Oleh : Ny Oerip Lestari Djoko Santoso Eksponen Marhaenis tinggal di Kota Semarang
Mudanews,com OPINI – Kehadiran saya di Panti Marhaenis pada Sabtu malam 26 Juli merupakan kali ketiga dalam dua bulan terakhir, pada bulan Juni yang sering disebut dengan Bulan Bung Karno menghadiri Seminar Kebangsaan dengan Nara sumber top yakni Prof Arief Hidayat, DR Yudi Latif dan Prof Suharnomo Rektor Undip.
Kemudian di lanjutkan dengan penutupan peringatan bulan Bung Karno, yang digelar secara spektakuler dan gegap gempita penuh dengan sentuhan budaya yang indah perpaduan antara tradisional dan modern kontemporer khas kekinian.
Namun malam Sabtu tersebut sangat kontras, karena yang diperingati adalah peristiwa berdarah penuh duka,air mata dan kesedihan mendalam tak terperi.Korbannya ratusan orang, yang luka, cidera,mati, hilang sampai saat ini selama 29 tahun belum juga terungkap.Untuk mengisi acara utama bertajuk ” Malam Kenangan dan Solidaritas Demokrasi ” , membuat tengkuk merinding sekaligus miris seolah peristiwa keji hadir kembali di hadapan kita.
Kehadiran tiga sosok berasal dari berbagai latar belakang sebagai penyampai testimoni diharapkan mampu membawa suasana khidmat sehingga merasuk kedalam hati sanubari para hadirin.
Sebelumnya serangkaian doa dipanjatkan oleh Ustadz Nur Arifin ulama dari Kangkung , Kendal yang ditujukan pada alm pak Moegi yang tutup usia 100 hari lalu. Beliau adalah Ketua LBH PERJUANGAN , seorang pendekar hukum paripurna yang pantas menjadi panutan bagi para nasionalis marhaenis muda. Anak muda adalah the future leader yang akan menentukan arah masa depan bangsa ini.
Bobot materi yang disampaikan sebagai testimoni cukup berat, apalagi berasal dari sudut pandang berbeda dari tiga orang yang sebelumnya tidak saling kenal.Penunjukkan panitya yang mendadak menguras memori dan menguji kekuatan imaginatif yang harus menggumpal di otak kita dalam waktu singkat.Boleh dikatakan tanpa persiapan sama sekali, hanya mengandalkan pada apa yang masih tertinggal di dalam benak.Dengan keberanian dan ” bondho nekad “; tampillah kita bertiga seadanya di hadapan ibu Walikota mbak Agustine dan ratusan kader partai yang memadati pelataran belakang Panti Marhaen.
Supaya lebih ” semedulur ” , penulis menyebut kedua tokoh laki laki tersebut dengan panggilan khas Semarangan yaitu kas Joko Ambon dan kas Chandra..Meski diminta tampil paling awal , tetapi dalam alur penulisan justru kas Joko Ambon di awal testimoni kemudian diikuti oleh kas Chandra.Bergaya santai dan kocak , kas Joko memperkenalkan dirinya sebagai Satgas Partai yang merangkak dari bawah.
Berstatus sebagai ” bala duphak ” , beliau sering mendapat tugas pelik dan berbahaya di antaranya menjaga kediaman pribadi mbak Mega di Kebagusan.Selain itu ada tugas khusus mendampingi mbak Mega kalau berkunjung ke daerah daerah rawan di Jateng.
Bermodalkan keberanian tanpa batas itulah , peran kas Joko sangat strategis, mungkin tidak memiliki dasar dasar teori inteligen tetapi berdasarkan pengalaman empiris maka kepekaannya menjadi terasah.
Bagi kas Joko dikejar aparat , main kucing kucingan dengan polisi dan tentara bukan sesuatu yang mengagetkan.Justru memicu adrenalin, biasa dihadapi dengan kepala dingin, tenang , mental sekokoh baja tak tergoyahkan, yang merupakan ciri ciri kader militan PDI/ PDIP.
Semboyannya ” biar gepeng tetep banteng”, abadi sampai saat ini
Partai sangat beruntung memiliki kader tangguh seperti beliau, yang tidak lekang dimakan zaman sebagaimana kader kader partai lain yang berpaling dan berubah menjadi ” kutu loncat ” yang oportunis.Usia nya saat itu baru 21 tahun , darah mudanya pasti menggelegak mendorong jiwanya untuk melawan siapa sajaKarier politiknya berawal Kordes/ Koordinator Desa Kalibanteng Kulon, Semarang Barat, Kordes tersebut kemudian berubah menjadi Ranting. Sepak terjangnya makin intens di tlatah Semarang, kemudian bergerak di arena yang lebih luas yaitu Jakarta.
Salah satu tindakan heroiknya yaitu ketika berhasil merobohkan pagar gedung MPR / DPR Senayan bersama sama dengan kader kader PDI Jatim.Akhirnya perjuangan tidak pernah sia sia walaupun menyabung nyawa, saat ini kas Joko masih tetap berjuang di jalur legislatif DPRD Kota Semarang di Komisi A.Semoga pengabdiannya pada wong cilik semakin mantap,sehingga mampu menyejahterakan rakyat yang masih termarginalkan.
Terus berjuang kas, pantang mundur.
Selanjutnya testimoni kas Chandra sebagai wartawan profesional tidak kalah berbahaya, heboh dan tentu saja juga dahsyat. Sebagai wartawan free lance di tahun 1996, kiprahnya tergolong lincah sehingga memiliki akses dengan berbagai media di Semarang juga JatengHasil ” jepretannya” laku keras, sering dimuat di harian lokal seperti Suara Merdeka , Wawasan, Kedaulatan Rakyat juga kantor kantor Pemerintah.Ketika tragedi Kudatuli pecah, para wartawan mengetahui kejadian tersebut dari berita TV Jakarta / Nasional.Mereka kemudian berburu informasi dari para tokoh PDI yang ada di Jateng termasuk kota Semarang.Secepatnya kas Chandra menuju kantor DPC PDI Kosem di Barusari, ternyata sudah banyak orang ber jaga jaga dengan wajah tegang
Aparat( Polisi, Tentara ) sudah tersebar di mana mana mulai dari Pasar Kembang Kalisari hingga lapangan tenis Kesdam di jalan Cokroaminoto.Seorang Polisi memakai rompi bertuliskan UPS/ Unit Perintis Sabhara, menghentikan langkahnya disertai pertanyaan ber tubi tubi. Meski sudah mengaku sebagai Wartawan, tetapi tetap di cecar dengan pertanyaan standard, antara lain mau kemana, ketemu siapa dan keperluannya apa. Namanya juga aparat, tidak pernah bersahabat dan sikapnya selalu kaku.
Sebagaimana diketahui, wartawan adalah sosok netral, luwes dan fleksibel oleh karena itu sering dicurigai sebagai Intel oleh mahasiswa dan provokator oleh aparat.Memang membingungkan , maju kena, mundur kena itulah istilah yang paling tepat.Kas Chandra makin rajin berburu informasi dan mencermati perkembangan politik yang makin memanas
Termasuk mendengar kabar, tentang penangkapan para simpatisan PDI Pro Mega/ Promeg oleh Mapoltabes Semarang.Penangkapan oleh aparat ini memicu bergeraknya massa ” menggeruduk Mapoltabes yang hanya berjarak sekitar 1 km dari Barusari.Di depan lapangan garnisun Kalisari sudah disambut pasukan UPS, massa tertahan.Ketegangan tidak dapat dihindari, adu argumentasi terjadi antara petugas dan tokoh tokoh partai seperti Sriyono, Tugiran Kusumo, keduanya sudah almarhum dan Herman Yoostam yang saat ini masih sehat .
Suasana mencekam, sore makin kelabu, ketika massa digiring memasuki lapangan Bhayangkara.Sesungguhnya peran wartawan sangat strategis , bahkan karya wartawan di banyak negara maju dapat meraih hadiah Pulitzer( semacam Nobel , tetapi untuk photographie).Misalnya foto saat Perang Vietnam berjudul ” Napalm Girl “Foto yang mengguncang dunia tersebut tidak diketahui siapa photographeryang membidik momen tersebut
Namun demikian dinilai sangat” humanistis ” penggambaran yang menyentuh tentang seorang anak perempuan kecil telanjang bulat, menangis sambil berlari dari kejaran tentara
Very touching.
Sebelum mengakhiri testimoninya, kas Chandra menceritakan ketika harus meliput bentrokan di kampus Undip antara kader PDI, PRD versus aparat. Beliau sempat diselamatkan oleh ibu dosen DR .Ari Pradhanawati yang dengan beraninya menggertak pengejar seraya mengakui bahwa kas Chandra adalah mahasiswanya sehingga selamat tanpa cidera sedikitpun.
Sementara teman teman wartawan lainnya dari Suara Merdeka dan Kedaulatan Rakyat Yogya menjadi korban kekerasan, sehingga harus dirawat di RS Roemani. Di fihak aparat seorang Intel dari Poltabes juga menjadi korban.
Sebagai peliput peristiwa politik tentu punya banyak pengalaman yang mendebarkan, tetapi tidak mudah dilupakan, selalu melekat di lubuk hati yang terdalam, Sebagai satu satunya perempuan penyampai testimoni, saya hanyalah seorang mahasiswa strata dua di UI dengan pilihan studi Pengkajian Ketahanan Nasional meski berlatar belakang ekonomi, mungkin terdengar tidak ada relevansinya bahkan sama sekali tidak lineair
Bicara masalah nyali, perempuan jangan dipandang sebelah mata,keberaniannya bisa muncul tiba tiba, sebagai akibat dari adanya tekanan yang berasal dari luar dirinya kemudian merasuk kedalam hati sanubarinya. Meruntuhkan tirani yang bercokol lebih dari 30 tahun bukanlah pekerjaan mudah .Butuh persiapan yang tidak saja matang, tetapi juga keberanian luar biasa tanpa batas.
Pemanasan yang di lancarkan oleh para penentang orde baru telah di mulai sejak tahun 1996/1997. Serangkaian letupan letupan kecil timbul di sudut sudut Ibu Kota secara sporadis dan beruntun.
Biasanya yang berhadapan adalah aparat keamanan ( polisi dan tentara ) versus aktivis mahasiswa dan kelompok kelompok sipil yang tertindas.
Hampir setiap hari mimbar bebas di gelar di jalan jalan protokol mulai dari ujung Bundaran Hotel Indonesia sampai Salemba, dan biasanya di depan kantor parpol yang berseberangan dengan Pemerintah.Massa yang mendengarkan orasi semakin bertambah menciptakan suasana yang mencekam, apalagi bila lontaran kritik kritik pedas, keras memerahkan telinga tak kunjung mereda.
Jika tidak ada kuliah, bersama sama dengan teman teman dipastikan selalu hadir di zona panas penuh risiko tersebut.Tentu saja kehadiran kita tanpa tangan kosong, rasa empati kepada para pejuang rakyat kita wujudkan dalam bentuk uang sekedarnya dari para simpatisan dilengkapi dengan makanan kecil yang dibeli di kantin kampus. Situasi genting tidak menentu itu,.kemudian kita diskusikan yang berlangsung cukup seru dan kontroversial di lihat dari berbagai perspektif yang merupakan bagian dari Ilmu Ketahanan Nasional yang sedang kita tekuni.
Di tengah kemelut Jakarta yang nyaris tak terkendali itulah, saya memutuskan untuk pulang ke Semarang pada hari Jumat sore tanggal 26 Juli 1996 Sesampai di rumah, tiba tiba tilpon berdering dari yu Ninien ( almh dr.Oetari Oesman), sepupu juga induk semangku yang mengabarkan bahwa telah terjadi peristiwa mengerikan di kantor PDI di jalan Diponegoro di serang dan dirusak oleh sekelompok orang tak dikenal berbadan kekar.
Banyak korban berjatuhan, ada yang luka, cidera bahkan ada yang meninggal, semua belum jelas.Berita penyerbuan brutal atas kantor PDI kemudian menjadi headlines di koran koran Nasional, lokal bahkan internasional.Semua mengecam tindak kekerasan yang biadab tersebut, siapapun dia.Orang orang di dalam gedung yang tidak berdaya tanpa senjata, masih dalam tidur telah dihajar habis habisan, mereka banyak yang ditolong warga sekitar. Kemudian dilarikan ke RSCM, rumah sakit terdekat.
Demikian cerita teman teman yang berhasil ikut menyelamatkan korban penyerbuan liar dan tidak bertanggung jawab. Peristiwa Kudatuli tentu menimbulkan luka fisik dan non fisik bagi para korban dan keluarganya.Trauma lahir batin ini akan membekas sepanjang hidupnya, apalagi para pelakunya masih menghirup udara bebas tanpa menerima hukuman yang setimpal dengan perbuatannya sampai hari ini.
Meskipun banyak orang kecewa dan mengajukan pertanyaan kepada mbak Mega mengapa tidak mampu menyelesaikan masalah Kudatuli tersebut saat beliau menjabat Presiden.ke lima?Sebagai seorang negarawan yang humanis dan anti kekerasan, beliau harus bijak dalam bertindak mengingat yang diutamakan adalah stabilitas Nasional diatas segala galanya. Saya percaya beliau pasti menangis dan sangat sedih atas peristiwa yang memakan banyak korban kader partainya dan rakyat biasa
Itulah pengorbanan yang sangat menyakitkan.
Bersama dengan kader kadernya beliau yakin dan percaya sepenuhnya, bahwa pada suatu saat kebenaran akan menjadi pemenangnya : SATYAM EVA JAYATE
Kutipan wewarah.yang diwariskan oleh filosof dan budayawan sejati, RM Sosrokartono akan mengakhiri tulisan ini sebagai berikut :
” Pring padha pring, eling padha eling, eling dhirine, eling pepadhane, eling patine, eling Gustine,
Pring iku dheling, tegese kandhel lan eling
Pring padha pring,
Pring iku suket, dhuwur tur Jejeg ”
Semarang, 6 Agustus 2025 ,Menyongsong ulang tahun Kemerdekaan RI ke 80 tahun