Penulis : Anton Christanto Pemerhati & Pengamat Sosial Politik di Boyolali
Refleksi Psiko-Sosial-Politik dan Kajian Hukum atas Kontroversi yang Tak Kunjung Usai
I. Pendahuluan: Ketika Kebenaran Menjadi Barang Langka
Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, kebenaran sering kali bukan lagi persoalan fakta, melainkan soal siapa yang menguasai narasi. Di negeri yang masyarakatnya kian terbelah oleh preferensi politik, sebuah cerita kecil bisa menjelma menjadi badai nasional. Isu seputar keaslian ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah salah satu cerminnya.
Dalam pusaran isu ini, seorang dosen tua dari Yogyakarta bernama Ir. Kasmudjo, yang hidup damai di hari tuanya, mendadak terseret ke dalam kegaduhan publik. Namanya disebut oleh Presiden dalam sebuah testimoni sebagai pembimbing skripsi. Namun, Kasmudjo, dengan keteguhan hati, menyatakan bahwa cerita itu tidak benar.
Kisah sederhana ini membuka pintu bagi sebuah perdebatan yang lebih besar: tentang kebenaran, manipulasi politik, psikologi massa, dan luka-luka dalam demokrasi kita.
II. Dimensi Hukum: Ijazah, Keabsahan, dan Fakta Administratif
- Posisi Hukum Ijazah Jokowi
Secara hukum, keaslian ijazah seseorang dapat diverifikasi melalui:
Arsip akademik di institusi pendidikan terkait.
Dokumen administratif seperti transkrip nilai, buku wisuda, dan daftar lulusan.
Kesaksian para dosen, alumni, dan arsip korporat kampus.
UGM secara resmi telah menyatakan bahwa Joko Widodo adalah alumni sah Fakultas Kehutanan UGM angkatan 1980, lulus tahun 1985. Bukti-bukti administratif mendukung fakta ini. Tidak ada temuan sahih hingga hari ini yang membuktikan bahwa ijazah tersebut palsu.
Dalam hukum Indonesia, pernyataan palsu terkait ijazah diatur dalam Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat. Namun tuduhan seperti ini tidak cukup hanya berdasarkan keraguan atau perbedaan ingatan semata. Harus ada bukti otentik dan pengadilan yang menetapkan kebenarannya - Politik Hukum dan Politisasi Hukum
Apa yang terjadi pada kasus ini adalah gejala lawfare—penggunaan hukum atau isu hukum sebagai alat serangan politik. Tuduhan palsu terhadap ijazah Jokowi tidak pernah bermuara ke proses hukum yang jelas, melainkan hanya beredar di media sosial, pengadilan opini, dan panggung politik. Tidak ada due process of law.
Fenomena ini mencerminkan bahwa hukum di Indonesia masih rentan ditarik-tarik ke dalam arus politik elektoral.
III. Dimensi Psikologi: Ingatan, Identitas, dan Psikologi Massa
- Psikologi Ingatan: Apakah Jokowi Bohong?
Manusia memiliki keterbatasan ingatan, terutama mengenai detail masa lalu yang sudah lama berlalu. Ilmu psikologi menunjukkan bahwa memori manusia bersifat reconstructive, bukan reproductive. Orang cenderung “membangun ulang” ingatan, bukan memutar ulangnya seperti rekaman video.
Penyebutan nama Ir. Kasmudjo oleh Jokowi bisa saja merupakan bentuk ingatan parsial atau confabulation—ketika seseorang mengisi kekosongan ingatan dengan sesuatu yang tampak logis atau familiar. Itu bukan kebohongan disengaja, melainkan distorsi ingatan yang umum terjadi, apalagi setelah puluhan tahun berlalu. - Mengapa masyarakat mudah mempercayai atau menolak isu ini?
Konfirmasi Bias: Orang cenderung mempercayai informasi yang sesuai dengan pandangan politiknya.
Efek Dunning-Kruger: Mereka yang memiliki sedikit informasi merasa paling yakin dengan kesimpulannya.
Dehumanisasi: Tokoh yang dibenci mudah dicitrakan sebagai ‘musuh’ yang layak diserang, tanpa nalar sehat.
Isu ini bukan soal fakta semata, melainkan soal identitas dan emosi
IV. Dimensi Politik: Narasi, Kekuasaan, dan Perang Wacana
- Politik Simbolik dan Pencitraan
Dalam politik modern, narasi tentang asal-usul, latar belakang, dan perjuangan hidup pemimpin sangat penting dalam membangun legitimasi. Jokowi, sebagai sosok yang membangun citra “wong cilik” dan “anak rakyat biasa”, sangat diuntungkan oleh kisah-kisah humanis tentang masa lalunya.
Penyebutan nama Ir. Kasmudjo mungkin tidak disengaja sebagai kebohongan, tetapi bisa dibaca sebagai bagian dari politik simbolik: membangun citra kerakyatan melalui kisah-kisah yang mengena di hati rakyat. - Oposisi dan Politik Distraksi
Di sisi lain, sebagian kelompok yang berseberangan secara politik memanfaatkan ketidaksesuaian cerita ini sebagai amunisi untuk mendeligitimasi Jokowi. Ini adalah contoh klasik dari political distraction: ketika isu besar dan substansial—seperti ekonomi, HAM, atau korupsi—disingkirkan oleh isu personal yang sensasional.
Hal ini berbahaya, karena mempersempit ruang demokrasi menjadi sekadar arena adu hoaks dan fitnah, bukan adu gagasan.
V. Ir. Kasmudjo: Simbol Kejujuran yang Terluka
- Dilema Moral Seorang Guru
Bagi Ir. Kasmudjo, persoalan ini bukan soal siapa yang berkuasa. Ia tidak punya ambisi politik. Yang ia jaga adalah satu-satunya warisan yang ia miliki: nama baik dan kejujuran. Baginya, integritas akademik adalah sesuatu yang suci. Ketika namanya dicatut dalam narasi yang tidak benar, ia merasa berkewajiban meluruskan—meski tahu bahwa kebenaran bisa membuatnya tersingkir, diserang, bahkan dihina.
Ia mewakili sosok-sosok yang kini kian langka: orang yang memilih kebenaran meskipun pahit, orang yang menolak diam meski sadar dirinya kecil di hadapan kekuasaan. - Korban dari Kekejaman Medsos
Kasus Kasmudjo juga memperlihatkan betapa brutalnya dunia digital saat ini. Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang demokratis, justru menjelma menjadi “ruang eksekusi” massal bagi siapa pun yang melawan arus. Fitnah, doxing, dan penghinaan adalah mata uang sehari-hari di ruang maya Indonesia.
VI. Refleksi dan Jalan Tengah: Belajar Dewasa dalam Demokrasi
Kisah ini meninggalkan pelajaran besar:
- Demokrasi membutuhkan kedewasaan: Mampu membedakan kritik substantif dengan serangan personal.
- Kebenaran memerlukan ketenangan: Dalam era informasi, kita butuh verifikasi, bukan sensasi.
- Hukum harus dijaga dari politisasi: Tuduhan harus diuji di pengadilan, bukan di linimasa media sosial.
Demokrasi Indonesia hari ini dihadapkan pada pilihan: apakah kita mau terus terjebak dalam politik identitas dan hoaks, atau kita mulai beralih ke demokrasi yang rasional dan beradab?
VII. Penutup: Keberanian yang Sunyi
Ir. Kasmudjo barangkali tidak pernah membayangkan bahwa di ujung usianya, ia akan menjadi simbol dari keberanian yang paling sunyi: keberanian untuk berkata jujur ketika dunia lebih memilih kebohongan.
Ia mengingatkan kita bahwa dalam masyarakat yang terpolarisasi, kadang orang jujurlah yang pertama-tama dikorbankan.
Bahwa kejujuran tidak selalu dihargai.
Bahwa dalam dunia yang penuh manipulasi, kebenaran bisa menjadi sebuah pemberontakan.
Kita semua adalah saksi dari luka sunyi itu. Dan tugas kita adalah memastikan bahwa bangsa ini tidak terus-menerus menertawakan kebenaran, mencaci kejujuran, dan merayakan kebohongan.