Pati , 13 Agustus : Ketika Kepercayaan Rakyat Meledak di Depan Kantor Bupati

Breaking News
- Advertisement -

 

 

Anton Christanto
Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali

Sebuah Analisis Sosial-Politik tentang Aksi, Luka, dan Tuntutan yang Tak Boleh Diabaikan

Mudanews.com OPINI  – Di sebuah kota yang tenang di Jawa Tengah, sesuatu yang besar sedang terjadi. Bukan karena gempa atau banjir, melainkan karena patahnya sebuah ikatan yang selama ini tak terlihat: ikatan kepercayaan antara rakyat dan penguasa daerah. Di Pati, isu yang tampak teknis—kenaikan pajak daerah yang ekstrem—berubah menjadi api emosi publik. Tumpukan kardus, donasi yang menggunung, karangan bunga dari kepala desa, maklumat ormas keagamaan: semuanya adalah bahasa rakyat yang marah, lelah, dan ingin didengar.

Kemarahan itu tidak lahir di ruang hampa. Ia lahir dari keseharian yang pahit: harga kebutuhan pokok yang terus naik, biaya hidup yang menekan, pelayanan publik yang sering terlambat, serta rasa bahwa keputusan publik dibuat tanpa mendengar suara banyak pihak. Ketika sebuah kebijakan seperti kenaikan PBB-P2 tiba-tiba diusulkan dengan angka yang sulit dicerna—menambah beban di punggung rumah tangga kecil—apa yang terjadi bukan sekadar penolakan terhadap angka. Yang dilukai adalah rasa aman dan hak dasar untuk hidup layak. Maka, rakyat memilih berbicara di jalan.

Dari Kebijakan Teknis ke Krisis Legitimasi

Kebijakan fiskal lokal—pajak bumi dan bangunan, retribusi pasar, iuran layanan—harusnya dikelola dengan prinsip keadilan, proporsionalitas, dan partisipasi publik. Ketika salah satu pilar itu runtuh, legitimasi pemerintahan lokal ikut runtuh. Ini bukan soal “siapa yang menang suara” semata; ini soal kepercayaan institusional. Pemerintah daerah yang tiba-tiba mengumumkan kenaikan yang memberatkan tanpa komunikasi memadai dan mekanisme mitigasi akan memicu reaksi yang wajar: protes publik, tuntutan transparansi, dan tuntutan pertanggungjawaban.

Dalam kasus Pati, walaupun kebijakan itu akhirnya dibatalkan, luka sudah tercipta. Pembatalan administratif tidak otomatis menghapus kesan bahwa proses pembuatan kebijakan tersebut tidak inklusif dan otoriter. Rakyat merespons bukan semata karena angka PBB semata, melainkan karena pengalaman berulang bahwa suara kecil sering diabaikan—bahkan ketika yang tertindas adalah kepala keluarga, petani, pedagang kecil, dan buruh harian.

Donasi yang Menggunung: Simbol Solidaritas, Bukan Komoditas Politik

Pemandangan donasi menggunung di sepanjang trotoar depan kantor bupati bukan sekadar logistik. Kardus-kardus air mineral, makanan, hingga alat sederhana menjadi simbol solidaritas komunitas yang siap mendukung aksi damai. Ia menyiratkan dua pesan kuat: pertama, aksi ini bukan konspirasi oposan elit, melainkan reaksi akar rumput; kedua, masyarakat sudah lelah dan bersedia menanggung biaya moral dan material demi menegakkan rasa keadilan.

Karangan bunga dari kepala desa dan maklumat dari organisasi keagamaan lokal—yang meminta permintaan maaf publik dari Bupati—menggarisbawahi bahwa perlawanan ini bukan sekadar soal politik praktis. Ia juga soal moralitas pemerintahan: bagaimana pemimpin lokal harus memiliki kapasitas mendengar, merendah, dan bertobat ketika membuat kesalahan yang berdampak pada kesejahteraan rakyat.

Aksi Jalanan sebagai Mekanisme Demokrasi yang Sah

Demonstrasi massa, dalam tradisi demokrasi, adalah bentuk komunikasi politik terakhir ketika kanal formal tampak tertutup atau tidak efektif. Jalanan menjadi ruang publik untuk menampilkan ketidakpuasan yang tak lagi dapat diselesaikan lewat surat protes atau audiensi terbatas. Aksi 13 Agustus bukanlah murni ekspresi kemarahan; ia adalah tuntutan kolektif: minta kejelasan, minta kompensasi, minta pertanggungjawaban, dan yang paling penting—minta proses pembuatan kebijakan yang demokratis.

Namun ada dua catatan penting: aksi harus damai; dan tuntutan harus konkret. Damai bukan berarti pasif. Damai adalah strategi moral yang memperkuat klaim legitimasi rakyat. Ketika massa turun dengan tertib, menyuarakan tuntutan yang jelas—pembatalan kebijakan, permintaan maaf publik, pembentukan tim audit kebijakan fiskal, mekanisme partisipasi publik untuk perubahan peraturan daerah—mereka menempatkan diri pada posisi moral dan hukum yang kuat.

Mengapa Aksi Ini Layak Didukung Secara Moral

Ada alasan moral kuat untuk mendukung aksi damai tersebut. Pertama, negara berfungsi ketika ia melindungi yang lemah dan menjaga keadilan distributif. Ketika kebijakan pajak membebani yang paling rentan, menentangnya adalah tindakan memperjuangkan prinsip dasar negara kesejahteraan. Kedua, partisipasi politik yang luas—termasuk demonstrasi—adalah salah satu indikator sehatnya demokrasi. Mendiamkan tindakan yang jelas merugikan publik berarti merelakan normalisasi praktik pembuatan kebijakan tutup-tenggorokan. Ketiga, solidaritas antar warga yang melintas pilihan politik sehari-hari menunjukkan bahwa perbedaan pendapat politik tidak boleh menghalangi kepedulian bersama terhadap tata kelola yang adil.

Implikasi Jangka Panjang: Pelajaran bagi Pemerintah Daerah dan Nasional

Aksi Pati menaruh reflektor pada persoalan struktural yang lebih luas. Daerah-daerah lain akan mencatat bagaimana Pati menangani krisis ini. Ada beberapa implikasi penting:

1. Transparansi anggaran dan konsultasi publik harus menjadi standar sebelum kebijakan fiskal signifikan diambil. Pemerintah daerah perlu membuka data, menyertakan stakeholder, dan memberi ruang penyampaian keberatan yang bermakna.
2. Penguatan mekanisme pengawasan — DPRD, kantor ombudsman daerah, dan forum warga — harus difungsikan secara nyata. Bukan sekadar simbol, tetapi sebagai alat kontrol yang dapat membatalkan atau merevisi kebijakan yang bermasalah.
3. Pemulihan legitimasi butuh lebih dari kata maaf. Butuh langkah konkret: audit independen, kompensasi bagi yang terdampak, dan proses reformasi kebijakan yang melibatkan perwakilan masyarakat.
4. Peran tokoh moral lokal (ulama, kiai, tokoh adat, kepala desa) terbukti krusial dalam menengahi konflik. Pemerintah sebaiknya membangun komunikasi yang serius dengan mereka sebagai jembatan ke masyarakat luas.

Bagaimana Masyarakat Harus Bersikap pada 13 Agustus

Untuk mereka yang ikut turun pada 13 Agustus, beberapa prinsip harus dipegang teguh:

Turunlah sebagai wujud cinta pada tata kelola yang adil, bukan sebagai deklarasi kebencian personal.

Pastikan aksi berjalan damai; jadikan ini demo beradab yang menuntut kebenaran dengan etika.

Dokumentasikan pelanggaran administratif—bawa salinan surat, bukti koordinasi, dan saksi—agar tuntutan tidak hanya emosional tapi juga berdasar hukum.

Bentuk tim advokasi untuk menindaklanjuti tuntutan pasca-aksi: audit publik, gugatan administrasi kalau perlu, dan dialog terbuka yang dimediasi tokoh netral.

Jalanan Sebagai Ruang Meminta Pertanggungjawaban

Aksi 13 Agustus di Pati adalah lebih dari sekadar protes terhadap satu kebijakan. Ia adalah peristiwa simbolis yang menandai titik balik: apakah pemerintahan daerah akan belajar dari kesalahan dan memperbaiki proses, atau memilih menutup telinga dan melanjutkan gaya pengambilan keputusan yang top-down? Rakyat yang turun ke jalan pada hari itu membawa lebih dari amarah; mereka membawa harapan bahwa demokrasi lokal bisa diperbaiki—bahwa kebijakan publik kembali menjadi urusan bersama, bukan keputusan sekelompok orang yang lupa pada fungsi dasar pemerintahan.

Mendukung aksi damai ini bukan soal ikut berseberangan dengan siapa pun sebagai musuh, melainkan soal mempertahankan prinsip bahwa pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang mendengarkan, bertanggung jawab, dan adil. Ketika pemerintah melanggar prinsip itu, maka jalanan—katakanlah, dengan rapi, damai, dan bermartabat—adalah tempat warga menuntut haknya.

Berita Terkini