Oleh : Anton Christanto
Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali
Mudanews.com OPINI – Sebuah Refleksi Kemerdekaan dari Suara yang Sunyi
Bulan Agustus seharusnya menjadi bulan penuh makna. Saat Merah Putih berkibar gagah di langit nusantara, saat lagu kebangsaan dinyanyikan dengan haru, saat anak-anak sekolah berbaris, dan rakyat menghentikan sejenak rutinitasnya untuk mengenang satu kata sakral: Merdeka.
Namun tahun ini, di antara lautan bendera Merah Putih, terselip satu bendera lain yang tak biasa. Tengkorak tersenyum, mengenakan topi jerami, di atas latar hitam: bendera Jolly Roger, milik kru bajak laut dalam dunia fiksi anime One Piece. Muncul di tiang-tiang jalan, mural dinding, bahkan dalam aksi-aksi diam para pemuda. Awalnya terlihat sebagai bentuk kekonyolan, namun diam-diam menyimpan jeritan.
Apa makna bendera bajak laut di tengah bulan kemerdekaan? Apakah itu penghinaan? Ataukah sebuah pesan yang belum dibaca dengan jernih?
Mari kita perhatikan lebih dalam. Bagi para penggemar One Piece, Jolly Roger bukan lambang kriminalitas, tapi simbol kebebasan, kesetiaan, perlawanan terhadap sistem yang korup, dan semangat berlayar melintasi batas untuk mencari arti keadilan. Dalam dunia fiksinya, para bajak laut adalah pahlawan rakyat, meski dimusuhi oleh “pemerintahan dunia”.
Dan kini, ketika bendera itu berkibar di dunia nyata, ia membawa pesan yang nyata pula. Bukan dari bajak laut sungguhan, tapi dari generasi muda yang merasa ditinggalkan oleh negaranya sendiri. Mereka tidak sedang bercanda. Mereka sedang bersuara.
Bendera bajak laut itu adalah alarm. Isyarat bahwa sebagian rakyat, terutama kaum muda, merasa tak lagi memiliki ruang dalam kapal besar bernama Indonesia.
Mereka mencintai negeri ini, tapi merasa cintanya tak terbalas. Mereka mengikuti upacara, membaca sejarah, menonton pidato kemerdekaan—tapi kenyataan hidup mereka tak berubah. Pendidikan mahal, pekerjaan langka, hukum tajam ke bawah tumpul ke atas, dan politik hanya panggung para elite yang sibuk mewariskan kursi dan membungkam kritik.
Dalam situasi seperti itu, anak muda tak lari ke narkoba atau kekerasan. Mereka memilih cara yang damai, tapi pedih: mengibarkan bendera fiksi, karena simbol negara terasa kehilangan makna. Merah Putih tetap sakral, tapi para penjaganya dianggap telah mencorengnya dengan ketidakadilan dan kerakusan kuasa.
Jangan buru-buru mempidanakan. Dengarkan dulu. Karena kadang, suara paling jujur datang dari mereka yang tak lagi percaya bicara.
Jolly Roger di bulan Agustus adalah teguran. Bukan pemberontakan. Bukan pengganti cinta tanah air. Tapi semacam pesan rahasia: “Kami masih ingin mencintai negeri ini, tapi tolong, beri kami alasan untuk tetap percaya.”
Apa arti kemerdekaan bila tak ada keadilan? Apa guna merayakan proklamasi jika tak ada yang mendengar rakyat biasa berteriak? Apa arti “Indonesia Raya” jika yang agung hanya mereka yang punya jabatan?
Di titik ini, mari kita akui: Merdeka belum selesai.
Kemerdekaan bukan hanya pengusiran penjajah asing, tapi pembebasan dari penjajahan batin: dari kebodohan yang disengaja, dari kemiskinan yang diwariskan, dari ketidakadilan yang dilembagakan.
Dan untuk itulah kita harus lebih mencintai negeri ini. Bukan dengan membela simbol semata, tapi menjaga makna di baliknya. Membela Merah Putih bukan hanya soal mengibarkan, tapi memastikan bahwa warnanya tak ternoda oleh ketidakpedulian pemimpinnya sendiri.
Kepada para pemimpin: Jolly Roger bukan ancaman, tapi cermin. Bila anak muda merasa dunia anime lebih adil daripada dunia nyata, maka sudah waktunya bertanya: siapa yang sebenarnya telah gagal menciptakan negeri yang layak dicintai?
Dan kepada rakyat: cinta tanah air tidak harus buta. Justru karena kita mencintai negeri ini, maka kita harus berani berkata jujur, berani mengkritik, dan berani berharap lebih.
Indonesia bukan milik partai. Bukan milik istana. Bukan milik segelintir keluarga. Indonesia adalah milik kita semua, yang masih mau bermimpi, meski kadang dikecewakan.
Jika bendera bajak laut itu muncul di bulan kemerdekaan, jangan buru-buru menghapusnya. Lihat dulu ke dalam hati bangsa ini. Mungkin, itu bukan pemberontakan, tapi teriakan cinta yang kesepian.
> “MERDEKA ATAU TENGGELAM” bukan sekadar slogan. Ia adalah pilihan. Dan hanya bangsa yang mau mendengar rakyatnya, yang akan tetap mengapung di tengah gelombang zaman.”