Arti Kemerdekaan bagi Seorang Dokter ; renungan di Malam Tirakatan 16 Agustus 2025

Breaking News
- Advertisement -

 

Anton Christanto
Pemerhati & Pengamat Sosial Politik di Boyolali

Mudanews.com OPINI – Secara ideal, kemerdekaan seorang dokter mencakup kebebasan profesional dalam:
Menentukan praktik medis berdasarkan ilmu dan etik.
Berorganisasi di lembaga profesi tanpa intervensi politik.
Mendapat perlindungan hukum dan kesejahteraan memadai.
Melayani publik tanpa digerogoti tekanan ekonomi dan hegemon ekonomi.

Sudahkah dokternya benar-benar merdeka? Banyak bukti justru menunjukkan sebaliknya—profesi ini semakin terkungkung oleh regulasi, politik, dan logika pasar.

1. Organisasi Profesi & IDI Dilucuti Kewenangannya (UU Kesehatan 17/2023)

UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 memangkas peran strategis organisasi profesi, termasuk IDI:
Penghapusan rekomendasi IDI sebagai syarat legal praktis dokter dianggap sebagai hilangnya kontrol profesi atas praktisi baru.
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang dulunya cukup independen kini bertanggung jawab ke Menteri Kesehatan, bukan ke Presiden atau lembaga mandiri.

Akibatnya, organisasi profesi kehilangan pijakan sebagai penegak etika, kurikulum, dan kompetensi. Dokter seolah tidak memiliki julukan “kekebalan profesional” sebagai garda terakhir kualitas profes

2. Kolegium Diakuisisi oleh Pemerintah

Secara formal, UU Kesehatan memang menggambarkan kolegium sebagai lebih independen, karena kini menjadi bagian dari Konsil dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Namun pada praktiknya, melalui PP 28/2024, pengangkatan dan pemberhentian anggota kolegium berada sepenuhnya di tangan Menteri Kesehatan.

Akademisi dan dosen FK menyuarakan kekhawatiran bahwa ini membuat kolegium kehilangan “academic body” yang independen, rawan intervensi politik, dan mengancam standar pendidikan kedokteran.

Sementara DPR berpendapat UU ini justru memperkuat independensi dengan struktur baru yang lebih transparan dan akuntabel.

Tapi dalam praktiknya, dokter merasa ruang kontrol profesional telah menyempit—padahal itu sangat penting untuk menjaga standar mutu dan etik layanan medis.

3. IDI: Hidup Segan, Mati Tak Mau

Salah satu kritik muncul di media sosial, menggambarkan IDI sebagai organisasi yang tidak lagi efektif:

> “Gunanya IDI buat apa sih? Narikin iuran doang… Daftar spesialis minta rekomendasi juga bayar.”

Organisasi ini tampak terjebak antara kehilangan kewenangan formal dan keharusan menagih iuran dari para dokter muda sebagai “legitimasi” saja. Banyak anggota merasa tidak mendapatkan manfaat nyata, selain beban regulasi yang menjerat.

Ada juga laporan bahwa IDI kehilangan relevansi karena perannya digantikan pemerintah—fitur organisasi yang penting untuk advokasi, perlindungan, dan kontrol mutu kini tergantikan oleh regulasi negara.

4. Industrialisasi, Modernisasi & Kapitalisasi Layanan Kesehatan

Transformasi sektor kesehatan kian menjurus ke arah pasar:
Investasi besar di RS swasta, fintech kesehatan, dan perusahaan farmasi.
Dokter sering berfungsi sebagai penyedia teknis di bisnis yang dikendalikan bukan oleh tenaga kesehatan, tapi oleh investor dan pemodal.
Ini melemahkan independensi profesional dan memperkuat relasi ekonomi antara dokter dan modal. Medical decisions kadang dipengaruhi oleh efisiensi finansial, bukan kebutuhan medis murni.

5. Jasa Dokter yang Rendah

Masyarakat percaya bahwa dokter menerima honor tertinggi—padahal realitanya tidak selalu sebanding:

Di banyak daerah, dokter umum dan spesialis memperoleh honor yang jauh dari padatnya tanggung jawab.

Model fee-for-service yang rendah membuat layanan kesehatan sering dipaksakan melalui obat tak perlu, prosedur yang dipersingkat, atau tekanan target.

Padahal dokter masih harus membayar ujian, sertifikasi, organisasi, dan juga risiko hukum akibat malapraktik.

6. Praktik Bisnis di Layanan Kesehatan

Layanan kesehatan semakin mirip korporasi:
Praktek doctorpreneurship: dokter membuka klinik bukan hanya untuk layanan pasien tapi sebagai investasi bisnis.
RS sebagai entitas komersial menekan dokter mencapai target produksi, jam operasi, atau pengadaan layanan (fitur marketing).
Upaya “cap harga tinggi” untuk layanan tertentu membuat dokter kehilangan fokus etik—meresapi relasi pasar lebih dalam.

Sudahkah Dokter di Indonesia Merdeka?

Berdasarkan realita di atas, kemerdekaan seorang dokter di Indonesia masih sangat terbatas:
Merdeka secara hukum? Tidak sepenuhnya—IDI dan organisasi profesi tertekan.
Merdeka secara profesional? Terkikis oleh intervensi pemerintah dan logika pasar.
Merdeka secara ekonomi? Kurang—karena kompensasi rendah dan banyak biaya tambahan.

Kemerdekaan sejati bagi dokter harus mencangkup:
1. Otonomi ilmiah dan profesional dalam menentukan praktik medis.
2. Perlindungan hukum melalui organisasi profesi yang berdaulat, bukan regulasi sepihak.
3. Upah dan insentif yang adil serta bebas dari tekanan komersial.
4. Kebebasan untuk berorganisasi, mengontrol pendidikan, dan menjaga integritas profesi.

Berita Terkini