Anton Christanto
Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali
“Antara Masa Lalu dan Masa Depan: Hasil Kongres PDIP dan Pertarungan Generasi 2029”
Mudanews.com OPINI Kongres VI PDI Perjuangan yang baru saja digelar bukan sekadar ajang konsolidasi partai, melainkan juga panggung drama politik tentang masa lalu yang enggan pergi, dan masa depan yang masih menunggu pintu dibuka. Di tengah euforia seremonial dan semangat kemerdekaan bulan Agustus, keputusan-keputusan strategis Megawati Soekarnoputri kembali menjadi sorotan utama publik nasional.
Megawati Kembali Sebagai Ketua Umum: Titik Stagnasi atau Konsistensi Ideologi?
Keputusan Megawati untuk kembali menjabat sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan untuk kesekian kalinya seolah menjadi deja vu bagi publik. Di usia yang sudah tak lagi muda, Megawati tetap menegaskan bahwa “ideologi tak bisa diwariskan secara instan”. Ia masih merasa perlu hadir sebagai penuntun. Namun keputusan ini sekaligus memperlihatkan kegagalan partai dalam menciptakan regenerasi kepemimpinan yang nyata dan konsisten.
Kritik mulai berdatangan, baik dari internal maupun eksternal. Banyak yang menilai keputusan ini bukan bentuk kekuatan, melainkan cermin ketidakpercayaan Megawati pada kader-kader muda partai. Dalam era ketika partai-partai lain mulai meremajakan barisan (seperti Demokrat dengan AHY atau PKB dengan Muhaimin), PDIP justru tampak seperti “museum ideologi” yang belum siap melepaskan masa lalu.
Hasto Dirangkap Sekjen dan Ketua Harian: Menuju Pewarisan atau Mandek di Tengah Jalan?
Satu hal yang cukup mencolok adalah rencana Megawati untuk menjadikan Hasto Kristiyanto tidak hanya sebagai Sekretaris Jenderal, tetapi juga sebagai Ketua Harian (jabatan yang setara Wakil Ketua Umum). Namun keputusan ini belum bisa difinalisasi, kabarnya karena pertimbangan teknis dan resistensi dari beberapa elemen internal.
Hasto adalah sosok yang dikenal sebagai loyalis garis keras Megawati. Namun ia bukan figur yang populer di akar rumput atau di luar lingkaran elite partai. Bahkan, dalam kekalahan PDIP di Pilpres dan Pilkada 2024, nama Hasto kerap disebut sebagai bagian dari kegagalan komunikasi politik partai. Apalagi, manuver-manuvernya dinilai terlalu teknokratis dan elitis untuk ukuran partai wong cilik.
Kepengurusan Tak Banyak Berubah: Stagnasi di Tengah Revolusi Generasi
Salah satu hal yang mengundang tanda tanya besar adalah susunan kepengurusan yang diumumkan. Minim wajah baru, minim kejutan. Mereka yang selama ini berada di lingkaran elite tetap bertahan, seolah partai tidak punya cukup stok kader segar. Bahkan mereka yang bersinar di lapangan, seperti kepala daerah berprestasi, tidak mendapat tempat strategis dalam struktur.
Ini bisa jadi pertaruhan besar. Di satu sisi, stabilitas internal terjaga. Tapi di sisi lain, PDIP semakin jauh dari denyut generasi muda yang sudah bosan dengan wajah-wajah lama dan retorika kosong.
Menuju 2029: Era Baru dengan Pemain Lama dan Baru
Lima tahun ke depan akan menjadi panggung penuh tarung bintang bagi sejumlah nama yang kini mulai memantapkan posisi:
Puan Maharani, meski gagal bersinar di 2024, tetap akan menjadi tokoh kunci di internal PDIP. Dengan restu penuh dari sang ibu, Puan kemungkinan besar akan kembali disiapkan untuk 2029. Tapi publik tetap menuntut lebih dari sekadar trah Sukarno.
Ganjar Pranowo, masih memiliki basis elektoral kuat dan simpati publik. Namun posisinya di PDIP cenderung mengambang pasca-pilpres, terutama setelah ia tidak diberi ruang dalam struktur strategis partai. Bisa jadi akan hijrah atau membangun poros alternatif.
Gibran Rakabuming, wakil presiden terpilih, mewakili wajah muda, pragmatis, dan populis. Meski bukan kader PDIP lagi, pengaruh Gibran di wilayah Jawa dan kalangan muda akan sangat dominan di 2029. Kemungkinan besar akan jadi rival berat Puan, bahkan mungkin PDIP itu sendiri.
Anies Baswedan, meskipun kalah, tetap menjadi magnet politik bagi kalangan kelas menengah perkotaan dan kelompok yang kritis terhadap status quo. Jika konsisten membangun jaringan dan narasi kebangsaan progresif, ia bisa menjadi kuda hitam.
Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dengan posisinya di kabinet dan pengaruh di Demokrat, tengah memoles diri sebagai pemimpin muda nasional. Jika mampu menjembatani antara narasi milenial dan stabilitas, AHY bisa menjadi penentu arah koalisi 2029.
PDIP Menuju Persimpangan Sejarah
Jika PDIP tak segera berbenah, maka Kongres VI ini bisa tercatat sebagai awal kemunduran partai terbesar di Indonesia. Publik mulai jenuh dengan narasi “Sukarnoisme” yang tak ditransformasikan secara relevan dengan realitas masa kini. Rakyat ingin keadilan ekonomi, etika hukum, dan pemimpin yang mengerti bahasa zaman.
Partai bisa tetap besar karena sejarah, tapi hanya bisa menang jika mampu membaca masa depan. Dan masa depan, tidak menunggu siapa pun. Jika PDIP tetap terjebak dalam nostalgia dan loyalitas buta, maka 2029 bisa menjadi tahun tenggelamnya banteng.
Kesimpulan:
Kongres VI PDIP menunjukkan stabilitas struktural, tetapi juga memperlihatkan stagnasi ideologis dan regenerasi yang macet. Keputusan Megawati untuk tetap bertahan dan memberi ruang terbatas bagi pembaruan adalah pertaruhan besar. Di tengah semangat kemerdekaan, rakyat menuntut pembebasan dari oligarki politik, bukan pelestarian dinasti.
2029 akan menjadi pertarungan generasi. Dan hanya partai yang mau berubah, yang akan bertahan.