Oleh : Anton Christanto Pengamat dan Pemerhati Sosial Politik di Boyolali
Mudanews.com OPINI – Negeri ini bukan sedang menuju kemajuan. Ia sedang dikoyak dari dalam. Dihabisi bukan oleh musuh dari luar, melainkan oleh tikus-tikus berdasi yang merampok di siang bolong, dan oleh para penguasa yang diam, bersekongkol, atau bahkan ikut menadah. Dan lebih celakanya lagi, mereka duduk di kursi kekuasaan dengan senyum lebar, menganggap semuanya baik-baik saja, seolah rakyat hanya perlu menonton, berdoa, lalu mati pelan-pelan dalam kemiskinan dan ketidakadilan.
Ketika angka Rp285 triliun disampaikan dalam ruang sidang atau jumpa pers Kejaksaan Agung, itu bukan sekadar hitungan kerugian negara. Itu adalah luka bangsa. Itu adalah darah rakyat. Itu adalah harga susu bayi yang tak bisa dibeli, pendidikan anak-anak yang dikorbankan, infrastruktur desa yang tak pernah dibangun, dan rumah-rumah yang tak punya aliran listrik.
Dan jangan lupa siapa pelakunya. Bukan orang kecil. Bukan tukang parkir. Bukan pencopet pasar. Tapi para direktur utama BUMN, menteri, komisaris, politikus, makelar, bahkan diduga orang-orang yang berada di lingkaran istana. Kasus Jiwasraya, Asabri, BTS 4G Kominfo, impor BBM, manipulasi kompensasi energi, tambang-tambang ilegal, permainan izin ekspor nikel dan CPO—semuanya terjadi dalam satu dekade pemerintahan yang katanya “bersih dan kerja-kerja-kerja”.
Coba kita ingat nama-nama besar seperti:
- Johnny G Plate, mantan Menkominfo, yang dituduh menikmati dana dari proyek BTS yang nilainya mencapai Rp8,03 triliun
- Dirut Pertamina era 2015–2018, yang diduga memainkan angka dalam ekspor-impor minyak mentah dengan potensi kerugian Rp35 triliun.
- Mafia nikel dan batu bara, yang hingga hari ini tidak pernah dijerat serius, padahal mereka menjual kekayaan alam bangsa ke luar negeri dan membagi-bagi uangnya untuk kampanye para calon penguasa Lalu lihatlah pejabat-pejabat lain yang nyaris tak tersentuh. Ada yang terlibat kasus perjudian online, ada yang diam-diam memborong izin tambang di detik-detik terakhir masa jabatan, dan bahkan ada yang terang-terangan ingin mengatur ulang konstitusi demi melanggengkan kekuasaan dinasti.
Dan apa tanggapan para penguasa?
Beberapa malah dengan lancang mengatakan, “Korupsi itu risiko pembangunan,” seperti yang dilontarkan Fadli Zon, seorang politisi yang dulu sering berteriak lantang soal moral politik, kini justru membenarkan praktik haram dengan dalih pragmatisme pembangunan.
> “Mau tidak ada korupsi dan tidak ada pembangunan, atau sedikit korupsi tapi ada pembangunan?” katanya.
Jawabannya: KAMI MAU PEMBANGUNAN TANPA KORUPSI. Titik!
Kami tidak butuh oli pembangunan dari uang haram. Kami tidak ingin sekolah anak kami dibangun dari hasil rampokan. Kami tidak butuh jembatan dari uang hasil suap dan manipulasi tender. Sebab semua itu tidak membangun bangsa—itu mempermalukan bangsa!
Prabowo: Presiden atau Kacung Warisan?
Kini, setelah pemilu gentong babi, kita diberi hadiah: seorang Prabowo yang tampil di podium sebagai Presiden terpilih, namun tanpa wibawa. Teriak “Hidup Jokowi!” di depan publik, bukan sebagai tanda penghormatan, tapi simbol keterjajahan batin. Prabowo adalah presiden yang tahu bahwa kursinya adalah pemberian, bukan hasil pertarungan sejati.
Ia mengasuh putra majikannya sebagai wakil presiden—seorang anak muda yang tidak pernah ikut pilkada, tidak pernah memimpin daerah, dan sekarang digosipkan sebagai pecandu narkoba. Tapi karena ia anak “sang raja”, maka semua bisa diatur. Hukum dibengkokkan, konstitusi dilipat, dan etika dikorbankan.
Menterinya? Berjejer seperti parade kebobrokan moral:
* Satu terlibat kasus pemerasan tambang.
* Satu lainnya diduga terlibat judi online.
* Ada yang ketahuan memalak izin investasi.
* Dan ada juga yang rajin plesiran ke luar negeri, lupa pada rakyat yang lapar.
Ini bukan kabinet kerja. Ini kabinet dagang dan pembagi jatah.
Korupsi adalah Pengkhianatan. Yang Diam Adalah Penghianat Juga.
Kita harus berhenti menyamarkan masalah dengan jargon. Korupsi bukan budaya. Korupsi bukan risiko. Korupsi bukan oli. Korupsi adalah pengkhianatan nasional.
Lebih mematikan dari bom. Lebih merusak dari invasi. Lebih melemahkan dari embargo.
Dan yang paling mengerikan, ia terjadi dengan perlindungan kekuasaan.
Maka, jika Anda masih diam, masih membela, masih mencari-cari alasan untuk para maling itu, maka Anda bagian dari kejahatan itu. Dan sejarah akan mencatat: di saat bangsa ini dilucuti martabatnya, Anda memilih diam.
Kita Butuh Revolusi Moral dan Hukum.
Kami tidak ingin reformasi setengah hati. Kami tidak butuh KPK yang ompong dan tunduk pada oligarki. Kami tidak ingin presiden boneka yang hidup dari sisa nasi istana.
Kami ingin negara yang bisa kami banggakan. Kami ingin keadilan untuk anak-anak kami. Kami ingin kebersihan dalam anggaran, dalam hukum, dalam kepemimpinan.
Jika hari ini bangsa ini harus marah, maka biarlah kami marah sampai terdengar ke dinding istana. Jika hari ini masih ada yang berani berdiri, maka biarlah kami berdiri di barisan paling depan untuk mengatakan: CUKUP!
Korupsi harus diberantas sampai ke akar-akarnya, dan akar itu saat ini tumbuh di dalam gedung-gedung kekuasaan. Jangan beri mereka kesempatan lagi. Jangan biarkan mereka terus meludahi kita dengan senyuman.
Karena bangsa ini masih punya martabat. Dan kami tidak akan membiarkan martabat itu diinjak-injak oleh kacung dan para bandit berbendera.
@Tulisan ini untuk menaggapi pendapat Fadlizon bahwa korupsi ibarat oli dalam pemabangunan