Oleh: Seorang Warga yang Masih Punya Nurani
_Hutami Laksmi Dewi_
Mudanews.com OPINI – Kemarin, saya mengantar adik saya ke rumah Pak Jokowi. Kami bertetangga. Tidak ada protokoler. Tidak ada media. Hanya kunjungan biasa dari rakyat kecil kepada seorang presiden yang, sejak awal, hidupnya memang tidak jauh dari rakyat.
Tapi yang saya lihat di hari itu, bukan sosok Jokowi yang seperti biasa: berdiri tegak, tersenyum, menyapa siapa saja dengan tangan terbuka. Tidak. Kali ini berbeda.
Saya melihat sendiri… tangannya bengkak, merah, dan ia tidak mau bersalaman. Kami yang mengenalnya tahu: ini bukan Jokowi yang mudah mengeluh. Kalau ia menahan diri tak menyentuh tangan orang lain, berarti memang ia benar-benar merasa tak enak badan. Bahkan trenyuh rasanya hati ini melihat raut wajah beliau. Seolah beban tak hanya ada di pundaknya—tapi juga sudah mengalir ke seluruh tubuhnya.
Dan saya—dokter, sekaligus tetangga—tak kuasa menahan air mata. Bukan karena saya pendukung politik. Bukan. Tapi karena saya tahu bagaimana rasanya melihat manusia yang sabar, tenang, dan tulus itu, dihujat terus-menerus oleh orang-orang yang bahkan tidak mengenalnya.
Orang-orang yang tak pernah melihat bagaimana ia diam-diam menjenguk tetangga yang sakit. Orang-orang yang tak pernah tahu bagaimana ia menyapa pedagang kecil tanpa kamera, atau bagaimana ia tetap senyum meski diludahi oleh kata-kata keji yang viral di media sosial.
Jokowi bukan malaikat. Saya pun tidak. Tapi ia bukan iblis seperti yang digambarkan sebagian pihak. Ia bukan sempurna, tapi ia mencintai negeri ini lebih dari banyak orang yang hanya tahu berkoar-koar soal nasionalisme dari balik layar gadget.
Ia tidak menuntut pujian. Tidak pernah bermain drama air mata. Tapi siapa pun yang pernah berada dekat dengannya tahu: Jokowi bukanlah aktor. Ia hanya manusia biasa yang sedang bekerja terlalu keras dan terlalu lama dalam sunyi.
Kini, ketika tangannya tak lagi kuat menjabat, dan tubuhnya tampak mulai menua oleh waktu dan beban, akankah kita masih tega menghujatnya tanpa jeda?
Saya bukan siapa-siapa. Tapi saya ingin menulis ini agar bangsa ini tidak lupa: jangan hancurkan seseorang hanya karena ia berbeda pilihan politik. Jangan korbankan rasa kemanusiaan demi kebencian kolektif yang dibangun dari hoaks, fitnah, dan ilusi kebesaran yang semu.
Kita ini manusia. Pemimpin kita pun manusia.
Jokowi mungkin bukan presiden ideal menurut semua orang. Tapi ia telah memberi segalanya. Bahkan sampai tubuhnya pun mulai tampak rapuh, ia masih berdiri di barisan paling depan, tanpa meminta belas kasihan siapa pun.
Saya hanya berharap, semoga kita tidak kehilangan rasa malu karena terlalu mudah membenci. Semoga kita tidak kehilangan rasa hormat karena terlalu mudah mencaci.
Dan semoga… kita bisa belajar untuk melihat pemimpin sebagai manusia, bukan hanya sebagai objek kritik dan kebencian politik.
Karena kalau bangsa ini kehilangan rasa kemanusiaan—apa yang tersisa dari kemerdekaan kita, selain bendera dan upacara?