Abolisi, Amnesti, Antara Presiden, Yusril, dan Kecerdikan Kancil

Breaking News
- Advertisement -

 

_Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosial, Mantan Kepala Aksi dan Advokasi PIJAR era tahun 1990an._

Mudanews.com OPINI – Keputusan Presiden terpilih Prabowo Subianto memberikan pengampunan dalam bentuk amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi terhadap Thomas Lembong menjadi manuver politik dan hukum yang mengkagetkan publik. Kejutan ini hadir bukan hanya karena nama-nama yang terlibat, tetapi juga karena waktu dan konteksnya, sebuah masa peralihan kekuasaan yang belum sepenuhnya mapan, di tengah masyarakat yang lelah dan penuh curiga pada wajah hukum yang kerap kali berubah-ubah.

Publik bertanya-tanya, apakah ini koreksi sejarah terhadap kriminalisasi politik di era Jokowi? Ataukah ini langkah politik penuh perhitungan dalam peta kekuasaan elite nasional?

Di balik itu, muncul juga suara-suara yang menyebut bahwa apa yang dilakukan Presiden Prabowo bukanlah tindakan hukum, melainkan sepenuhnya tindakan politik.

Muncul satu pernyataan menarik, “Abolisi, amnesti, grasi, dan rehabilitasi bukan mekanisme hukum. Itu murni mekanisme politik. Maka tidak akan pernah ketemu bila dianalisis dengan pendekatan hukum.”

Pernyataan itu tidak sepenuhnya salah. Memang benar, keempat instrumen tersebut lahir dari hak prerogatif seorang presiden. Namun, hak prerogatif itu bukanlah kuasa absolut. Ia dibingkai oleh konstitusi, diatur dalam hukum positif, dan dijalankan dalam sistem negara hukum yang setidaknya secara normatif menjunjung prinsip keadilan. Amnesti dan abolisi, misalnya, mensyaratkan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Grasi memerlukan masukan dari Mahkamah Agung. Rehabilitasi memiliki dasar pengembalian hak seseorang yang dirugikan oleh proses hukum. Semua ini memiliki landasan hukum yang sah, meskipun memang diaktifkan oleh pertimbangan politis seorang kepala negara.

Jadi, keempatnya bukanlah semata-mata ekspresi kekuasaan politik yang lepas dari kerangka hukum, melainkan jembatan antara realitas politik dan hukum dalam negara demokrasi. Persis di titik inilah kita harus mencermati motif dan arah dari keputusan Prabowo tersebut.

Apakah Prabowo sedang menyelamatkan dua tokoh yang sebenarnya menjadi korban kriminalisasi politik di masa lalu? Ataukah ia sedang memainkan skenario besar dalam peta kekuasaan yang berubah? Jika memang kedua tokoh itu tidak bersalah, maka tentu ada yang harus dipertanyakan dari proses hukum yang menjatuhkan vonis atau menyeret mereka ke dalam jerat hukum. Apakah hakim-hakim kita selama ini sungguh-sungguh independen, atau justru sekadar operator pesanan dari kekuatan politik yang berkuasa? Dan yang lebih penting, apakah turunnya abolisi dan amnesti ini akan membuat para hakim di republik ini kembali ke rel independensi, atau justru membuka jalan bagi semakin suburnya praktek mafia peradilan yang selama ini dibisikkan rakyat kecil?

Langkah Prabowo yang juga menaikkan gaji para hakim bisa dibaca sebagai isyarat perubahan. Namun sejarah kita terlalu akrab dengan upaya perbaikan yang hanya sampai pada simbol dan gaji, tapi lupa menyentuh akar masalah budaya impunitas, ketundukan lembaga hukum pada kekuasaan, dan absennya perlindungan pada warga biasa yang menjadi korban sistem. Bila pengampunan ini tidak dibarengi dengan reformasi menyeluruh di tubuh kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan lembaga antikorupsi seperti KPK, maka akan benarlah anggapan sebagian publik bahwa ini hanyalah satu babak dari permainan lama, pertukaran kekuasaan melalui sandiwara keadilan.

Masyarakat telah sangat lelah menyaksikan bagaimana hukum bisa dijual-beli, bagaimana vonis bisa dinegosiasi, dan bagaimana jaksa serta penyidik bisa menjadi algojo sekaligus makelar. Dalam suasana batin seperti ini, pengampunan terhadap tokoh-tokoh tertentu akan selalu menimbulkan kecurigaan. Apalagi jika mereka yang diberi pengampunan berasal dari lingkar elite politik yang sedang bernegosiasi atau membangun poros baru. Maka, meskipun secara konstitusional langkah Prabowo sah, secara moral dan politik ia tetap berada dalam ujian publik.

Di sinilah muncul satu pertanyaan jenaka, “Apakah Prabowo terjebak dalam permainan Kancil?” Sebuah kiasan tentang kelicikan politik, tentang jebakan manuver yang tampaknya cerdas, namun pada akhirnya membuat pemimpinnya justru kehilangan arah.

Jika langkah amnesti dan abolisi ini hanya menjadi awal dari koreografi politik untuk melepaskan diri dari bayang-bayang Jokowi, maka ia tidak lebih dari sebuah gerak simbolik yang penuh bunyi, tapi hampa makna. Namun jika langkah ini benar-benar menjadi batu loncatan menuju reformasi hukum yang menyeluruh, menuju pemulihan kepercayaan rakyat terhadap keadilan, maka publik akan mencatatnya sebagai keberanian. Keberanian untuk membalik arah sejarah hukum Indonesia yang selama ini lebih sering menyandera rakyat ketimbang melindungi mereka.

Kini, semuanya tergantung pada langkah selanjutnya. Apakah akan ada perombakan di institusi-institusi penegak hukum? Apakah akan dibuka kembali kasus-kasus besar yang dibekukan selama satu dekade terakhir? Apakah Prabowo akan menunjukkan bahwa hukum tak bisa lagi dipakai sebagai alat kekuasaan, melainkan sebagai fondasi bagi negara yang adil?

Jika tidak, maka benarlah anggapan bahwa apa yang kita saksikan hanyalah versi terbaru dari drama lama. Hanya aktor-aktornya yang berganti, namun panggung dan skenarionya tetap sama. Dan hukum, seperti biasa, tetap menjadi properti yang bisa digeser ke kiri dan ke kanan, tergantung siapa yang duduk di kursi tertinggi.

Dan di sanalah, permainan kancil menemukan panggungnya yang paling sempurna.

*Antara Lembong, Hasto dan Status Hukum*

Jika benar bahwa Hasto Kristiyanto dan Thomas Lembong adalah korban kriminalisasi, maka masalah kita jauh lebih serius dari sekadar pengampunan presiden. Itu berarti ada kegagalan mendasar dalam fungsi peradilan. Sebab, kalau dua tokoh publik bisa dikriminalkan dan bahkan dijatuhi hukuman oleh pengadilan, maka siapa yang masih bisa percaya pada independensi hakim?

Pertanyaannya sederhana, apakah para hakim yang menangani perkara mereka benar-benar bebas dari intervensi? Atau justru hanya menjalankan perintah dari kekuasaan yang lebih tinggi, sebuah pesanan yang dikemas dalam jubah hukum?

Munculnya amnesti dan abolisi dari Presiden Prabowo terhadap dua figur yang dikenal dekat dengan kelompok oposisi dan reformis ini menimbulkan tafsir ganda. Di satu sisi, bisa dibaca sebagai langkah korektif terhadap ketidakadilan masa lalu, sebagai isyarat bahwa negara hendak memulihkan marwah hukum yang tercabik selama satu dekade terakhir.

Namun di sisi lain, ini juga menimbulkan kecemasan, apakah hukum kini hanya menjadi semacam permainan tarik-ulur di antara elite kekuasaan?

Langkah Presiden Prabowo yang juga disertai dengan kebijakan menaikkan gaji para hakim seolah memperkuat pesan bahwa ia serius membenahi sektor kehakiman.

Namun publik bukan hanya menunggu simbol atau kenaikan angka di slip gaji. Yang lebih ditunggu adalah apakah hakim-hakim Indonesia ke depan akan benar-benar berani memutus perkara tanpa takut, tanpa diperintah, dan tanpa “disiapkan skenario” dari belakang layar?

Karena jika amnesti dan abolisi hanya berfungsi sebagai koreksi politis terhadap satu atau dua kasus elite, tanpa disertai agenda besar pembenahan hukum secara struktural, maka ini justru berbahaya. Ia menjadi pembenaran diam-diam bahwa peradilan memang bisa dipesan, bisa diarahkan, dan bisa disalurkan sesuai arah angin politik. Apalagi pasca pemberian abolisi dan amnesti itu muncul pertanyaan tak resmi dari berbagai cendikiawan muslim yang mempertanyakan soal keadilan hukum atas kasus kriminalisasi ulama yang terjadi pada Habib Rizieq Shihab, Ustadz Ba’azir, Munarman, Tragedi KM 50, dll. Yang mana keadilan hukum belum menyentuh pada kelompok ini, juga para aktivis yang terkriminalisasi pasca RUU Omnibuslaw beberapa tahun silam.

Di titik itu, pengampunan presiden yang terfokus pada level elit dapat dianggap belum dapat memperbaiki sistem, justru menegaskan bahwa sistemnya memang bisa diatur.

Lebih dari satu dekade, publik menyaksikan lembaga penegak hukum, polisi, jaksa, hakim, bahkan KPK, bertransformasi dari alat keadilan menjadi alat kekuasaan. Akumulasi dari semua itu adalah hilangnya kepercayaan. Dan kepercayaan yang hilang tidak akan pulih hanya dengan perintah presiden, melainkan dengan langkah nyata yang menyentuh struktur, budaya, dan orientasi lembaga-lembaga tersebut.

Karena itu, yang dibutuhkan hari ini bukan hanya “gesture politik” melainkan reformasi hukum yang menyeluruh dan menyentuh akar persoalan.

Presiden Prabowo, wabil khusus Prof. Yusril Ihza Mahendra, selaku Menko Hukum dan Ham harus menjawab harapan ini jika ingin keputusannya atas Hasto dan Tom Lembong tidak hanya dilihat sebagai transaksi politik atau “smash” simbolik kepada Jokowi, tetapi sebagai fondasi untuk membangun kembali integritas hukum di republik ini.

Jika tidak, maka publik akan membaca semua ini hanya sebagai bagian dari drama politik petak-umpet. Di satu sisi tampak ada koreksi terhadap masa lalu, namun di sisi lain justru terjadi konsolidasi ulang kekuasaan dengan gaya lama, kekuasaan mengatur hukum, elite saling memaafkan, dan rakyat kembali jadi penonton dari pinggiran.

Lebih tepat lagi, Yusril Ihza Mahendra dan orang dekat di lingkaran Prabowo sudah dapat membaca arah dari kebijakan amnesti dan abolisi ini, sehingga segala pertanyaan dapat di antisiasi sebelumnya yang berorientasi pada perbaikan hukum yang murni dan substansial. Namun fakta dilapangan berbeda, karenanya Presiden layak mengevaluasi komitmen dan kemampuan bawahannya dan orang-orang kepercayaannya terkait ini demi kelangsungan visi misi Presiden Pemerintahan.

Atas fakta itu, maka sangat wajar jika muncul kegelisahan, apakah setelah pengampunan ini para hakim akan lebih independen, atau justru semakin merasa bahwa putusan mereka bisa didekonstruksi kapan saja oleh kekuasaan politik? Apakah ini akan menyemangati reformasi di kejaksaan, kepolisian, dan KPK? Atau sebaliknya, justru membuat praktik mafia hukum makin nyaman karena tahu bahwa hukum hanyalah alat tawar-menawar kekuasaan?

Hukum tak akan pulih dengan amnesti semata. Ia hanya akan pulih jika politik bersedia mundur dari ruang-ruang yang seharusnya hanya ditempati oleh keadilan.

Jika tidak, maka benarlah anggapan bahwa amnesti dan abolisi kemarin hanyalah sebuah sandiwara dalam babak baru politik transaksional. Bahwa bukan keadilan yang menang, melainkan skenario kekuasaan yang terus berganti lakon dengan hukum sebagai panggungnya, dan rakyat sebagai penonton setianya.

Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu, 3 Agustus 2024, 12:45 Wib.

Berita Terkini