_Esai Akhir Pekan_ _Kholid Harras_
Mudanews.com OPINI – Di sebuah sudut Kota Yogyakarta yang damai dan rindang, di bawah naungan pohon jambu dan suara burung yang riang, hidup seorang mantan dosen sepuh bernama Irr Kasmudjo. Nama ini awalnya bukan siapa-siapa. Bukan nama yang sering muncul di berita nasional, bukan pula tokoh yang dikenal lewat baliho atau bendera partai.
Namun, di dunia akademik, khususnya di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Kasmudjo adalah sosok yang dihormati—bukan karena kekuasaan, tapi karena kesetiaan pada ilmu, ketekunan dalam membimbing, dan kejujuran yang tak pernah ia tukar.
Hari-harinya di masa pensiun adalah hari-hari yang ia bayangkan sederhana. Bangun pagi menyeduh teh, membaca koran di kursi kayu tua, bercengkerama dengan cucunya, dan menyiram tanaman di halaman. Ia tak banyak bicara tentang masa lalu, tapi ketika ditanya, matanya berbinar saat menyebut nama-nama hutan tropis yang pernah ia teliti bersama mahasiswa.
Baginya, pengabdian pada ilmu adalah jalan hidup. Dan hidup itu ia jalani dengan tenang, sampai sebuah nama dan pengakuan dari orang nomor satu di negeri ini mengubah segalanya.
Entah atas maksud apa, pada tahun 2017, Presiden Joko Widodo—yang saat itu tengah menjabat—dalam sebuah tayangan video mendapuk nama Ir. Kasmudjo sebagai pembimbing skripsinya di Fakultas Kehutanan UGM.
Dengan gaya bercerita yang santai, Presiden mengaku bahwa Kasmudjo adalah dosen pembimbing skripsinya yang sangat perhatian. Ia bahkan menambahkan kisah soal bolak-balik bimbingan, dimarahi, hingga akhirnya berhasil lulus.
Cerita itu viral. Cuplikan videonya beredar di media sosial, diangkat di media nasional, dan menjadi bahan obrolan. Warga di sekitar rumah Kasmudjo turut merayakan. Ada yang bilang, “Pak Kasmudjo itu pembimbingnya Presiden, lho!” Ada yang ikut bangga, ada yang ingin berfoto, dan bahkan ada wartawan yang datang mengetuk pintu.
Keluarga Kasmudjo yang semula tertawa bangga, lama-kelamaan mulai gelisah. Sebab ada satu hal yang tak banyak orang tahu: *cerita itu tidak benar.* Dengan suara pelan dan penuh kesadaran, Kasmudjo berkata kepada keluarganya: “Saya bukan pembimbing skripsi Jokowi. Bahkan bukan pembimbing akademiknya.”
Kalimat itu mengejutkan keluarganya. Istrinya diam lama, lalu bertanya lirih, “Lalu kenapa namamu disebut, Mas?”
“Saya tidak tahu,” jawabnya jujur. “Saya juga tak paham maksudnya. Tapi saya tahu saya tidak bisa diam terlalu lama.”
Bagi Kasmudjo, kebenaran bukan soal sensasi. Ia bukan politikus, bukan pencari sorotan. Ia hanya dosen tua yang meyakini bahwa dalam ilmu dan integritas, kejujuran adalah fondasi. Nama pembimbing dalam skripsi bukan sekadar administratif; itu adalah bagian dari sejarah intelektual mahasiswa. Maka ketika namanya digunakan dalam narasi politik yang menyesatkan, ia merasakan beban moral yang sangat berat.
“Nama saya tidak besar, tapi itu satu-satunya yang saya jaga selama ini,” tuturnya dalam sebuah wawancara klarifikasi. “Kalau saya diam, saya berkhianat pada diri saya sendiri. Juga pada ilmu.”
Klarifikasi itu tidak datang dengan lega. Justru setelahnya, badai baru datang. Media sosial kembali ramai, kali ini dengan tuduhan yang beragam: ada yang menyebutnya ‘pikun’, ada yang menuduhnya ikut bermain politik oposisi, bahkan ada yang meragukan kewarasannya. Dunia yang semestinya menghargai kejujuran, malah mengirimkan gelombang sinis kepada orang tua yang hanya ingin menyampaikan kebenaran.
Di rumahnya yang dulu tenang, Kasmudjo harus menghadapi kenyataan bahwa suara kejujuran bisa menjadi ancaman bagi narasi kekuasaan. Bahkan cucunya, Dira, yang masih duduk di bangku SD, suatu malam bertanya dengan polos, “Eyang bohong ya dulu?”
Kasmudjo terdiam lama. “Eyang tidak pernah bohong, Nak. Tapi kadang, ada orang yang membuat cerita sendiri dan menyebut nama kita di dalamnya—tanpa tanya dulu.” Jawaban itu sederhana. Tapi mengandung perih yang tidak kasatmata.
Apa yang dialami Kasmudjo bukan hanya tentang kesalahan informasi. Ini adalah cermin dari betapa kejamnya dunia politik yang berani mengorbankan nama orang lain demi menyempurnakan citra. Dalam drama kekuasaan, tokoh-tokoh seperti Kasmudjo—yang jujur, bersahaja, dan jauh dari sorotan—bisa dengan mudah dijadikan alat naratif, simbol palsu yang memperkuat legitimasi. Dan lebih menyakitkan lagi, saat sang tokoh bicara jujur, ia justru diasingkan oleh publik yang terlalu cepat memihak kekuasaan.
Ironisnya, di negara yang selalu mengklaim menjunjung guru dan pendidikan, kita malah menyaksikan bagaimana seorang guru yang jujur malah disudutkan. Apakah begitu murahnya harga kejujuran di mata publik? Apakah begitu kejamnya ambisi hingga nama orang tua pun bisa dicatut untuk menyusun kebohongan?
Kini, Ir. Kasmudjo menjalani hari tuanya dengan luka yang tidak ia minta. Ia tidak membenci siapa pun, tidak memaki, tidak menuntut. Ia hanya melanjutkan hidupnya dengan menanam pohon, membacakan cerita untuk cucunya, dan menulis catatan kecil di buku hariannya.
*“Saya tidak akan dikenang sebagai pembimbing Presiden. Itu bukan cerita saya,”* tulisnya di jurnal harian. *“Saya hanya ingin dikenang sebagai orang yang tidak diam ketika namanya dicatut dalam kebohongan.”*
Di halaman rumahnya, pohon jambu masih berbuah. Daunnya berguguran saat angin sore datang. Dan di kursi kayu tuanya, Kasmudjo duduk—tak lagi sebagai dosen, tak lagi sebagai bagian dari pusaran politik, tapi sebagai manusia jujur yang terluka karena kejujurannya sendiri.
Ia tidak ingin jadi tokoh. Ia hanya ingin tenang. Tapi dunia politik telah merampas ketenangan itu, menunjukkan bahwa bahkan di hari tua, seseorang masih bisa menjadi korban dari ambisi kekuasaan yang tak tahu batas.
Dan mungkin, dari kisah ini kita belajar, bahwa yang paling menyedihkan dari politik bukan hanya kebohongan yang dibuatnya, tapi *orang-orang jujur yang terpaksa menanggung akibatnya.*
Ir. Kasmudjo, dosen yang pernah menanamkan ilmu di hutan-hutan pengetahuan itu, kini mengajari kita pelajaran terakhir—bukan lewat kuliah, tapi lewat hidupnya: *Bahwa dalam dunia yang penuh manipulasi, kejujuran adalah keberanian yang paling sunyi.**