80 Tahun Indonesia: Kerja Senyap Menjaga Kedaulatan, Keadilan dan Kemanusiaan

Breaking News
- Advertisement -

 

  • Oleh: Ir. Abdullah Rasyid, ME, Staf Khusus Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan RI

 

Mudanews.cim OPINI – Di tengah peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia ini, saya ingin mengajak membicarakan dua hal yang jarang dibicarakan orang: yaitu Imigrasi dan Pemasyarakatan. Tentu kita sudah tahu institusi ini. Dan umumnya kita menganggap bahwa ini adalah unit teknis, yang tak terlalu menarik untuk diperhatikan. Padahal, Imigrasi dan Pemasyarakatan adalah pilar senyap yang menjaga kedaulatan, keadilan dan kemanusiaan negeri kita.

Imigrasi lebih dari sekadar urusan stempel paspor di bandara. Ia adalah benteng kedaulatan yang terus beradaptasi. Jika dulu kita harus mengantre panjang untuk mengurus paspor, kini ada e-Paspor dan aplikasi M-Paspor yang membuat prosesnya secepat kilat. Penerapan e-Visa juga berhasil mendongkrak jumlah wisatawan asing, menunjukkan bahwa Indonesia tak hanya berdaulat, tapi juga ramah terhadap dunia.

Gerbang-gerbang nusantara kini dilengkapi dengan teknologi biometrik yang berfungsi layaknya “mata elang” untuk mengawasi setiap orang yang masuk. Di tingkat global, Indonesia aktif bekerja sama memerangi perdagangan manusia, menegaskan keseriusan kita dalam menjaga martabat bangsa. Kebijakan bebas visa yang selektif juga menjadi bukti bahwa kita bisa membuka pintu tanpa mengorbankan keamanan.

Namun, perjuangan Imigrasi belum usai. Tantangan masih membayangi, terutama di perbatasan-perbatasan terpencil yang kekurangan infrastruktur. Sinyal yang lemah dan teknologi yang terbatas membuat pengawasan menjadi sulit. Masih banyak kasus penyalahgunaan visa yang membuat para petugas pontang-panting, serta koordinasi antar-instansi yang belum optimal. Di era digital ini, ancaman siber menjadi tantangan baru yang menuntut investasi lebih besar pada teknologi dan sumber daya manusia.

Jika Imigrasi menjaga gerbang negara, maka Pemasyarakatan bertugas membenahi jiwa anak bangsa. Pemasyarakatan telah bergeser dari pemenjaraan menjadi panggung kedua bagi mereka yang ingin memulai hidup baru. Berbagai program pelatihan keterampilan, mulai dari membatik hingga kursus IT, telah membuktikan bahwa kesempatan kedua itu nyata.

Digitalisasi data narapidana dan pendekatan restorative justice untuk kasus ringan telah membantu mengurangi kepadatan lapas. Remisi dan program reintegrasi sosial menjadi simbol kemerdekaan yang memberikan harapan baru bagi para warga binaan untuk kembali ke masyarakat.

Namun, kisah inspiratif ini juga diwarnai tantangan berat. Masalah overcrowding masih menjadi momok menakutkan, di mana beberapa lapas penuh hingga 200% dari kapasitasnya. Kondisi ini membuat proses pembinaan menjadi tidak maksimal. Stigma negatif dari masyarakat juga menjadi tembok tak kasat mata yang menghambat mereka untuk bangkit. Belum lagi tantangan literasi digital yang membuat pembinaan berbasis teknologi terkendala.

Imigrasi dan Pemasyarakatan adalah dua sisi mata uang kemerdekaan. Pencapaian mereka, dari digitalisasi hingga rehabilitasi, adalah kisah epik yang patut dirayakan. Namun, cerita ini belum tamat. Tantangan seperti infrastruktur yang lemah, masalah integritas, dan stigma sosial masih menjadi babak yang harus segera diselesaikan.

Dengan semangat “Bersatu Berdaulat”, Indonesia harus terus berinvestasi pada teknologi, memperkuat integritas para petugas, dan membuka hati masyarakat untuk menerima mereka yang ingin berubah. Karena kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajah, tetapi juga bebas dari ketidakadilan dan prasangka.

Mari jadikan gerbang imigrasi dan tembok berjeruji lapas sebagai simbol perjuangan menuju Indonesia Emas 2045, tempat di mana kedaulatan dan keadilan berjalan harmonis, demi rakyat yang benar-benar sejahtera.

Berita Terkini