Oleh : Anton Christanto Pemerhati & Pengamat Sosial Politik di Boyolali
Mudanews.com OPINI – Enam bulan terakhir, Boyolali seakan menjadi cermin dari politik Indonesia pasca-Pemilu 2024. Di kabupaten yang terkenal dengan sapi perahnya ini, suhu politik tidak pernah benar-benar dingin. Yang ada hanyalah hawa panas yang kadang mereda di permukaan, namun terus membara di bawah tanah.
Peta Politik yang Retak Sejak Awal
Peta politik Boyolali unik — atau tepatnya rumit. Pada Pileg 2024, PDIP tampil perkasa dengan menguasai hampir 80 persen kursi DPRD. Sebuah dominasi mutlak yang biasanya akan membuat partai pemenang leluasa mengatur arah kebijakan daerah, terutama soal anggaran.
Namun, kejutan datang di Pilkada. Jagoan PDIP tumbang, sementara pasangan yang diusung Gerindra dan Golkar justru melenggang ke kursi bupati dan wakil bupati. Kemenangan ini memecah pola politik lama di Boyolali yang selama bertahun-tahun identik dengan “warna merah”.
Efek Domino Politik Jawa Tengah
Kemenangan Gerindra di Pilkada Boyolali bukanlah kasus tunggal. Di tingkat provinsi, kursi Gubernur Jawa Tengah direbut oleh Lutfi, sosok pro-Jokowi yang juga diusung Gerindra. Ini memberi pesan kuat: benteng merah di Jateng sudah mulai retak.
Namun, kemenangan eksekutif di Boyolali bukan berarti mulus. Justru inilah awal dari perang dingin. Di satu sisi, DPRD yang mayoritas PDIP memegang kunci anggaran. Di sisi lain, eksekutif (bupati dan wakilnya) memegang kekuasaan mutlak untuk mutasi, rotasi, bahkan “mengamankan” posisi pejabat daerah — sebuah senjata strategis untuk membangun basis kekuatan menuju Pilkada dan Pileg berikutnya.
Saling Sandera: Drama Politik 6 Bulan Terakhir
Sejak awal masa jabatan, relasi eksekutif-legislatif di Boyolali ibarat dua raksasa yang saling menatap sambil menghunus senjata. DPRD bisa menghambat program eksekutif dengan mengatur aliran anggaran. Sebaliknya, bupati dan wakilnya bisa “mengunci” jaringan PDIP di birokrasi dengan menggeser pejabat kunci ke posisi non-strategis.
Hasilnya? Banyak kebijakan yang tersendat, beberapa program strategis tertunda, dan pejabat di tingkat OPD hidup dalam ketidakpastian. Bagi rakyat, ini seperti menonton pertunjukan wayang di mana dalang sibuk bertarung sesama dalang, sementara lakon utamanya terbengkalai.
Babak Baru Setelah Hasto Bebas dan Kongres Bali
Kondisi ini semakin menarik setelah dua peristiwa besar di tingkat nasional:
1. Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, bebas dari proses hukum yang sempat membelitnya.
2. Kongres PDIP di Bali menghasilkan keputusan monumental: Megawati Soekarnoputri menyatakan dukungan terhadap pemerintahan Prabowo Subianto.
Secara teori, dukungan ini bisa menjadi jembatan politik antara PDIP di DPRD Boyolali dan eksekutif yang pro-Prabowo. Namun, politik lokal sering kali tidak sesederhana politik pusat. Luka Pilkada masih segar. Kekalahan jagoan PDIP di Boyolali tidak mudah dilupakan begitu saja, apalagi ketika beberapa figur kunci PDIP merasa “disingkirkan” dari lingkar kekuasaan daerah.
Boyolali Sebagai “Laboratorium Politik”
Hari-hari ini, Boyolali adalah laboratorium politik yang menarik untuk diamati. Di satu meja, bisa saja Ketua DPRD dari PDIP duduk bersama Bupati dari Gerindra membicarakan program pembangunan. Tapi di belakang layar, masing-masing kubu tetap menghitung langkah, menakar kekuatan, dan menyiapkan skenario untuk Pilkada 2029.
Taktik saling sandera ini seperti permainan catur:
* DPRD mengontrol anggaran pembangunan, memastikan setiap rupiah yang keluar harus melewati pengaruh fraksi mayoritas.
* Eksekutif mengendalikan mutasi pejabat, mengamankan basis loyalitas dan memutus jalur kekuasaan lawan di birokrasi.
* Siapa yang salah langkah, bisa habis lebih cepat.
Membongkar Strategi Saling Sandera Politik Boyolali
Di permukaan, suasana Boyolali terlihat damai. Pasar tetap ramai, sapi perah tetap diperah, jalan-jalan tetap dibangun. Tapi di balik papan nama proyek, rapat-rapat resmi, dan senyum salam saat acara resmi, sedang terjadi perang urat saraf yang melibatkan dua kekuatan besar: DPRD yang nyaris mutlak dikuasai PDIP, dan eksekutif yang dikendalikan duet Gerindra-Golkar.
Senjata Pertama: “Kunci Anggaran” di Tangan DPRD
Bagi publik awam, pembahasan anggaran daerah sering terlihat seperti rutinitas tahunan. Padahal, di Boyolali, ini adalah titik tawar politik paling panas.
Dengan menguasai hampir 80% kursi DPRD, PDIP memegang palang pintu seluruh proyek dan program daerah. Dalam mekanisme resmi, DPRD berperan menetapkan APBD bersama eksekutif. Namun dalam realitas politik, **siapa yang menguasai fraksi mayoritas bisa menentukan:
* Proyek mana yang berjalan cepat.
* Proyek mana yang diperlambat.
* Program siapa yang dipangkas anggarannya.
Beberapa sumber internal menyebut, pembahasan APBD Boyolali enam bulan terakhir sering berlangsung alot. Ada proyek prioritas eksekutif yang “diminta revisi” berulang kali oleh legislatif. Bukan karena masalah teknis, tapi karena ada permainan posisi dan kepentingan di balik meja.
Senjata Kedua: “Mutasi Pejabat” di Tangan Eksekutif
Jika DPRD punya kunci anggaran, eksekutif memegang senjata yang tak kalah mematikan: mutasi pejabat.
Di Boyolali, bupati memiliki kewenangan untuk memindahkan, mempromosikan, atau menurunkan pejabat struktural mulai dari eselon II hingga lurah/kepala desa pelaksana. Kewenangan ini, jika digunakan secara politis, bisa mengubah peta kekuatan di bawah.
Beberapa bulan terakhir, ada rotasi jabatan mendadak di beberapa OPD strategis dan kecamatan. Para pejabat yang dianggap “terlalu dekat” dengan jaringan PDIP kabarnya dipindah ke posisi non-strategis. Sebaliknya, orang-orang yang dinilai loyal kepada bupati dan wakilnya mendapat jabatan yang punya akses langsung ke sumber daya, proyek, dan publik.
“Mutasi ini seperti pesan tak tertulis: kalau mau aman dan naik, ikut arus kami,” kata seorang sumber di lingkar birokrasi Boyolali.
Strategi Saling Sandera
Inilah bentuk saling sandera yang dimaksud:
* DPRD bisa memperlambat atau menahan pencairan anggaran program eksekutif jika mutasi pejabat dianggap merugikan jaringan politik mereka.
* Eksekutif bisa mengisolasi pengaruh DPRD dengan menempatkan orang-orangnya di posisi yang mengatur pelaksanaan program dan proyek di lapangan.
Keduanya sama-sama paham bahwa pertarungan ini bukan hanya soal hari ini, tapi untuk Pilkada dan Pileg lima tahun mendatang. Siapa yang menguasai sumber daya dan jaringan lapangan sekarang, akan punya modal besar di 2029.
Pertarungan Tersembunyi di Tingkat Desa
Permainan ini bahkan merembes ke tingkat desa. Dalam beberapa bulan terakhir, pembagian bantuan dan proyek infrastruktur desa mulai diarahkan dengan mempertimbangkan afiliasi politik kepala desa atau tokoh setempat.
Jika kepala desa condong ke PDIP, proyek dari eksekutif bisa tertunda atau dikurangi. Jika kepala desa dianggap “pro-bupati”, akses bantuan bisa lebih lancar.
Ini membuat para kepala desa seperti berjalan di atas tali: salah melangkah, bisa kehilangan dukungan dari salah satu kubu.
Politik Senyum di Depan, Tikaman di Belakang
Meski di depan kamera keduanya bisa duduk bersama di acara resmi, suasana sebenarnya ibarat permainan catur berdarah dingin. Setiap pertemuan adalah kesempatan membaca pergerakan lawan. Setiap “saling puji” di podium bisa diselipi kode ancaman yang hanya dipahami oleh mereka yang terlibat.
Risiko bagi Rakyat
Dampak untuk Masyarakat
Saling sandera ini pada akhirnya membuat rakyat sebagai korban paling nyata. Program pengentasan stunting, perbaikan irigasi, hingga peningkatan layanan kesehatan bisa tersendat karena menjadi alat tawar-menawar politik.
Alih-alih fokus melayani publik, energi elite daerah tersedot untuk memastikan lawan tidak mendapat keuntungan politik. Boyolali kini bukan sekadar arena pembangunan, melainkan arena gladi resik pertarungan politik nasional dalam skala kecil.
Bagi rakyat Boyolali, semua ini terasa seperti drama politik yang jauh dari persoalan sehari-hari mereka. Isu stunting, infrastruktur desa, harga pangan — semua bisa menjadi korban tarik-menarik kepentingan. Setiap pihak mengklaim “pembangunan tetap berjalan”, namun di lapangan, masyarakat mulai bertanya: pembangunan ini untuk rakyat atau untuk peta kekuasaan lima tahun lagi?
Boyolali kini berada di persimpangan. Jika PDIP dan Gerindra-Golkar bisa memanfaatkan momen dukungan Megawati kepada Prabowo untuk rekonsiliasi, Boyolali bisa melaju dengan pembangunan yang stabil. Tapi jika ego politik tetap memimpin, saling sandera ini bisa berlangsung hingga pemilu berikutnya — meninggalkan rakyat sebagai penonton setia drama kekuasaan yang tak kunjung tamat.