Penulis : Anton Christanto ,Pengamat & Pemerhati masalah Politik di Boyolali (alumni GMNI)
Pendahuluan
Mudanews.com OPINI – Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang menganut prinsip demokrasi konstitusional, setiap tindakan terhadap pejabat tinggi negara, termasuk Presiden dan Wakil Presiden, harus didasarkan pada aturan hukum yang jelas dan tidak bisa semata-mata didorong oleh dinamika politik, sentimen pribadi, atau tekanan kelompok tertentu. Wacana pemakzulan terhadap Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden perlu dikaji secara mendalam melalui lensa Hukum Tata Negara agar tidak menyesatkan publik serta menjaga marwah dan stabilitas demokrasi di Indonesia.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam Sistem Demokrasi Indonesia
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia diatur dalam Pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pasangan calon dipilih secara langsung oleh rakyat dalam Pemilu yang bersifat umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Proses ini merupakan manifestasi utama dari kedaulatan rakyat, yang telah menjadi pilar fundamental dalam sistem demokrasi Indonesia sejak reformasi 1998.
Legitimasi pasangan Presiden dan Wakil Presiden tidak hanya bersumber dari perolehan suara rakyat, tetapi juga dari pengakuan dan pengesahan hasil pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) jika terjadi sengketa.
Konsep Pemakzulan (Impeachment) dalam Hukum Tata Negara Indonesia
Istilah pemakzulan dalam hukum tata negara Indonesia merujuk pada mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945. Pemakzulan bukanlah proses yang mudah dan sewenang-wenang, melainkan suatu prosedur hukum yang ketat dan mendalam dengan syarat-syarat tertentu, yakni:
Pasal 7A UUD 1945 menyebutkan:
> “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa:
Pengkhianatan terhadap negara, Korupsi,Penyuapan, Tindak pidana berat lainnya, atau Perbuatan tercela, serta apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Artinya, pemakzulan tidak bisa dilakukan hanya karena ketidaksukaan, perbedaan pendapat politik, atau persepsi moral pribadi. Harus ada perbuatan nyata yang termasuk dalam kategori pelanggaran berat yang terverifikasi secara hukum.
Prosedur Pemakzulan
Prosedur pemberhentian Presiden/Wakil Presiden memerlukan tahapan hukum dan politik yang kompleks:
- Usulan dari DPR dengan syarat minimal 2/3 anggota DPR hadir dan disetujui oleh minimal 2/3 dari yang hadir.
- Pemeriksaan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menilai apakah tuduhan terbukti secara hukum
- Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk mengambil keputusan politik akhir.
Ini menunjukkan bahwa pemakzulan adalah mekanisme legal-judisial-politik, bukan semata-mata persoalan selera atau popularitas.
Analisis Terhadap Wacana Pemakzulan Gibran
Wacana pemakzulan terhadap Gibran Rakabuming Raka yang muncul belakangan ini lebih banyak dipicu oleh ketidakpuasan politik, sentimen publik terhadap dinasti politik, dan isu pelanggaran etik, khususnya soal putusan Mahkamah Konstitusi terkait batas usia capres-cawapres yang memungkinkan Gibran maju dalam Pilpres 2024. Namun, secara hukum tata negara, aspek-aspek tersebut tidak memenuhi syarat konstitusional untuk pemakzulan.
Beberapa poin yang perlu digarisbawahi:
- Tidak Ada Pelanggaran Hukum Berat: Sampai saat ini, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Gibran telah melakukan tindak pidana berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A UUD 1945.
- Putusan MK Bersifat Final dan Mengikat: Sengketa seputar pencalonan Gibran telah diselesaikan secara hukum di Mahkamah Konstitusi. Tidak bisa lagi menjadi dasar hukum untuk pemakzulan.
- Legitimasi Demokratis Terpenuhi: Gibran memperoleh mandat sah melalui proses pemilu yang telah diakui secara nasional maupun internasional.
Potensi Bahaya Jika Pemakzulan Disalahgunakan
Menggunakan isu pemakzulan untuk kepentingan politik jangka pendek dapat membawa dampak buruk bagi:
Stabilitas politik nasional,Kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi, Kesehatan sistem hukum dan konstitusi
Jika pemakzulan dijadikan alat politik, maka Indonesia bisa terjebak dalam praktik abuse of power dan erosi demokrasi sebagaimana terjadi di beberapa negara lain.
Penutup: Mengedepankan Etika Demokrasi dan Supremasi Hukum
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, setiap tindakan terhadap jabatan Presiden dan Wakil Presiden harus dilandasi oleh prinsip: Supremasi hukum,Legalitas dan Demokrasi konstitusional
Wacana pemakzulan terhadap Gibran yang tidak berbasis hukum justru berpotensi mencederai sendi-sendi demokrasi. Kritik dan oposisi politik tentu sah dalam demokrasi, namun harus disalurkan melalui mekanisme yang konstitusional, bukan dengan memanipulasi jalur hukum yang tidak sesuai.
Tugas kita semua sebagai warga negara adalah menjaga agar demokrasi tetap berjalan pada koridornya, menghormati mandat rakyat, dan mengutamakan stabilitas bangsa demi kesejahteraan rakyat Indonesia.