Refleksi atas Peradaban yang Lupa Diri
“Langit cerah, musik berdentum, dan cawan anggur bersulang… lalu bumi menggelegar.”
Mudanews – Opini | Pompeii, 24 Agustus 79 Masehi. Pagi itu tampak biasa bagi warga Pompeii. Burung-burung berkicau di bawah langit Italia yang jernih, sementara pasar mulai ramai oleh pedagang anggur, buah zaitun, dan minyak wangi. Di sudut-sudut kota, suara tawa menggema, menyambut hari baru dengan gairah yang tak pernah surut.
Pompeii hidup sebagai kota yang penuh warna dan kenikmatan. Dari vila-vila mewah para bangsawan hingga rumah bordil yang dilegalkan negara, semuanya berjalan tanpa batasan moral yang berarti. Lukisan erotis terpampang bebas di dinding rumah-rumah. Kuil untuk dewa kesenangan seperti Venus dan Bacchus berdiri megah. Di kota ini, rasa malu dianggap kuno — dan yang suci kerap dilecehkan.
Mereka tidak tahu bahwa tanah yang mereka pijak sedang menahan amarah ribuan tahun.
Tanda-Tanda yang Diabaikan
Beberapa hari sebelumnya, warga mulai merasakan gemetar halus di malam hari. Beberapa sumur mulai mengering. Hewan ternak terlihat gelisah. Tapi semua dianggap biasa. Lagi pula, pesta anggur akan digelar malam itu, dan kesenangan lebih menarik daripada rasa waspada.
Hingga siang hari 24 Agustus, Gunung Vesuvius meletus.
Langit seketika gelap. Awan abu hitam membumbung tinggi — bukan sekadar debu, tapi kolom panas beracun setinggi lebih dari 30 kilometer. Tak lama kemudian, hujan batu apung sebesar kepalan tangan mulai berjatuhan. Kota panik.
Namun itu baru permulaan.
Awan Kematian Meluncur
Gelombang awan panas — disebut awan piroklastik — meluncur dari Vesuvius seperti monster raksasa, menyapu semua yang hidup dengan suhu mencapai 400 derajat Celsius. Dalam hitungan menit, ribuan orang meregang nyawa. Ada yang membeku dalam pelukan, ada yang tertimbun dalam posisi berlari, dan ada pula yang sedang memeluk harta terakhirnya.
Mereka membatu — secara harfiah. Abu tebal mengubur tubuh-tubuh itu dalam posisi terakhirnya. Tak sempat berlari. Tak sempat bertobat. Tak sempat menyesal.
Waktu Membatu, Maksiat yang Diabadikan
Setelah terkubur sejak 79 M, reruntuhan Pompeii baru ditemukan kembali pada tahun 1748 M oleh seorang arkeolog Spanyol. Itu artinya, kota ini tertidur dalam abu selama hampir 1.700 tahun — nyaris dua milenium. Dan ketika arkeolog mulai menggali reruntuhan Pompeii, mereka dikejutkan oleh pemandangan yang nyaris tak berubah sejak hari kehancuran itu. Lukisan cabul tetap utuh. Rumah bordil masih lengkap dengan petunjuk arah. Bahkan, tubuh-tubuh manusia yang membatu ditemukan dalam pose-pose dramatis — seakan sedang menyampaikan pesan:
“Beginilah akhir dari kota yang penduduknya tidak bersyukur atas limpahan hasil bumi yang diberikan yang menertawakan nilai-nilai suci.”
Refleksi Hari Ini
Pompeii memang tidak “disebutkan” secara eksplisit di dalam Al-Qur’an. Tapi gaya hidupnya, kesombongannya, dan kelalaiannya — sangat mirip dengan kisah kaum-kaum terdahulu yang ditimpa azab: kaum Luth, ‘Ad, Tsamud, dan yang lainnya.
Mereka bukan tidak diberi peringatan. Mereka hanya terlalu sibuk berpesta, hingga lupa bahwa bumi bisa marah, dan langit bisa menangis.
“Dan berapa banyak negeri yang telah Kami binasakan karena mereka berlaku zalim, maka negeri itu kini roboh atap-atapnya dan sumur-sumur tak terpakai serta istana-istana yang ditinggalkan.”
(QS Al-Hajj: 45)
Penutup: Batu yang Berbisik
Kini Pompeii menjadi destinasi wisata dunia. Ironisnya, banyak pengunjung justru kagum pada estetika kehancurannya, bukan makna di baliknya. Tapi bagi mereka yang merenung, Pompeii bukan sekadar reruntuhan. Ia adalah batu yang berbisik, mengingatkan bahwa:
“Ketika manusia berpesta di atas tanah yang mendidih, maka yang datang bukan tepuk tangan, tapi amarah bumi yang membatu.”
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan feature refleksi sejarah, pendekatan naratif dan moral. Disusun berdasarkan sumber terbuka dan temuan arkeologis Pompeii, disajikan sebagai pengingat akan nilai, bukan sebagai dokumentasi sejarah akademik.