Oleh: Anton Christanto
Pengamat Sosial Politik dan Pemerhati Strategi Kekuasaan di Boyolali
Mudanews.com OPINI – Hari ini seluruh mata tertuju ke Bali. Ribuan kader PDI Perjuangan berkumpul dengan dalih “bimbingan teknis”, namun semua paham: ini bukan sekadar pelatihan teknis partai, tapi semacam retret politik yang bisa menjadi titik tolak arah masa depan partai banteng moncong putih. Apakah akan tetap menjadi penjaga gerbang demokrasi melalui oposisi yang keras? Atau akan memilih masuk dalam orbit koalisi, dengan syarat-syarat tertentu yang hanya bisa dinegosiasikan oleh seseorang sekelas Megawati Soekarnoputri?
Yang mengejutkan bukan hanya pertemuan Bali itu sendiri, tetapi sinkronisasi waktu yang nyaris matematis: di hari yang sama, Presiden terpilih Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP yang tengah dililit kasus hukum terkait obstruction of justice. Tidak hanya itu, bonusnya: abolisi kepada Thomas Lembong, tokoh teknokrat yang berada di lingkaran ekonomi Jokowi.
Ada yang menyebut ini kebetulan. Namun dalam politik Indonesia, tak ada yang sungguh-sungguh kebetulan. Jika waktu adalah mata uang kekuasaan, maka hari ini adalah pembayaran cicilan pertama atas suatu kesepakatan besar.
Prabowo: Pahlawan Kesiangan atau Pembaca Peta yang Lihai?
Banyak yang menyebut Prabowo sebagai “pahlawan kesiangan”—datang di ujung kekuasaan Jokowi, menawarkan diri sebagai jembatan transisi, sambil menenangkan semua pihak bahwa yang akan datang adalah stabilitas, bukan perubahan drastis. Tapi Prabowo tahu satu hal: tanpa PDIP, dia hanya akan punya legitimasi elektoral, bukan kekuatan sosial.
PDIP mungkin tidak sedang di atas angin secara elektoral, tapi punya aset yang tidak dimiliki partai manapun: loyalitas kader, infrastruktur ideologis, dan sejarah politik sebagai partai oposisi yang keras kepala dan tak kompromistis.
Dan Prabowo tahu, jika PDIP benar-benar memilih jalur oposisi, itu akan menjadi mimpi buruk bagi pemerintahannya yang baru seumur jagung.
Megawati: Menghitung Ulang Musuh, Mendekati Ujung Labirin
Banyak yang bertanya: Mengapa Megawati mau memaafkan? Mengapa tidak melawan di saat kepercayaan terhadap Prabowo sedang rapuh?
Jawabannya bukan tentang siapa yang menang hari ini, tapi siapa yang bisa bertahan esok hari.
Megawati bukan sekadar ketua umum partai; ia adalah strategis senyap, pembaca politik dalam ritme panjang. Ia tahu bahwa melawan Prabowo sekarang bukan hanya melawan figur presiden terpilih, tetapi juga menghadapi kekuatan lain yang sudah terbukti memecah, memanipulasi, dan merusak PDIP dari dalam.
Kekuatan itu tidak pernah tampil terang, namun selalu memakai alat hukum, aparat birokrasi, dan pengaruh di media untuk menyudutkan lawan. Dan PDIP pernah—dan sedang—merasakan pedihnya.
Dengan merangkul Prabowo, Megawati mengirim sinyal bahwa ia bukan sedang tunduk, melainkan sedang memagari partainya dari bahaya yang lebih besar.
Hasto: Amnesti sebagai Simbol, Bukan Sekadar Pembebasan
Pembebasan Hasto tidak bisa dibaca sebagai kemurahan hati. Ia adalah simbol dari permulaan transaksi politik baru. Bahwa PDIP tidak akan masuk koalisi tanpa syarat. Dan salah satu syaratnya adalah: menyelamatkan jantung organisasi.
Hasto bukan hanya sekjen. Ia adalah penjaga ideologi Megawati, penerjemah suara DPP di tingkat akar rumput. Mengurung Hasto sama saja dengan mengisolasi jalur komunikasi PDIP. Maka amnesti ini adalah cara Prabowo menyodorkan perdamaian, sebelum PDIP benar-benar masuk ke ruang perang.
Bali: Bimtek atau Konsolidasi Besar?
Apakah pertemuan di Bali adalah bimtek? Mungkin ya. Tapi lebih dari itu, ini adalah sidang tak resmi untuk membaca arah sejarah. Di tengah internal PDIP yang mulai lelah, antara ingin jadi oposisi tapi takut terpecah belah, Megawati memberi satu pelajaran penting:
> “Jangan bertarung dengan dua musuh sekaligus. Satukan satu, hadapi yang lainnya nanti.”
Dan kita tahu siapa “musuh” sebenarnya itu—bukan Prabowo, tapi jejak kekuasaan Jokowi yang belum sepenuhnya mati, dan kemungkinan akan hidup kembali melalui alat-alat negara yang pernah ia kendalikan.
Antara Machiavelli dan Sun Tzu
Megawati sedang memainkan permainan tingkat tinggi. Dia bukan sedang mendukung Prabowo, dia sedang mengatur ulang konstelasi lawan-lawan partainya. Dengan merangkul Prabowo, ia menjaga satu sisi dinding rumah partai agar tidak runtuh, sambil tetap membuka kemungkinan untuk menekan dari dalam jika diperlukan.
> “Dekatlah pada kawanmu, tapi lebih dekatlah pada musuhmu,” kata Sun Tzu.
Dan Megawati, dengan segala diamnya, sedang berbicara paling lantang hari ini.