Oleh : Anton Christanto,Pemerhati dan pengamat sosial politik
Mudanews.com OPINI – Dari luar, Boyolali tampak damai. Lalu lintas lancar, pedagang pasar berteriak menawarkan barang, dan kantor pemerintahan tetap buka seperti biasa.
Tapi siapa pun yang paham politik di sini tahu — di balik semua itu ada perang senyap yang mematikan.
Inilah Boyolali hari ini: DPRD di bawah kendali PDIP, eksekutif di bawah kendali kubu Jokowi–Prabowo melalui Gerindra dan Golkar.
Dua kutub kekuasaan ini kini saling menatap tajam. Tidak ada yang mau mengalah. Tidak ada yang mau kehilangan pijakan. Dan yang paling mengerikan — mereka saling sandera.
Sudah 6 bulan sudah bupati dan wakil bupati bekerja. Dua Kekuatan yang Saling Mengunci
Di satu sisi, DPRD memegang kunci anggaran.
Mereka bisa menentukan arah belanja daerah, menghidupkan atau mematikan program pemerintah, mengalirkan atau menghentikan dana. Bagi lawan politik, ini adalah senjata untuk membuat bupati kerepotan.
Di sisi lain, eksekutif memegang kuasa mutasi jabatan — dari camat, kepala dinas, sampai lurah.
Dalam konteks politik, jabatan-jabatan ini bukan sekadar kursi kerja, tapi pos-pos strategis untuk membangun jaringan, menggalang loyalitas, dan memastikan mesin politik berjalan mulus untuk Pilkada dan Pileg lima tahun ke depan.
Keduanya tahu:
* DPRD tak bisa menggerakkan program tanpa tanda tangan eksekutif.
* Eksekutif tak bisa menjalankan rencana besar tanpa kucuran anggaran dari DPRD.
Inilah sandera kekuasaan yang membuat setiap pertemuan resmi terasa dingin meski senyum terpampang di foto.
Politik yang Kehilangan Rasa “Fun”
Dulu, politik di Boyolali kadang terasa seperti permainan strategi. Ada tawa di sela manuver, ada rasa persaingan yang masih sehat.
Sekarang, permainan itu sudah berubah menjadi adu hidup-mati.
Salah langkah, habis. Salah bergaul, dihantam.
Mereka yang dulu dielu-elukan saat pelantikan, kini diincar.
Mereka yang dulu merayakan kemenangan, kini sibuk mencari pelindung.
Kursi kekuasaan bukan lagi tempat untuk bekerja, tapi benteng pertahanan dari serangan lawan.
Pertarungan di Balik Senyum
Acara-acara publik diwarnai jabat tangan dan pose foto bersama. Tapi semua orang yang berada cukup dekat ke panggung ini tahu — itu hanya teater.
Di balik senyum lebar, ada pesan dingin yang ingin disampaikan: “Kami di sini, kami kuat, jangan macam-macam.”
Pertarungan bukan hanya antarpartai, tapi antar-individu, antar-kelompok, dan bahkan antar-institusi.
Ada perang persepsi di media, ada serangan narasi di ruang publik, dan ada operasi senyap di belakang layar.
Bayang-Bayang Orde Baru
Di tengah panasnya persaingan ini, muncul narasi yang berbahaya: “Orba bangkit kembali.”
Ternyata, ini bukan sekadar omongan warung kopi. Ada strategi halus yang sengaja memancing nostalgia masa lalu: “Enak jamanku to?”
Narasi ini dimainkan untuk melemahkan kekuatan baru dan menghidupkan kembali dominasi lama.
Yang baru masih mencari pijakan, yang lama ingin merebut kembali singgasana. Gesekan keduanya membuat Boyolali seperti medan tempur politik yang tak mengenal gencatan senjata.
Pilkada dan Pileg: Medan Perang yang Sesungguhnya
Semua pergerakan hari ini sesungguhnya hanya pembukaan.
Pertarungan sesungguhnya akan terjadi pada Pilkada dan Pileg mendatang.
Itulah mengapa setiap jabatan yang dipegang birokrat sekarang dianggap sebagai pion penting. Setiap anggaran yang disetujui atau ditolak menjadi amunisi.
Eksekutif butuh waktu lima tahun untuk membangun barisan loyalis lewat jabatan strategis. DPRD butuh lima tahun untuk mengatur arah dana dan proyek agar dukungan politik tetap mengalir.
Keduanya sama-sama mengincar satu hal: menguasai panggung Boyolali sepenuhnya di babak berikutnya.
Anatomi Saling Sandera di Boyolali
Jika kita mau membedah pertarungan politik di Boyolali hari ini, kita harus memulainya dari dua benteng kekuasaan: DPRD yang dikendalikan PDIP dan eksekutif yang dikuasai Gerindra–Golkar.
Keduanya ibarat dua jenderal yang memimpin pasukan di medan perang yang sama — tidak ada sekutu abadi, hanya kepentingan yang abadi.
1. Senjata DPRD: Anggaran sebagai Alat Tawar
Bagi DPRD, APBD adalah peluru utama.
Setiap rancangan program dari bupati akan melewati meja mereka. Di sinilah tarung pertama terjadi.
Program yang menguntungkan kubu eksekutif? Bisa dipangkas, ditunda, atau bahkan dibatalkan.
Proyek yang menguntungkan jaringan politik DPRD? Bisa digolkan dengan cepat.
Dalam banyak kasus, negosiasi anggaran ini bukan soal angka semata, tapi soal akses dan kontrol. Satu tanda tangan di gedung DPRD bisa menentukan nasib pembangunan jalan, beasiswa, atau pasar rakyat. Dan setiap proyek berarti lapangan untuk membangun loyalitas politik.
Taktik umum DPRD:
Memelihara “gantung anggaran” untuk memaksa eksekutif membuka ruang negosiasi.
Mengunci anggaran program andalan bupati agar elektabilitasnya tidak naik terlalu cepat.
Memainkan isu publik lewat media, menggiring narasi bahwa program eksekutif gagal, padahal tersendat karena proses politik di DPRD.
2. Senjata Eksekutif: Mutasi Jabatan sebagai Mesin Politik
Di kubu bupati–wakil bupati, mutasi pejabat adalah senjata yang tak kalah mematikan.
Jabatan camat, lurah, kepala dinas, hingga kepala sekolah bisa dirotasi sewaktu-waktu. Bagi politisi, ini bukan sekadar administrasi, melainkan cara memastikan pos-pos strategis diisi oleh orang yang loyal.
Taktik umum eksekutif:
Memindahkan pejabat yang dianggap terlalu dekat dengan lawan politik ke posisi “kering” tanpa akses anggaran besar.
Menempatkan pejabat yang punya basis massa di wilayah pemilihannya untuk membangun pengaruh menjelang pilkada dan pileg.
Menggunakan promosi jabatan sebagai hadiah untuk mereka yang mampu mengamankan suara.
Mutasi ini sering dilakukan diam-diam, tapi efeknya seperti gempa politik lokal. Satu surat keputusan bupati bisa mengubah peta kekuatan di sebuah kecamatan.
3. Perang Simbol dan Narasi
Selain anggaran dan jabatan, ada satu lagi medan tempur: persepsi publik.
Di Boyolali, dua kubu ini sangat paham bahwa narasi di ruang publik bisa menentukan arah dukungan.
DPRD menggunakan rapat paripurna dan media lokal untuk menyorot kelemahan eksekutif. Pernyataan resmi mereka sering dikemas dengan bahasa manis, tapi punya pesan politik yang tajam.
Eksekutif membalas dengan program yang langsung menyentuh rakyat — pembagian bantuan, pembangunan fisik, kunjungan bupati ke desa-desa — lalu memastikan kegiatan itu diviralkan di media sosial.
4. Strategi “Menunggu Lawan Jatuh Sendiri”
Yang membuat situasi ini makin licik adalah, kedua belah pihak paham bahwa dalam politik lokal, terkadang menunggu lawan membuat kesalahan lebih efektif daripada menyerang langsung.
DPRD sering membiarkan eksekutif meluncurkan program, lalu mencari celah kesalahan untuk dijadikan bahan kritik publik.
Eksekutif kadang membiarkan DPRD memblokir program populer, lalu menuding mereka sebagai penghambat pembangunan.
Setiap langkah lawan dicatat, setiap kesalahan disimpan untuk diledakkan di waktu yang tepat — terutama menjelang tahun politik.
5. Taruhan 5 Tahun ke Depan
Peta kekuatan hari ini hanyalah fondasi untuk perebutan kekuasaan di Pilkada dan Pileg mendatang.
DPRD berharap bisa menguasai eksekutif pada periode berikutnya.
Eksekutif berambisi mempertahankan atau bahkan memperluas kekuasaan hingga kursi DPRD.
Di balik setiap proyek, mutasi, atau pernyataan politik, ada kalkulasi panjang. Tidak ada kebijakan yang benar-benar netral. Semua sudah dipikirkan sebagai bagian dari strategi merebut atau mempertahankan kekuasaan.
Boyolali mungkin terlihat tenang di permukaan, tapi di balik layar, ini adalah panggung besar di mana dua kekuatan saling mengunci, saling sandera, dan saling menunggu kesempatan untuk saling menumbangkan.
Bagi rakyat biasa, yang terbaik hanyalah menepi, mengamati, dan bersiap menghadapi dampaknya. Karena di medan perang seperti ini, tak ada yang benar-benar menang — kecuali mereka yang duduk di kursi kekuasaan.
Menepi di Tengah Perang Para Raksasa
Bagi rakyat biasa, politik ini hanya menyisakan risiko.
Seperti pepatah lama: “Gajah bertarung lawan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah.”
Banyak yang sudah jadi korban. Ada yang kehilangan jabatan, terseret kasus, bahkan dipaksa mundur dari arena.
Dalam suasana seperti ini, langkah paling bijak bagi warga mungkin adalah menepi.
Menjadi penonton yang bijak, menyeruput kopi sambil mengamati bagaimana para penguasa saling sandera.
Karena di Boyolali hari ini, politik bukan lagi pesta demokrasi — tapi arena gladiator, dan penonton pun bisa kena cipratan darah jika berdiri terlalu dekat.