Mudanews.com OPINI – Mungkin sekitar awal tahun 1991an saya menjadi bagian kecil dari satu proyek operasi hujan buatan yang digagas pemerintah pusat melalui BPPT kala itu. Sebagai operator radio komunikasi SSB menjadi penghubung antara darat dan udara, saat tim berupaya menaikkan debit air di dua PLTA Jawa Tengah, PLTA Tuntang dan PLTA Kedung Ombo. Kekeringan kala itu cukup kritis, dan BPPT diinstruksikan untuk memancing hujan di wilayah Rawa Pening, Kali Tuntang dan sekitaran Salatiga wilayah hulu dari sistem aliran air tersebut.
Beroperasi dari Pangkalan Udara Penerbangan Angkatan Darat, Ahmad Yani, Semarang. Setiap sekitar jam 9 pagi pesawat Pilatus Porter milik TNI-AU diterbangkan untuk survei mencari posisi awan cumulus, sedangkan operasi utamanya, penyemaian garam (NaCl) ke awan cumullus potensial pada ketinggian tertentu menggunakan pesawat Dakota milik TNI-AL.
Kini, lebih dari 30 tahun berlalu, membaca berita diberbagai media lokal/nasional terkait penjelasan Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung yang pada awal Juli 2025 melakukan rekayasa cuaca untuk mengalihkan hujan agar tidak mengguyur kota Jakarta yang sudah kewalahan menampung air, dan membuat warga kelimpungan akibat banjir diberbagai wilayah.
Target hujan buatan Pemprov DKI Jakarta bukan bendungan, seperti pengalaman saya dahulu, tapi menargetkan agar hujan dari langit Jakarta dipindah ke langit Bogor, Bekasi, dan Tangerang, sebelum awan itu (Cumullus) masuk ke ibu kota. Misi ini diluncurkan dari Bandara Husein Sastranegara, Bandung, proses teknisnya dari banyak pemberitaan masih mirip dengan cara dulu, mulai dari survei awan, identifikasi formasi awan cumulus, lalu penyemaian/seeding garam ke awan menggunakan pesawat.
Tapi ada satu pertanyaan penting, se-efektif apa rekayasa cuaca ini mencegah banjir Jakarta? Berdasarkan dari berbagai sumber terpercaya bahwa hujan buatan, atau rekayasa cuaca dilangit bukan solusi utama
Bukan Hanya Aliran Air, Tapi Bagaimana Perilaku Kita?
Jakarta tidak hanya dihantui hujan dari atas, tapi juga air kiriman dari hulu. Sungai-sungai seperti Ciliwung, Pesanggrahan, Angke, Krukut, Sunter, dan Kali Grogol semuanya mengalir dari wilayah hulu seperti Bogor, Depok, dan Tangerang Selatan, menuju teluk Jakarta. Ini berarti, meski Jakarta cerah, banjir tetap bisa datang, jika hujan turun deras di hulu dan air mengalir lewat sungai-sungai yang sudah lama dalam kondisi kritis akibat tumpukan sampah, eceng gondok, pendangkalan, bangunan liar, dll.
Kondisi sungai-sungai tersebut bukan tanpa masalah. Hampir setiap tahun, laporan dari BPBD dan Dinas SDA DKI mencatat bahwa:
- Sampah plastik dan limbah rumah tangga masih menyumbat aliran air, terutama di kawasan padat penduduk.
- Eceng gondokberkembang biak tanpa kendali di waduk dan bantaran kali, seperti di Waduk Pluit dan Kanal Banjir Timur
- Pendangkalan akibat sedimentasi membuat kapasitas sungai menurun drastis. Sungai yang seharusnya mampu menampung air dari hulu, kini cepat meluap.
Kondisi ini menjadi paradoks saat kita sibuk menggeser awan agar hujan tidak jatuh di Jakarta, kita lupa bahwa air tetap akan sampai ke depan atau dalam rumah kita lewat sungai yang tersumbat, menyempit, dan tak lagi mampu mengalirkan air sebagaimana mestinya.
Rekayasa cuaca adalah alat bantu. Tapijika sungainya kotor, salurannya tersumbat, dan warganya tetap membuang sampah ke kali, maka air yang ditahan di langit pun akan turun dari sela-sela tanah dan luberan sungai.
Di sinilah tantangan terbesar bagi Gubernur Pramono Anung dan semua pemimpin kota, mengajak warganya hidup tertib, menjaga lingkungan, dan membuang sampah pada tempatnya. Kampanye bersih-bersih, edukasi lingkungan, dan penegakan hukum bagi pembuang sampah ke kali harus dilakukan secara konsisten dan massif.
Hal ini bukan mustahil. Kita bisa belajar dari Singapura. Di sana, Sungai Kallang dan Sungai Rochor dulunya sangat tercemar. Namun di bawah kepemimpinan Lee Kuan Yew, pemerintah berhasil melakukan transformasi besar-besaran. Pemerintah tak hanya membersihkan sungai secara teknis, tapi juga mendidik rakyat dengan pendekatan disiplin dan insentif. Hasilnya, sungai-sungai di Singapura kini bersih dan menjadi pusat rekreasi warga. Tak ada yang berani membuang sampah sembarangan karena aturan tegas dan budaya yang tertanam sejak kecil.
Jika Jakarta ingin benar-benar bebas banjir, bukan hanya langit yang harus direkayasa, tapi juga pola pikir warganya. Rekayasa perilaku jauh lebih menantang dari rekayasa cuaca, namun jauh lebih efektif dalam jangka panjang.
Rekayasa cuaca adalah langkah ilmiah yang patut diapresiasi. Namun, sebagaimana pengalaman saya dahulu saat ikut dalam proyek rekayasa cuaca, tak cukup hanya “menurunkan hujan” atau “mengalihkan awan dan hujan”. Dibutuhkan penataan sungai yang menyeluruh, pola hidup bersih masyarakat, dan kepemimpinan yang mampu menjadi teladan dan penggerak budaya tertib.
Karena sejatinya, air akan selalu mencari jalannya. Dan ketika kita tak siap, air akan mengalir ke mana pun ia mau, termasuk ke tengah kota, menggenangi jalan, rumah, bahkan masa depan.
Kalibata, Jaksel, Jumat 11 Juli 2025, 05:45 Wib.
Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosmed, Aktif di Indonesia Demokrasi Monitor (InDemo).