Hasto Kembali, Jokowi Tersisih? Membaca Ulang Peta Politik PDIP di Era Prabowo

Breaking News
- Advertisement -

 

Anton Christanto
Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali

Mudanews.com OPINI – Di jagat politik Indonesia, pergantian Sekretaris Jenderal (Sekjen) sebuah partai biasanya adalah momentum biasa—sebuah rutinitas lima tahunan yang kadang hanya menjadi catatan kaki di berita-berita politik. Namun, ketika Megawati Soekarnoputri memutuskan untuk kembali menunjuk Hasto Kristiyanto sebagai Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk periode ketiganya, itu bukan sekadar berita organisasi internal. Ini adalah manuver strategis yang mengirim sinyal keras ke berbagai penjuru: kepada Presiden Joko Widodo, kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto, kepada kader PDIP sendiri, dan tentu kepada rakyat yang terus mengamati drama politik pasca-Pilpres 2024.

Keputusan ini—jika dibaca di permukaan—terlihat sebagai langkah mempertahankan “loyalis utama” Megawati. Namun jika dicermati lebih dalam, di dalamnya tersimpan pesan yang lebih kompleks: menjaga supremasi PDIP di tengah perubahan lanskap kekuasaan, membendung langkah politik Jokowi yang kini mulai menjauh dari rumah lamanya, dan memelihara narasi bahwa PDIP tetap menjadi “poros sejarah” politik Indonesia, meski kursi RI-1 akan segera diduduki oleh sosok yang dulu menjadi rival utama Megawati.

Fenomena ini mengundang setidaknya tiga pertanyaan kunci:
1. Mengapa PDIP, yang secara resmi menyatakan dukungan terhadap pemerintahan Prabowo, justru memilih sekjen yang rekam jejaknya dikenal sebagai “penjaga jarak” terhadap Jokowi?
2. Apakah keputusan ini semata-mata strategi internal atau sebuah pesan politik eksternal yang ingin mempengaruhi konfigurasi kekuasaan di 2024–2029?
3. Apa implikasinya terhadap hubungan PDIP, Jokowi, dan Prabowo di masa depan?

1. Hasto: Sekjen, Penjaga Gerbang, dan Loyalis Megawati

Bagi sebagian kader PDIP, Hasto bukan sekadar administrator partai. Ia adalah “penjaga gerbang” ideologis dan strategis Megawati. Lahir dari latar belakang aktivis dan akademisi, Hasto membangun reputasinya sebagai figur yang disiplin dalam mengawal garis partai. Pada Pilpres 2014 dan 2019, ia menjadi salah satu arsitek narasi yang menempatkan Jokowi sebagai simbol keberhasilan PDIP merebut kekuasaan eksekutif.

Namun, hubungan Hasto dan Jokowi tidak selalu harmonis. Pasca-2019, terutama menjelang Pilpres 2024, terjadi pergeseran halus namun signifikan. Jokowi mulai membangun political capital di luar PDIP, termasuk mengorbitkan figur-figur non-PDIP, bahkan memberi sinyal dukungan kepada partai-partai lain seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Di sinilah peran Hasto sebagai “penjaga garis” menjadi krusial bagi Megawati: memastikan PDIP tidak kehilangan kendali terhadap narasi politiknya, meski sang presiden berasal dari partai sendiri.

Kembalinya Hasto untuk ketiga kalinya dapat dibaca sebagai pernyataan bahwa Megawati lebih memilih figur yang bisa mengamankan “garis merah PDIP” ketimbang figur yang kompromistis terhadap Jokowi.

2. Merusak Hubungan Prabowo–Jokowi?

Salah satu spekulasi politik yang beredar di kalangan analis adalah bahwa menguatnya Hasto di posisi Sekjen bisa secara tidak langsung mengganggu kedekatan Jokowi dan Prabowo. Mengapa? Karena Hasto dikenal tidak segan melontarkan kritik terhadap langkah-langkah politik Jokowi yang dianggap keluar dari garis PDIP. Jika Jokowi ingin memengaruhi kebijakan pemerintahan Prabowo dari luar PDIP, kehadiran Hasto bisa menjadi faktor penyeimbang, bahkan penghambat.

Dari perspektif politik kekuasaan, PDIP memang punya alasan untuk “membatasi ruang gerak” Jokowi di era Prabowo. Jika Jokowi terlalu leluasa, ia berpotensi membentuk koalisi politik baru yang bisa menjadi pesaing PDIP di 2029. Maka, menjaga agar hubungan Prabowo–Jokowi tidak terlalu mesra adalah bentuk kalkulasi jangka panjang untuk mempertahankan dominasi PDIP.

3. Membendung Langkah Politik Jokowi

Hubungan Jokowi dan PDIP kini mirip hubungan alumni dan almamater yang renggang. Jokowi, yang dulu menjadi “wajah politik” PDIP, kini terlihat lebih sering berada di lingkaran partai-partai baru dan figur-figur politik muda. PSI menjadi simbol dari afiliasi politik baru Jokowi—sebuah partai yang ia dukung secara terbuka dalam Pemilu Legislatif 2024.

Bagi PDIP, terutama bagi Megawati, ini adalah ancaman simbolik. Jika Jokowi berhasil membesarkan PSI atau partai lain, pengaruh PDIP di kalangan pemilih muda bisa terkikis. Di sinilah Hasto berperan: memastikan PDIP tidak memberi ruang bagi strategi politik Jokowi yang bisa menggeser basis pemilih partai.

4. Menjaga Supremasi Politik PDIP

Banyak pengamat menilai bahwa paket “Megawati–Hasto” adalah satu kesatuan yang sulit dipisahkan dalam tubuh PDIP. Megawati memberikan legitimasi historis dan ideologis, sementara Hasto menjadi operator politik yang menjalankan strategi di lapangan. Dalam kontestasi politik nasional, kombinasi ini masih “laku dijual”—terutama di basis tradisional PDIP di Jawa Tengah, Bali, dan sebagian Jawa Timur.

Mempertahankan Hasto berarti mempertahankan kesinambungan strategi dan gaya politik PDIP yang cenderung ideologis, terukur, dan loyal terhadap garis partai. Di tengah gejolak politik pasca-Pilpres, konsistensi ini menjadi nilai jual yang ingin dipertahankan PDIP.

5. Paradoks: Musuh Politik Bukan Jokowi, Tapi Kemiskinan dan Korupsi

Di titik ini, publik bertanya: bukankah aneh jika partai sebesar PDIP justru memosisikan Jokowi sebagai lawan politik utama, sementara persoalan bangsa seperti kemiskinan, ketimpangan, dan korupsi masih menjadi pekerjaan rumah besar? Pertanyaan ini sahih. Namun dalam realitas politik, ancaman terhadap kekuasaan seringkali lebih diutamakan daripada ancaman terhadap kesejahteraan rakyat. Bagi PDIP, kehilangan kontrol atas mesin politik dan basis pemilih bisa dianggap lebih berbahaya secara strategis dibanding lambannya penanganan masalah kemiskinan.

Berita Terkini