Oleh : _Muhammad Ali Musyafak_ RS Pendidikan RSUD Pandanarang Boyolali
Mudanews.com OPINI – Pertanyaan “Profesor dari NIDN, NIDK, atau Pendidik Klinis?” bukan sekadar isu administratif, tetapi menyangkut marwah, keadilan, dan masa depan pendidikan kedokteran di Indonesia. Evolusi status dosen, khususnya bagi para dokter yang mengajar di Rumah Sakit Pendidikan (RSP), menggambarkan dinamika panjang antara kebutuhan akademik, regulasi birokrasi, dan politik kebijakan negara.
Tulisan ini mencoba menelusuri perjalanan historis sejak era “NIP 13 dan 14”, lahirnya Jabatan Fungsional Dokter Pendidik Klinis (Dodiknis), hingga kebijakan terbaru seperti NUPTK dan amanah UU Kesehatan 17/2023. Lebih jauh lagi, tulisan ini juga menyoroti kontroversi Profesor Kehormatan, peluang terbentuknya “Profesor Klinis”, serta refleksi atas kebutuhan Indonesia untuk merangkul semua tenaga pendidik kesehatan dalam satu sistem yang adil dan berkelanjutan.
1. Era Dikotomi: NIP 13 atau 14
Pada awal 2000-an, wacana “NIP 13 atau 14” menjadi identitas sosial-birokratis bagi dosen. NIP 13 menandakan dosen yang berasal dari Kementerian Pendidikan (Dikbud), sedangkan NIP 14 identik dengan tenaga kesehatan dari Depkes. Dikotomi ini menegaskan pemisahan antara akademisi kampus dan klinisi rumah sakit, walaupun dalam praktik sehari-hari keduanya saling berkolaborasi dalam pendidikan kedokteran.
Namun, realitas menunjukkan bahwa para dokter dari RS Pendidikan (di luar Dikbud) turut mendidik mahasiswa kedokteran. Mereka bukan sekadar praktisi klinis, tetapi juga pendidik yang berkontribusi besar dalam pembelajaran berbasis SPICES (Student-centered, Problem-based, Integrated, Community-based, Elective, Systematic), termasuk metode tutorial dan skills lab.
2. Lahirnya Jabatan Fungsional Dosen dan Dodiknis
UU Guru dan Dosen 14/2005 menandai era baru: dosen diakui sebagai jabatan fungsional akademik. Namun, muncul pertanyaan: bagaimana dengan dokter di RS Pendidikan yang juga mengajar, tetapi bukan bagian dari Kemdikbud?
Jawabannya datang pada 2009, ketika diterbitkan Jabatan Fungsional Dokter Pendidik Klinis. Dengan aturan bersama Menkes dan BKN, dokter di RS Pendidikan yang aktif mengajar dapat memilih jalur karir sebagai Dokter Pendidik Klinis (Dodiknis), dengan jenjang Pertama, Muda, Madya, hingga Utama.
Kehadiran Dodiknis memberi pengakuan, namun tidak sepenuhnya setara dengan dosen akademik. Dodiknis diwajibkan meneliti dan menulis, tetapi tidak otomatis dapat naik ke level Guru Besar (Profesor). Inilah awal dilema panjang antara pengakuan akademik dan birokrasi.
3. NIDN, NIDK, dan NUPTK: Dinamika Administratif
Sejak 2015, dokter di luar Kemdik (non-Dikbud) yang mengajar di RS Pendidikan mendapat Nomor Induk Dosen Khusus (NIDK). Berbeda dengan NIDN, NIDK tetap menandai status “dosen tidak penuh” karena keterkaitan dengan aturan kepegawaian dan hak-hak finansial.
Namun secara akademik, NIDK bisa naik jenjang dari Asisten Ahli hingga Guru Besar, meskipun banyak yang baru mulai dari Lektor. Beberapa NIDK produktif dalam riset dan publikasi, bahkan berhasil menjadi Guru Besar. Sayangnya, masih ada perbedaan hak keuangan, khususnya tunjangan kehormatan dan sertifikasi.
Kini, sejak 2023, muncul kebijakan NUPTK (Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan) yang menggantikan NIDN dan NIDK. Harapannya, pembedaan status itu benar-benar hilang, sehingga dosen kampus dan dokter di RSP berada pada satu garis yang sama.
4. Profesor Kehormatan: Jalan Tengah atau Jalan Buntu?
Sejak 2012, ada jalur Profesor Kehormatan, awalnya terbuka bagi siapa saja yang memiliki keunggulan luar biasa. Namun aturan makin diperketat, hingga Permendikbud 44/2024 mensyaratkan bahwa Profesor Kehormatan hanya bisa diajukan untuk yang sudah berstatus dosen (dengan gelar Doktor/KKNI 9).
Meski Profesor Kehormatan memberi ruang pengakuan, posisinya lemah:
Masa jabatan hanya 5 tahun.
Tidak dihitung dalam akreditasi Prodi.
Tidak memberi hak penuh layaknya Guru Besar definitif.
Bagi dokter pendidik klinis, jalur ini lebih mirip “penghargaan simbolik” ketimbang solusi struktural.
5. UU Kesehatan 17/2023: Momentum Pendidik Klinis
UU Kesehatan terbaru memperkenalkan istilah Pendidik Klinis, yang membuka peluang untuk menyatukan jalur akademik dokter dan nakes lain yang mendidik di RS Pendidikan. UU ini mengamanatkan Perpres untuk mengatur jenjang karir Pendidik Klinis secara jelas.
Di sinilah muncul gagasan bahwa Profesor Klinis harus menjadi jabatan definitif, bukan kehormatan. Dengan demikian:
Jenjang karir Pendidik Klinis mengikuti pola AA–Lektor–LK–Profesor Klinis.
Semua pendidik klinis, baik dokter maupun nakes lain, mendapat pengakuan setara dengan dosen kampus.
Tidak ada lagi dualisme Dodiknis vs Dosen Akademik.
6. Tantangan dan Harapan
Masalah yang masih membelit hingga kini antara lain:
1. Keadilan finansial: Guru Besar NIDK sering tidak mendapat tunjangan setara dengan NIDN.
2. Keterlibatan Senat dan Dewan Guru Besar: Sebagian PT masih membatasi peran NIDK.
3. Kendala birokrasi lintas kementerian: Kemenkes, Kemendikbud, KemenPANRB, dan Kemenkeu punya aturan masing-masing.
Namun peluangnya juga besar:
Dengan NUPTK, tidak ada lagi pembedaan formal antara NIDN dan NIDK.
Dengan UU Kesehatan 17/2023, jalur Profesor Klinis bisa diinstitusikan.
Dengan semakin banyaknya RS Pendidikan dan dokter pengajar, kebutuhan regulasi yang adil makin mendesak.
Menuju Era “Profesor Klinis”
Sejarah panjang status dosen dokter di Indonesia adalah sejarah pencarian keadilan akademik. Dari “NIP 13 vs 14”, lahirnya Dodiknis, dilema NIDN/NIDK, hingga kini NUPTK, kita melihat satu benang merah: negara selalu berusaha menyeimbangkan birokrasi dan kebutuhan akademik, meskipun sering terlambat dan tambal sulam.
Kini momentum baru hadir. Dengan UU Kesehatan 17/2023, sudah saatnya Indonesia menginstitusikan Profesor Klinis sebagai puncak karir pendidik klinis. Tidak lagi sekadar “kehormatan simbolik”, tetapi pengakuan penuh atas jasa mereka yang telah mencetak generasi dokter bangsa.
Jika itu terwujud, maka pertanyaan “Profesor dari NIDN, NIDK, atau Pendidik Klinis?” tidak lagi relevan. Yang ada hanya satu: Profesor Indonesia, entah berasal dari kampus atau rumah sakit, yang berdiri sejajar dalam mengabdi pada ilmu, pendidikan, dan kemanusiaan.