik anggaran rezim Prabowo–Gibran. Publik membandingkan janji-janji kampanye: makan siang gratis, gizi anak, peningkatan kualitas pendidikan, dan keberpihakan pada tenaga kesehatan. Namun realitas 2026 memperlihatkan wajah yang berbeda: janji tinggal janji, sementara politik anggaran dijalankan dengan logika kekuasaan, bukan kebutuhan rakyat.
Ironi Anggaran: Ketika Pendidikan dan Kesehatan Jadi Korban
Di atas kertas, anggaran pendidikan masih disebutkan mencapai 20% APBN. Namun realitasnya, komposisi itu penuh ilusi. Sebagian besar anggaran pendidikan tersedot untuk belanja rutin birokrasi, bukan untuk guru atau sarana belajar. Guru honorer masih tetap menerima gaji setara Rp 300 ribu–Rp 500 ribu per bulan di banyak daerah. Program peningkatan kualitas pendidikan tersendat, laboratorium sekolah terbengkalai, dan digitalisasi pendidikan hanya menjadi jargon tanpa infrastruktur memadai.
Ironi yang sama terjadi di sektor kesehatan. Meski pandemi COVID-19 sudah berakhir, sistem kesehatan Indonesia masih rapuh. Puskesmas kekurangan tenaga medis, rumah sakit menjerit karena klaim BPJS sering terlambat dibayar, dan tenaga kesehatan dibayar dengan tarif rendah untuk jasa pelayanan yang menyelamatkan nyawa.
Sementara itu, RAPBN 2026 lebih memilih mengucurkan dana jumbo untuk BGN—lembaga baru yang bahkan publik belum mengerti apa fungsi nyatanya selain menjadi alat politik kekuasaan. Kenaikan anggaran Polri dan pertahanan juga menimbulkan pertanyaan: apakah ancaman nyata kita di 2026 adalah perang, atau justru krisis pendidikan dan kesehatan yang semakin parah?
Guru Sebagai “Beban Negara”
Guru selalu disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Tetapi dalam praktiknya, guru diperlakukan negara sebagai beban anggaran.
Sejak era reformasi, guru honorer hidup dalam ketidakpastian. Gaji mereka jauh di bawah standar hidup layak. Pemerintah memang sempat meluncurkan skema PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) untuk mengurangi ketimpangan. Namun RAPBN 2026 memperlihatkan fakta lain: perekrutan PPPK semakin dibatasi dengan alasan fiskal, tunjangan sertifikasi guru tidak naik, sementara beban kerja semakin berat karena kurikulum terus berganti mengikuti selera politik rezim.
Di banyak daerah, termasuk Boyolali, guru honorer masih digaji setara Rp 15 ribu–Rp 25 ribu per jam mengajar. Jika dikalkulasi, gaji mereka per bulan tak lebih dari Rp 600 ribu. Sementara itu, pejabat daerah dengan mudah menghabiskan miliaran rupiah untuk perjalanan dinas, rapat, dan proyek infrastruktur mercusuar yang tak menyentuh langsung rakyat.
Kondisi ini menimbulkan kekecewaan mendalam. Seorang guru SMP di Boyolali pernah berkata lirih: “Kami ini seperti pengemis di negeri sendiri. Diminta mengabdi, tapi tidak dihargai.” Kalimat itu menggambarkan luka yang dalam: guru diperas tenaganya, tetapi negara justru berinvestasi besar pada lembaga yang tak jelas manfaatnya.
Tenaga Medis dan Tarif BPJS: Jasa Penyelamat Nyawa yang Murah
Jika guru jadi korban di bidang pendidikan, maka tenaga kesehatan adalah korban di bidang kesehatan. Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) memang dianggap sukses memperluas akses kesehatan. Tetapi di balik itu, ada cerita getir: tenaga medis dibayar dengan tarif yang tak manusiawi.
Seorang dokter spesialis THT di Solo bercerita bagaimana tindakan medis bernilai tinggi—operasi sinus endoskopi yang membutuhkan keahlian, alat canggih, dan risiko tinggi—dihargai BPJS hanya Rp 2,5 juta, yang harus dibagi untuk rumah sakit, perawat, obat, dan dokter. Bandingkan dengan tarif di negara tetangga, yang bisa mencapai 10 kali lipat.
Perawat, bidan, dan tenaga medis lain mengalami hal yang sama. Jam kerja panjang, risiko tinggi, tetapi imbalan kecil. Bahkan ada istilah sinis di kalangan tenaga medis: “BPJS itu singkatan dari Bayar Paling Jeblok Sekali.”
RAPBN 2026 tidak menunjukkan adanya reformasi signifikan pada skema pembiayaan kesehatan. Justru anggaran kesehatan cenderung stagnan. Sementara itu, BGN dan pertahanan mendapat kue lebih besar. Pertanyaan yang muncul: apa sebenarnya prioritas negara ini? Menjaga rakyat tetap sehat dan pintar, atau menjaga kekuasaan tetap kuat dengan aparatus keamanan?
Politik Anggaran: Mengapa BGN, Pertahanan, dan Polri Dapat Prioritas?
Investigasi kami menemukan bahwa postur RAPBN 2026 bukanlah kebetulan, melainkan strategi politik. Ada beberapa motif yang bisa dibaca:
1. BGN sebagai Alat Politik Rezim
Badan Garuda Nusantara (BGN) diproyeksikan menjadi lembaga strategis yang mirip dengan Orde Baru punya Golkar. Ia bisa berfungsi sebagai mesin politik sekaligus alat kontrol sosial. Anggaran besar untuk BGN adalah investasi kekuasaan, bukan pelayanan publik.
2. Pertahanan sebagai Legitimasi Nasionalisme
Presiden Prabowo, berlatar militer, menggunakan politik anggaran untuk memperkuat citra nasionalisme. Dengan menaikkan anggaran pertahanan, ia ingin menunjukkan keseriusan menjaga kedaulatan. Tetapi dalam praktiknya, belanja alutsista seringkali sarat proyek rente dan korupsi.
3. Polri sebagai Penjaga Stabilitas
Anggaran Polri dinaikkan karena rezim butuh “mesin penjaga stabilitas politik.” Dari pengamanan demonstrasi hingga pemilu, Polri menjadi garda terdepan. Dengan anggaran besar, Polri bisa dikonsolidasikan untuk memastikan rezim tetap aman dari kritik rakyat.
Dampak Langsung ke Masyarakat
Jika ditanya, siapa yang paling menderita akibat politik anggaran ini? Jawabannya jelas: rakyat kecil.
Anak-anak sekolah kehilangan kesempatan mendapatkan pendidikan bermutu karena sekolah kekurangan fasilitas dan guru tidak termotivasi.
Guru terus hidup dalam keterpurukan, meski retorika pejabat selalu menyebut guru sebagai pilar bangsa.
Pasien miskin antre berjam-jam di rumah sakit karena sistem BPJS tidak efisien.
Tenaga medis bekerja mati-matian tetapi dibayar murah.
Sementara itu, pejabat bisa dengan mudah mengakses layanan kesehatan premium, menyekolahkan anak di luar negeri, dan menikmati fasilitas negara. Inilah wajah ketidakadilan yang paling telanjang: negara tidak lagi hadir untuk rakyat, melainkan untuk penguasa.
Narasi Politik Prabowo-Gibran: Kontradiksi Janji dan Realita
Saat kampanye, Prabowo–Gibran menjual mimpi besar: makan siang gratis untuk anak sekolah, gizi tambahan untuk ibu hamil, serta peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan. Namun begitu berkuasa, janji itu berubah menjadi narasi samar.
Makan siang gratis yang dijanjikan ternyata hanya program percontohan terbatas, tidak masuk sebagai prioritas besar dalam RAPBN 2026. Gizi anak memang disebut-sebut, tetapi ironisnya, anggaran stunting justru dipangkas.
Dalam politik, ini dikenal sebagai janji elektoral tanpa rencana fiskal. Janji manis dilempar untuk meraih suara, tetapi ketika berhadapan dengan kenyataan APBN, janji itu gugur. Rezim lebih memilih mengamankan anggaran untuk proyek politik jangka panjang: BGN, pertahanan, dan Polri.
Menuju Indonesia 2026 yang Mengabaikan Hak Dasar Warga
RAPBN 2026 seharusnya menjadi momentum memperbaiki kualitas pendidikan dan kesehatan rakyat. Tetapi kenyataannya, negara justru lebih sibuk mengurus lembaga baru dan memperbesar aparatus keamanan.
Guru, tenaga medis, pasien miskin, anak sekolah—semua menjadi korban. Sementara pejabat dan elite politik tersenyum puas dengan alokasi anggaran yang menguntungkan jaringan mereka.
Jika arah kebijakan ini tidak dikoreksi, maka 2026 akan menjadi tahun yang mencatat sejarah kelam: tahun ketika negara secara resmi mengabaikan hak dasar warganya demi memuaskan nafsu kekuasaan.
Dan rakyat, sekali lagi, hanya bisa mengelus dada sambil bertanya: “Untuk siapa sebenarnya APBN ini dibuat? Untuk rakyat, atau untuk penguasa?”