Denny JA, Stella Christie, dan Qodari Duduki Kursi Komisaris PHE: Politik Balas Budi di Era Prabowo atau Keputusan Strategis?

Breaking News
- Advertisement -

 

Penulis : Anton Christanto Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali_

Mudanees.comOPINI | “Setiap kekuasaan selalu punya hutang. Dan dalam politik, hutang yang paling mudah dibayar adalah kursi jabatan.”Itulah ungkapan sinis yang merebak di tengah masyarakat pasca pengangkatan Denny Januar Ali (Denny JA), Stella Christie, dan Muhammad Qodari ke jajaran komisaris PT Pertamina Hulu Energi (PHE), anak usaha BUMN strategis di bidang energi.

Apakah ini murni keputusan berbasis kompetensi? Ataukah cermin telanjang dari politik balas budi Presiden Prabowo Subianto terhadap para pendukung setianya dalam kontestasi Pilpres 2024?

Peran Sentral Mereka dalam Pilpres 2024: Dari “King Maker” hingga “Opinion Shaper”

Sebelum membahas apakah mereka pantas duduk di kursi komisaris, publik perlu diingatkan kembali peran kunci ketiga tokoh ini dalam Pilpres 2024:

  1. Denny JA: Bukan sekadar pegiat survei. Denny adalah arsitek kampanye berbasis opini publik dan pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang sejak 2004 selalu hadir di setiap pilpres. Dalam Pilpres 2024, ia mendukung penuh koalisi Prabowo-Gibran, bahkan dengan gaya khasnya yang mempengaruhi opini publik melalui narasi, meme, dan literasi politik digit
  2. Muhammad Qodari: Direktur Eksekutif Indo Barometer dan figur televisi yang konsisten “mengawal” elektabilitas Prabowo-Gibran di berbagai forum. Qodari bukan sekadar analis politik biasa; dia adalah influencer politik elite yang membentuk narasi stabilitas politik dan keniscayaan kemenangan Prabowo.
    3. Stella Christie: Wakil Menteri Pendidikan Tinggi yang sejak masa kampanye menunjukkan simpati terbuka terhadap pasangan Prabowo-Gibran, dengan pendekatan berbasis akademik dan jargon “transformasi pendidikan” yang selaras dengan visi pemerintahan baru.
    Ketiganya—dengan cara berbeda—adalah bagian integral dari pemenangan politik, baik di level opini publik maupun di dapur strategi.

Politik Balas Budi: Mengancam Profesionalisme atau Mengokohkan Kekuasaan?

Mengangkat loyalis dan tim sukses ke posisi strategis bukanlah praktek baru dalam demokrasi Indonesia. Namun, perlu dicatat bahwa posisi di BUMN, apalagi di sektor strategis seperti energi, bukan sekadar posisi politis—ia adalah posisi teknokratis.

Pertanyaannya:

Apa relevansi keahlian Denny JA, Qodari, dan Stella dalam pengelolaan sektor migas hulu?

Apa kontribusi nyata mereka terhadap ketahanan energi, efisiensi bisnis BUMN, atau tata kelola korporasi?

Jika jawabannya hanya soal balas jasa politik dan koneksi kekuasaan, maka penunjukan ini layak dikritik sebagai bagian dari pembusukan meritokrasi yang semakin menjangkiti BUMN.

Resiko Serius: Demokrasi Merosot, Ekonomi Dikorbankan

Ada beberapa resiko nyata dari politik balas budi semacam ini:

  1. Pelemahan Tata Kelola BUMN: Komisaris semestinya menjadi watchdog yang menjaga integritas, bukan menjadi yes man yang hanya mengamankan posisi elite politik.
  2. Politik Menguasai Ekonomi: Jika BUMN menjadi bancakan politik, maka logika bisnis dan kepentingan rakyat akan dikalahkan oleh logika elektoral dan konsolidasi kekuasaan
  3. Investasi dan Kredibilitas Terancam: Investor domestik dan asing memantau setiap perombakan BUMN. Ketika kursi strategis diisi oleh orang tanpa kompetensi sektor, kepercayaan pasar bisa goyah
  4. Kemunduran Demokrasi: Politik balas budi seperti ini menciptakan oligarki baru, di mana elite yang dekat dengan kekuasaan mendapatkan imbalan besar sementara profesional berkualitas tersingkir.

Apakah Ini Pilihan Strategis?

Pendukung Prabowo bisa saja berargumen bahwa:

  • Denny JA dan Qodari memiliki jejaring politik dan sosial yang bermanfaat untuk mengelola isu-isu strategis yang mempengaruhi bisnis migas.
  • Stella Christie membawa nilai tambah akademik dan inovasi pendidikan yang relevan untuk pengembangan SDM di sektor energi.

Namun argumen tersebut lemah jika dihadapkan pada kenyataan bahwa pengelolaan migas hulu sangat teknis dan berisiko tinggi. Keputusan bisnis tidak bisa digerakkan oleh retorika politik atau survei opini.

Kemampuan vs. Tugas: Ketimpangan yang Mengkhawatirkan

Komisaris di BUMN bukan jabatan seremonial. Mereka memiliki tanggung jawab besar dalam:

  • Mengawasi strategi bisnis jangka panjang
  • Menilai kinerja direksi secara objektif
  • Menjaga transparansi dan akuntabilitas
  • Menyikapi dinamika geopolitik energi yang kompleks

Denny JA dan Qodari tidak memiliki rekam jejak dalam industri energi. Stella Christie, meskipun akademisi, juga tidak berasal dari sektor migas. Kesenjangan ini menciptakan risiko disfungsi pengawasan, potensi konflik kepentingan, dan kemungkinan manipulasi kebijakan demi agenda politik

Penutup: Ujian Besar bagi Prabowo

Presiden Prabowo Subianto kini tengah diuji. Apakah pemerintahannya akan terjebak dalam politik balas budi yang vulgar atau berani menegakkan prinsip meritokrasi dan profesionalisme?

Jika yang terjadi adalah konsolidasi kekuasaan dengan menempatkan loyalis di posisi strategis tanpa memperhatikan kompetensi, maka bukan tidak mungkin pemerintahan ini akan gagal membawa perubahan nyata yang dijanjikan.

Publik harus terus bersuara. Demokrasi bukan hanya soal pemilu, tapi soal bagaimana kekuasaan digunakan dan untuk siapa kekuasaan itu bekerja.

Berita Terkini