Amnesti, Abolisi yang Timpang? Kecerdikan Menuju Rekonsiliasi

Breaking News
- Advertisement -

Oleh : _Oleh: Agusto Sulistio._

Mudanews,com – Di tengah masa transisi kekuasaan saat bayang-bayang pemerintahan lama belum sepenuhnya surut dan pemerintahan baru belum sepenuhnya berdiri. Presiden terpilih Prabowo Subianto mengambil langkah politik yang mengundang sorotan. Ia memberikan abolisi kepada Thomas Lembong, serta amnesti kepada 1.116 orang, termasuk Hasto Kristiyanto. Menariknya, hanya dua nama ini yang diberitakan secara terbuka, sementara sisanya belum jelas siapa mereka, dari kelompok mana, dan terlibat dalam perkara apa?

Langkah ini diumumkan Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, dengan alasan menjaga kondusivitas nasional dan membangun kerja sama antar elemen bangsa. Alasan ini tampak damai dan normatif. Konstitusi memang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk memberikan amnesti dan abolisi dengan persetujuan DPR, khususnya bila menyangkut kepentingan negara. Namun, publik tidak berhenti di permukaan legalitas itu. Mereka bertanya lebih dalam, mengapa hanya tokoh-tokoh tertentu yang diberi pengampunan? Dan mengapa mereka semua berasal dari kalangan elite, baik dari lingkar kekuasaan maupun oposisi?

Thomas Lembong adalah tokoh ekonomi, bankir, mantan menteri perdagangan di era Presiden Jokowi, dan dikenal mendukung Anies Baswedan, rival Prabowo dalam Pilpres 2024. Sementara Hasto Kristiyanto adalah Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, partai pemenang pemilu legislatif yang hingga kini belum menyatakan dukungan terhadap pemerintahan Prabowo. Keduanya punya posisi tawar politik, namun apakah cukup untuk disebut sebagai penentu stabilitas nasional?

Jika ukurannya adalah pengaruh terhadap keamanan negara dan sosial, publik wajar meragukan dasar pengampunan ini. Mereka bukan tokoh pergerakan massa, bukan pemimpin ormas keagamaan besar, bukan simbol perlawanan rakyat kecil atas ketidakadilan hukum. Mereka adalah bagian dari elite, elite kekuasaan maupun elite oposisi. Maka muncul pertanyaan, stabilitas untuk siapa? Dan rekonsiliasi yang ditujukan kepada siapa?

Sementara itu, masih banyak nama lain yang bertahun-tahun menghadapi kriminalisasi hukum yang bermasalah dan belum sepenuhnya tersentuh keadilan. Di antaranya adalah ulama dan tokoh keagamaan seperti Habib Rizieq Shihab, Ustaz Abu Bakar Ba’asyir, Munarman, Shobri Lubis; kasus pembunuhan enam anggota Laskar FPI di KM 50; serta tokoh-tokoh sipil seperti Edi Mulyadi, Eggi Sudjana, Roy Suryo, dr. Tifa, Rizal Fadhilah, hingga Bambang Tri, seorang warga biasa yang berani menggugat otoritas Presiden ke-7 dan akhirnya dijatuhi hukuman. Aktivis, Mahasiswa, masyarakat korban kriminalisasi atas hak menyampaikan pendapat, dll. Apakah karena mereka tidak memiliki posisi tawar politik, maka keadilan tidak berpihak pada mereka?

Jika yang dibangun benar-benar adalah rekonsiliasi nasional, maka Presiden tidak boleh berhenti pada elite. Justru ia harus mulai dari mereka yang paling sering menjadi korban ketimpangan hukum. Sebab, keadilan sejati bukan soal siapa yang dekat dengan kekuasaan, melainkan siapa yang paling butuh perlindungan dari kekuasaan itu sendiri.

Rekonsiliasi Elitis yang Gagal

Sejarah memberi kita pelajaran penting dari Afrika Selatan. Pasca berakhirnya rezim apartheid, negara itu membentuk Truth and Reconciliation Commission (TRC) pada 1995. Komisi ini memberi amnesti kepada pelaku pelanggaran HAM berat selama era apartheid, asalkan mereka mengaku secara terbuka. Awalnya, langkah ini dianggap bijak untuk mencegah konflik berkelanjutan dan membuka lembaran baru secara damai.

Namun dalam prakteknya, TRC justru banyak dikritik karena memberikan pengampunan tanpa keadilan yang setara bagi korban. Pelaku pembunuhan, penyiksaan, dan represi dilepaskan tanpa sanksi serius. Para korban dan keluarganya merasa dikhianati. Banyak luka sejarah yang dibiarkan menganga, dan rasa keadilan tidak pernah benar-benar hadir. Hingga kini, ketimpangan rasial dan ekonomi yang merupakan warisan apartheid masih dirasakan tajam di masyarakat Afrika Selatan.

Kegagalan ini menjadi cermin bahwa rekonsiliasi yang dibangun tanpa keadilan substantif hanyalah peredam sementara, bukan penyelesaian. Ia menciptakan perdamaian semu yang rapuh, dan memperbesar jurang ketidakpercayaan terhadap institusi negara.

Apa yang terjadi di Afrika Selatan mestinya jadi pengingat. Indonesia tidak boleh terjebak pada logika stabilitas semu yang dibangun di atas kompromi elite semata. Jika amnesti dan abolisi hanya diberikan kepada mereka yang punya nama dan kuasa, maka rakyat akan membaca bahwa hukum tunduk pada politik, bukan pada kebenaran.

Presiden Prabowo punya kesempatan menulis sejarah baru. Tapi bukan dengan mengulang praktek politik lama yang elitis. Yang dibutuhkan saat ini adalah langkah Kancil yang Cerdik dengan keberanian moral dan visi hukum yang adil. Salah satu opsi konkret adalah membentuk *Komisi Keadilan Nasional*, lembaga independen yang berfungsi menelusuri, mengungkap, dan menyelesaikan kasus-kasus hukum dan HAM yang tidak pernah tuntas. Termasuk membuka kembali kasus-kasus besar yang selama ini dibekukan demi kepentingan politik jangka pendek dalam kerangka reformasi hukum.

Komisi ini harus melibatkan tokoh agama, akademisi, masyarakat sipil, korban ketidakadilan, hingga keluarga mereka. Keadilan harus dibangun dari bawah, bukan hanya disepakati di atas meja elite. Hanya dengan pendekatan seperti itu, pengampunan negara tidak lagi dipandang sebagai privilese politik, tetapi sebagai bagian dari rekonsiliasi keadilan yang sejati.

Dengan begitu, kasus Thomas Lembong dan Hasto Kristiyanto tak akan menjadi simbol ketimpangan, melainkan titik tolak koreksi sistemik. Rakyat akan percaya bahwa negara memang berpihak, bukan hanya kepada yang kuat, tetapi terutama kepada yang terpinggirkan.

 

Kalibata, Jakarta Selatan, Senin.4 Agustus 2025, 9:27 Wib.

Berita Terkini