Anton Christanto
Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali
Mudanews.com OPINI – Di tengah hiruk-pikuk tuduhan ijazah palsu terhadap tokoh nasional, ada sekelompok orang yang diam-diam menjadi saksi hidup dari masa lalu yang kini sedang digugat. Mereka bukan politisi, bukan buzzer, dan bukan ahli hukum—mereka adalah teman-teman seangkatan. Mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) angkatan 1980, yang kini tersisa 67 dari 88 orang yang dulu memulai perjalanan akademik mereka bersama.
Reuni terakhir mereka bukan sekadar ajang nostalgia. Dalam situasi tertentu, pertemuan itu bisa menjadi dokumen hidup yang menangkis fitnah, menjadi bentuk paling kuat dari kesaksian kolektif—bahwa sejarah itu nyata, bahwa memori itu hidup, dan bahwa tuduhan palsu harus dihadapi dengan keberanian dan kebenaran.
Angkatan 1980: Kenangan, Bukan Rekayasa
“Dulu kami kuliah di Ruang III Fakultas Kehutanan UGM. Satu kelas besar untuk semua karena di awal-awal kuliah kami masih mengambil mata kuliah dasar yang sama,” ujar salah satu alumni. Mereka mengenang sosok-sosok dosen yang unik: dari dosen Fisika yang datang naik sepeda ontel tua dengan alat peraga seadanya, sampai dosen Matematika, Drs. Daliyo, yang terkenal karena jumlah mahasiswanya yang tak lulus lebih banyak dari yang lulus.
“Matematika menjadi momok. Ada teman kami yang terpaksa harus mengulang hingga 8 semester hanya untuk bisa lulus mata kuliah itu,” kata seorang lainnya sambil tertawa getir.
Namun tawa itu berubah menjadi kekuatan ketika ada yang mempertanyakan keabsahan gelar sarjana salah satu rekan seangkatan mereka yang kini menjadi tokoh nasional. “Kami siap bersaksi. Kami kuliah bersama dia. Kami tahu perjuangannya. Dan kami punya semua dokumen pendukungnya,” tegas mereka.
Dokumen Tak Pernah Bohong
Masing-masing dari alumni ini masih menyimpan berkas akademik mereka. Mulai dari Surat Janji Mahasiswa UGM bertanggal 28 Juli 1980, bukti registrasi semester pertama tahun ajaran 1980/1981, Kartu Hasil Studi (KHS) semester demi semester, hingga kuitansi pembayaran SPP. “Kalau disusun, satu mahasiswa bisa punya hampir 40 dokumen otentik yang semuanya asli. Lalu bagaimana mungkin ada yang menuduh kami—satu angkatan—bersekongkol dalam pemalsuan ijazah?”
Mereka mengaku tidak marah—setidaknya bukan dalam bentuk kebencian. Tapi mereka merasa terpanggil untuk membela integritas pribadi sekaligus institusi: UGM dan Fakultas Kehutanan, yang namanya ikut diseret dalam pusaran fitnah ini.
Asal Muasal Tuduhan: Logika Politik atau Dendam Kekuasaan?
Pernyataan seorang profesor yang pernah tenar menjadi salah satu pemantik amarah. “Dia bilang, orang yang pakai logika tak mungkin percaya bahwa ijazah itu asli. Karena katanya, semua dokumen di KPU hilang. Tapi dia sendiri tak pernah lihat dokumennya. Itu pernyataan sembrono,” kata seorang alumni.
Pernyataan ini, menurut para alumni, berbahaya bukan hanya karena mencemarkan nama baik, tapi karena menjadi alat propaganda politik yang menyuburkan ketidakpercayaan publik terhadap sistem pendidikan dan hukum di Indonesia.
Dimensi Hukum: Batas Antara Kritik dan Fitnah
Tuduhan palsu terhadap keabsahan ijazah seseorang adalah ranah hukum pidana, bukan sekadar perbedaan pendapat. “Saya sudah empat kali diminta keterangan sebagai saksi,” kata salah satu alumni. “Kami percaya, aparat penegak hukum bekerja profesional. Yang menyebar fitnah pasti akan terbukti melakukan pencemaran nama baik.”
Dalam hukum pidana Indonesia, pasal tentang pencemaran nama baik dan penyebaran informasi palsu memiliki ancaman pidana yang serius. Apalagi jika dilakukan secara sistematis dan dengan motif politik. Di era digital, penyebaran hoaks bukan hanya dosa moral, tapi kejahatan hukum.
Psikologi Kolektif: Kenangan Tak Bisa Dipalsukan
Yang menarik dari investigasi ini bukan hanya fakta hukum atau detail dokumen, tapi bagaimana memori kolektif membentuk keteguhan sikap. Reuni yang mereka gelar—terlepas dari dikaitkan atau tidak dengan polemik nasional—menjadi ruang konsolidasi kebenaran. “Kami tak pernah berencana menjadikan reuni ini sebagai ajang pembelaan. Tapi ketika fitnah datang, kami tak bisa diam.”
Fenomena ini menyiratkan satu pelajaran penting: dalam masyarakat dengan trauma politik masa lalu, kenangan bisa menjadi bentuk perlawanan terhadap propaganda. Tidak semua orang mudah dilupakan. Tidak semua sejarah bisa dihapus hanya karena viralnya sebuah video.
Politik Dalam Bayangan: Siapa Menyulut, Siapa Bermain?
Tidak bisa dipungkiri bahwa tuduhan terhadap ijazah palsu ini muncul bersamaan dengan persaingan elit politik yang kian tajam menjelang suksesi kekuasaan. Ada yang menilai ini sebagai bagian dari perebutan warisan politik, ada pula yang curiga ini sabotase dari dalam koalisi sendiri.
“Kalau kita cermati, ini seperti pertarungan lama yang dipentaskan ulang,” ujar seorang pengamat politik. Ia merujuk pada sejarah konflik elite antara tokoh-tokoh besar yang pernah saling menyingkirkan dalam kasus Hambalang, perebutan partai, hingga saling tunjuk menteri.
Jika benar tuduhan palsu ini dimulai karena motif menjegal karier politik anak tokoh nasional, maka publik patut waspada. Sebab itu berarti bahwa sejarah pribadi dan institusional bisa dijadikan alat tawar politik yang sangat kejam.
Berdasarkan penelusuran dokumen, kesaksian kolektif para alumni, dan rekonstruksi historis yang lengkap, reuni alumni Fakultas Kehutanan UGM angkatan 1980 yang dilaksanakan baru-baru ini adalah asli dan autentik, bukan palsu, bukan settingan, dan bukan rekayasa politik.
Fakta-fakta pendukung yang menguatkan kesimpulan ini antara lain:
1. Keberadaan Dokumen Otentik
Setiap peserta reuni menyimpan dokumen pribadi mulai dari Surat Janji Mahasiswa UGM, Kartu Rencana Studi, KHS, hingga kuitansi pembayaran sejak tahun 1980-an. Jumlahnya bisa mencapai puluhan lembar per orang dan saling menyilang-validasi.
2. Kesaksian Kolektif Konsisten
Lebih dari 60 alumni hadir dalam reuni dan memberikan kesaksian yang konsisten: mereka kuliah bersama, mengenal satu sama lain, dan mengingat peristiwa akademik secara detail. Mustahil hal ini direkayasa setelah lebih dari 40 tahun berlalu.
3. Ciri Emosional dan Psikologis Reuni Asli
Ada ikatan emosional, kenangan personal, humor khas kampus, dan kesan mendalam yang sulit dibuat secara artifisial. Psikologi kolektif mereka menunjukkan keaslian hubungan antarindividu.
4. Tidak Ada Motif Politik di Internal Alumni
Para alumni bukan tim sukses, bukan relawan, dan tidak sedang berkepentingan dalam kontestasi politik. Mereka hadir sebagai teman lama yang merawat ingatan bersama.
5. Tidak Ada Kontradiksi Narasi atau Bukti
Tidak ditemukan satu pun narasi atau bukti dari alumni yang menyatakan reuni tersebut palsu. Bahkan yang tidak hadir pun membenarkan bahwa nama-nama dan cerita-cerita dalam reuni itu sesuai realitas.
Dengan demikian, tuduhan bahwa reuni tersebut palsu, direkayasa, atau merupakan bagian dari pembelaan terhadap ijazah palsu — adalah tuduhan yang tidak berdasar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara fakta maupun etika. Reuni ini bukan hanya sah, tapi juga menjadi bukti hidup terhadap sejarah akademik yang sebenarnya.
Ada atau Tidak Ada Reuni, Kebenaran Akan Bicara
Reuni adalah ruang bernostalgia. Tapi bagi para alumni Kehutanan UGM 1980, reuni juga adalah panggung pembelaan terhadap kebenaran sejarah. Mereka bukan aktivis politik, tapi saksi hidup. Mereka bukan tukang klaim, tapi penyimpan dokumen sah. Mereka bukan pencari panggung, tapi penjaga ingatan kolektif.
Di luar sana, orang bisa saja beropini tanpa dasar. Tapi sejarah tidak bisa digugat dengan asumsi. Dan fitnah takkan bisa berdiri lama di hadapan kesaksian dan dokumen.
Ada atau tidak ada reuni, kebenaran tetap hidup dalam diri mereka yang pernah berjuang bersama di ruang kuliah, di bawah payung UGM, dan di tengah badai zaman.