Anton Christanto,Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali
Sebuah Renungan untuk Para Orang Tua
Mudanews.com OPINI – Di ujung malam yang hening, kau duduk lelah di sofa. Pekerjaan hari ini selesai. Tagihan lunas. Rumah rapi. Anak-anak di kamar masing-masing. Lalu kau merasa lega—karena semuanya tampak baik-baik saja.
Tapi benarkah?
Pernahkah kau benar-benar melihat mata anakmu belakangan ini?
Bukan hanya sekilas…
Tapi menatap dengan hati, bukan dengan kewajiban.
Mungkin kau akan terkejut melihat apa yang selama ini luput:
Ada sembab samar di kelopak matanya.
Ada senyum kaku yang tak sampai ke ujung mata.
Ada “iya” yang terdengar seperti “tolong”.
Kau pikir ia baik-baik saja…
Karena nilai rapornya bagus. Karena ia patuh. Karena ia tidak membuat masalah.
Tapi siapa tahu, setiap malam ia menangis diam-diam.
Siapa tahu, ia terlalu takut mengecewakanmu, sampai-sampai menyembunyikan dirinya sendiri.
Anakmu Bukan Cermin Ambisimu
Engkau dulu lahir dari zaman sulit. Maka engkau pikir dunia ini keras, dan anakmu harus lebih kuat.
Lalu kau keraskan nada bicaramu.
Kau penuhi harinya dengan les, kursus, target.
Kau tuntut nilainya sempurna.
Kau suruh ia menjadi “anak hebat” — seperti anak si A, seperti putra si B.
Tapi pernahkah kau ajarkan ia untuk bahagia?
Pernahkah kau duduk bersamanya dan bertanya:
> “Nak… bagaimana hatimu hari ini?”
Bukan: “Sudah belajar berapa jam?”
Bukan: “Kapan bisa juara lagi?”
Bukan: “Kamu tahu, Ayah dulu ranking satu terus!”
Kau ajari ia mengeja angka dan kata.
Tapi kau lupa mengajarinya menyebutkan rasa.
Padahal luka yang paling sulit disembuhkan… adalah yang tak pernah bisa disebutkan namanya.
Data yang Bisu, Tangisan yang Tak Terdengar
Tak usah kita bicara statistik, meski itu penting.
Cukuplah kau dengarkan bisik batin generasi muda yang mulai enggan hidup.
Yang tubuhnya ada di rumah, tapi jiwanya mengembara ke tempat yang bahkan tak mereka pahami.
> Mereka tertawa di sekolah, tapi mual saat bangun pagi.
Mereka aktif di grup keluarga, tapi menyendiri di kamar berjam-jam.
Mereka bicara lancar di depan orang lain, tapi lumpuh saat ingin bicara padamu—orang tuanya sendiri.
Anak-anak ini tidak butuh gadget baru.
Mereka butuh kehangatan.
Mereka tak lapar makanan.
Mereka lapar dimengerti.
Orang Tua, Dengarlah…
Kau tidak gagal menjadi orang tua karena tidak kaya.
Tapi kau bisa kehilangan anakmu—meski rumahmu megah, saldo rekeningmu gemuk—
jika hatimu terlalu sunyi untuk mendengar mereka yang tinggal bersamamu.
Berhentilah membandingkan.
Anakmu bukan robot yang bisa di-upgrade.
Ia adalah manusia, dengan dunia kecil di dalam dadanya.
Berhentilah membentak karena hal sepele.
Mungkin kau lupa, tapi mereka mengingatnya selamanya.
Bahkan kalimat seperti “dasar kamu nggak bisa apa-apa!” bisa menjadi batu yang membebani bahunya seumur hidup.
Berhentilah mengatur tanpa memahami.
Kadang, anakmu tidak butuh solusi. Ia hanya ingin didengar.
Ia hanya ingin tahu bahwa rumahnya bukan hanya tembok, tapi juga pelukan.
Sebelum Semuanya Terlambat
Akan tiba saatnya mereka tak lagi ingin bicara.
Bukan karena mereka pendiam, tapi karena mereka sudah lelah.
Akan tiba masanya kamu mengetuk pintu kamarnya… tapi ia hanya menjawab singkat, tanpa semangat.
Akan tiba waktu kamu baru sadar:
Bahwa anakmu bukan hanya membutuhkan biaya—tapi juga jiwa.
Dan bila saat itu datang…
Mungkin kamu akan merindukan masa-masa di mana kau bisa bertanya:
> “Nak… kenapa kamu diam saja?”
Lalu ia masih mau menjawab.
Malam Ini, Tataplah Anakmu
Sebelum ia tertidur, masuklah ke kamarnya.
Duduklah sebentar di sisinya.
Tarik nafas, dan tanyakan dengan lembut:
> “Nak, kamu bahagia nggak jadi anak Ayah/Ibu?”
“Kalau ada yang berat di hatimu, boleh kok cerita…”
Dan bila ia tak menjawab, jangan paksa.
Tapi jangan juga pergi.
Cukup peluk.
Peluklah seolah itulah pelukan pertama yang benar-benar kamu berikan.
Dan bisikkan perlahan:
> “Maaf ya, Nak, kalau selama ini Ayah/Ibu belum benar-benar mendengar.
Tapi mulai malam ini… Ayah/Ibu mau belajar.”
Karena Anakmu Tidak Butuh Orang Tua Sempurna
Yang ia butuhkan… adalah orang tua yang mau hadir.
Yang tidak sibuk menilai, tapi siap mendengarkan.
Yang tidak menuntut bahagia, tapi bersedia membersamai luka.
Anakmu adalah anugerah, bukan proyek prestasi.
Ia tidak meminta dilahirkan, tapi ia percaya padamu untuk menjaga jiwanya.
Maka jangan biarkan dunia membentuknya…
Tanpa kau pernah menyentuh hatinya.
Buatlah anakmu tersenyum.
Bukan karena ia takut pada hukuman,
Tapi karena ia merasa dicintai… tanpa syarat.
Ditulis dalam rangka menyambut “Hari Anak Nasional 2025” yang diperingati setiap tanggal 23 Juli di Indonesia