Ketika Agama Hanya Menjadi Jubah: Keprihatinan Seorang Murid tentang Pendidikan Agama yang Gagal Memanusiakan

Breaking News
- Advertisement -

 

Anton Christanto
Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali

Mudanews.com OPINI – “Ada pendidikan agama pun begini, apalagi kalau tidak ada.”
Kalimat itu terdengar sinis. Tapi barangkali itulah cermin paling jujur yang bisa kita tempelkan di dinding ruang kelas, mimbar khutbah, atau kantor-kantor Kementerian Agama hari ini.

Saya bukan hendak menghapus pendidikan agama dari sekolah. Tidak. Saya juga tidak sedang menggugat eksistensi para rohaniawan. Tapi saya sedang mengajak Anda – para guru, pendeta, ustaz, pastor, biksu, dan rohaniwan lainnya – untuk duduk diam sejenak, melepaskan jubah dan gelar, lalu menunduk menatap hasil dari kerja keras Anda: Apakah anak-anak yang Anda didik makin bijak atau justru makin gemar menuding? Apakah mereka bertumbuh dalam kasih atau tumbuh dengan kebencian yang dibungkus dalil suci?

Agama Masuk Sekolah, Tapi Tak Masuk Hati

Lihatlah realita. Sekolah-sekolah kini dipenuhi hafalan doa dan kitab suci, tapi kosong dari kasih. Kita bangga dengan lulusan yang bisa mengucap ayat-ayat panjang, tapi gagap saat melihat temannya berbeda keyakinan. Kita anggap berhasil ketika anak-anak patuh berbusana syar’i, tapi abai saat mereka mencibir perempuan yang memilih pakaian berbeda.

Pendidikan agama telah menjelma menjadi pajangan – simbol, atribut, label. Tapi jiwanya mati. Ruhnya hilang. Ia berhenti sebagai “pelajaran”, bukan pembentukan watak. Ia sibuk menjaga simbol-simbol luar, lupa menyirami batin yang sekarat.

Lalu kita semua terkejut ketika anak-anak remaja kita menjadi intoleran, kaku, keras kepala, bahkan kasar – semua atas nama Tuhan yang katanya Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Di mana letak kasih dan sayangnya, kalau yang kita tanam justru kebencian terhadap yang lain?

Apakah Ini yang Dikehendaki Tuhan?

Para rohaniawan yang saya hormati, ijinkan saya bertanya dengan getir: Untuk siapa semua ini Anda ajarkan? Untuk Tuhan, atau untuk memuaskan ego Anda sendiri sebagai “pemilik kebenaran”?
Mengapa khutbah lebih banyak bicara tentang neraka daripada cinta? Mengapa mimbar lebih senang membakar semangat membenci “yang lain” daripada menyiramkan kasih bagi mereka yang berbeda?

Agama yang semestinya memerdekakan hati manusia kini justru mengekang dengan rasa takut. Tuhan yang kita ajarkan jadi tampak lebih senang menghukum daripada memeluk. Kebenaran dijadikan pedang, bukan pelita. Padahal bukankah agama itu jalan, bukan ujung? Bukankah iman itu proses, bukan penghakiman?

Saya Pernah Mempunyai Guru Agama… yang Tidak Menggurui

Saya pernah belajar agama dari seorang imam tua yang tak pernah memaksa kami percaya. Ia mengajar dengan cerita, dengan keteladanan, dengan cinta. Ia tidak pernah menyuruh kami menyebut nama Tuhan setiap saat, tapi kami merasakannya hadir dalam tindakannya.

Ia berkata: “Bukan doamu yang menyelamatkanmu, anakku. Tapi perbuatanmu bagi sesama. Dan bukan agamamu yang menjadikanmu baik, tapi hatimu yang lembut dan pedulimu yang nyata.”

Apakah Anda, para rohaniawan hari ini, masih mampu berkata seperti itu kepada anak-anak yang Anda ajar?

Cukuplah Bermegah dengan Simbol. Lihatlah Hasilnya.

Kini kita hidup di tengah masyarakat yang makin religius tapi kian bengis. Majelis-majelis ilmu penuh sesak, tapi akhlak kian rusak. Umat makin fanatik, tapi makin apatis terhadap penderitaan liyan. Anak-anak lebih fasih melabeli kafir dan bid’ah, daripada memberi makan kepada anak yatim tetangga.

Apakah ini yang Anda banggakan, wahai guru agama? Wahai imam, ustaz, pendeta, biksu, rohaniwan? Inikah hasil kerja kalian?

Jika ya, maka mohon maaf: kalian bukan sedang membimbing ke surga, tapi sedang menyiapkan generasi yang memperalat agama untuk membakar bumi ini jadi neraka.

Saatnya Introspeksi, Bukan Makin Garang di Mimbar

Cukuplah kita bermain di zona nyaman dalil. Cukuplah menambah jam pelajaran agama jika tujuannya hanya memperbanyak hafalan. Apa gunanya hafalan kitab suci, jika anak-anak yang hafal itu menolak menolong temannya hanya karena berbeda iman?

Kita tidak butuh lebih banyak sekolah agama. Kita butuh lebih banyak guru yang membawa nilai agama ke dalam hidup – bukan sekadar ke dalam catatan ujian. Kita tidak butuh lebih banyak pendeta dan ustaz, kita butuh lebih banyak manusia yang tahu cara bersikap adil, sabar, dan cinta kasih dalam pergaulan sehari-hari.

Agama Boleh Menjadi Jubahmu, Tapi Jangan Menjadi Topengmu

Agama bukan aksesoris. Agama bukan alat politik. Agama bukan pelindung ego. Jika semua itu yang kalian ajarkan, lebih baik diam. Lebih baik kosongkan kelas. Lebih baik akui bahwa kalian telah gagal menjadi perpanjangan kasih Tuhan.

Karena jika pendidikan agama justru melahirkan generasi yang lebih suka menghakimi daripada mengasihi, maka kalian telah menodai nama Tuhan yang kalian ajarkan itu sendiri.

Mimbar yang Kehilangan Cinta: Ketika Pendidikan Agama Tak Lagi Menjadikan Kita Manusia

Kita perlu jujur dan berani mengakui: Pendidikan Agama di negeri ini sedang kehilangan arah.
Yang seharusnya menjadi taman untuk menyemai kasih, justru berubah menjadi ladang yang menumbuhkan rasa curiga, kebencian, bahkan kekerasan simbolik. Anak-anak muda kita mulai melihat perbedaan sebagai ancaman, bukan kekayaan. Mereka diajarkan membela Tuhan, seolah Tuhan membutuhkan pembelaan, tapi tak diajarkan membela manusia yang terpinggirkan. Ironi tragis!

Agama menjadi topeng, bukan cermin. Kita menjadi gemar tampil taat, tapi malas bersikap baik. Semakin banyak simbol-simbol suci ditegakkan, semakin sedikit kasih sejati yang diwujudkan.

Mencabut Akar Masalahnya: Keberanian yang Telah Lama Hilang

Sebagian rohaniawan, pendidik agama, dan pemimpin ormas keagamaan mungkin akan berkilah: “Kami sudah mengajarkan nilai-nilai baik. Salahnya ada pada keluarga, media sosial, sistem pendidikan umum.”

Benar, lingkungan punya peran. Tapi pemuka agama tidak bisa cuci tangan. Justru karena Anda memiliki otoritas moral, maka tanggung jawab etika itu lebih berat. Anda tidak hanya bertanggung jawab atas kata-kata Anda, tetapi juga atas diam Anda saat melihat umat mulai tergelincir dari jalan cinta dan kasih.

Anda tahu persis bahwa sebagian besar isi khutbah hari ini justru memperkuat polarisasi. Anda tahu ada yang menggunakan rumah ibadah untuk menanamkan fanatisme, bukan kerendahan hati. Tapi Anda diam. Anda biarkan. Anda bahkan kadang memanfaatkannya untuk memperkuat posisi, pengaruh, atau… donor dan jemaah.

Ketika cinta dan welas asih tak lagi keluar dari mulut para pemuka iman, lalu kepada siapa rakyat kecil harus belajar menjadi manusia yang utuh?

Yang Kita Butuhkan: Revolusi Kemanusiaan di Pendidikan Agama

Sudah saatnya kita lakukan revolusi radikal dalam cara kita mengajarkan agama.
Mari tempatkan kembali nilai kemanusiaan sebagai fondasi utama pendidikan agama.

➡ Alih-alih menambah jam hafalan, beri ruang untuk dialog lintas iman.
➡ Alih-alih sibuk dengan atribut, ajari tentang sikap adil dan kasih kepada siapa pun.
➡ Alih-alih menyuruh murid untuk bangga dengan agamanya, ajari mereka rendah hati dan belajar dari pemeluk lain.

Masukkan etika sebagai inti. Bukan hanya moral dogmatis, tapi etika publik – bagaimana bersikap dalam masyarakat yang plural. Jangan ajari murid menyebut dosa-dosa orang lain, tapi ajari mereka mengenali kebusukan dalam diri sendiri. Jangan sekadar bangga pada ketaatan lahiriah; ajari murid mencintai manusia tanpa syarat.

Sebagian sekolah Katolik progresif kini bahkan mengganti pelajaran dogma dengan etika universal. Mereka tahu, iman tanpa perbuatan adalah kosong. Mereka sadar, Tuhan takkan bertanya berapa banyak ayat yang dihafal, tapi kepada siapa kasih telah diberikan.

Para Pemuka Agama: Jangan Cuma Pandai Berkhotbah

Wahai rohaniawan, Anda bukan hanya pengkhotbah. Anda adalah penuntun jiwa. Dan jiwa manusia hari ini sedang terpecah, tergores, dan tercerabut dari nuraninya sendiri.
Jika Anda terus menanamkan rasa takut, lalu siapa yang akan menumbuhkan rasa aman?
Jika Anda hanya bicara surga-neraka, kapan Anda akan bicara tentang nasib anak yatim, ibu tunggal, difabel, atau kaum minoritas yang dipinggirkan oleh sistem dan agama yang Anda agungkan?

Tugas Anda bukan menjadikan umat Anda mayoritas. Tapi menjadikan mereka cahaya.

Dan cahaya tidak pernah memusuhi gelap. Ia datang untuk menerangi.

Penutup: Kita Perlu Bangkit – Tapi Dimulai dari Dalam

Ini bukan ajakan menggugat agama. Ini seruan menyelamatkan agama dari kemunafikan.
Kita masih bisa membenahi semua ini – jika para rohaniawan, pendidik, dan pemimpin spiritual berani mengubah cara mereka bekerja. Jangan lagi memproduksi umat yang menghafal dalil tapi membenci tetangga. Jangan bangga jika jumlah jemaah penuh, tapi tak satu pun menyeka air mata orang tertindas.

Mulailah dengan doa yang lebih jujur. Dengan mimbar yang lebih lembut. Dengan kelas agama yang membuka hati, bukan menutup akal.
Karena pada akhirnya, bukan gelar “ustaz”, “romo”, “pastor”, atau “biksu” yang membuatmu mulia. Tapi bagaimana ajaran yang keluar dari mulutmu mengubah dunia menjadi lebih damai dan manusiawi.

Dan jika hari ini kita gagal melahirkan generasi yang lebih baik, maka bukan agama yang salah. Tapi kita – para pengajarnya – yang tidak layak menyebut diri sebagai pewarta firman Tuhan.

**

Catatan

Tulisan ini ditulis sebagai refleksi pribadi, bukan untuk menyerang lembaga atau agama mana pun. Namun justru sebagai ajakan terbuka bagi semua pemuka agama untuk bersama-sama memulihkan kembali fungsi utama agama: memanusiakan manusia.
Kita naiklan besuk pagi

Berita Terkini