Overlapping Regulation di Indonesia

Breaking News
- Advertisement -

 

Oleh: Yus Dharman, SH., MM., M.Kn Advokat / Ketua Dewan Pengawas FAPRI (Forum Advokat & Pengacara Republik Indonesia)

Salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum di Indonesia adalah tumpang tindihnya regulasi (overlapping regulation), yang disebabkan oleh proses legislasi yang tidak terkoordinasi dengan baik antar lembaga, perbedaan tafsir antar instansi dalam menyusun norma hukum, serta campur tangan kepentingan politik praktis yang dilakukan oleh politisi demi kepentingan sektoral pemilik modal.

Akibatnya, masing-masing lembaga berlomba-lomba mengatur bidang tertentu secara terpisah, yang kemudian menghasilkan Undang-Undang yang saling bertentangan atau berulang.

Secara akademik, hal tersebut jelas tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, seperti asas kepastian hukum, asas keterpaduan, dan asas keselarasan.

Suatu hukum seharusnya dapat dipahami dan ditegakkan secara konsisten, agar masyarakat memiliki kepastian hukum. Selain itu, peraturan yang tumpang tindih atau bertentangan menimbulkan kerancuan dan membuka ruang konflik dalam pelaksanaannya di lapangan.

Namun dalam praktik politik dewasa ini, di mana banyak pengusaha merangkap menjadi penguasa, overlapping regulation justru dibiarkan untuk menciptakan celah hukum demi kepentingan bisnis, meskipun hanya sementara, sampai dilakukan harmonisasi atau revisi peraturan.

Hal ini merupakan masalah serius karena menghambat penegakan hukum, menciptakan konflik kepentingan, serta membuka peluang penyalahgunaan kewenangan.

Contoh yang nyata dari regulasi yang tumpang tindih adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, yang dalam pelaksanaannya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sebelumnya, izin lingkungan merupakan bagian tak terpisahkan dari izin pertambangan, namun setelah sistem perizinan usaha terpadu (OSS) diberlakukan, posisi izin lingkungan menjadi kabur dan tidak memiliki kejelasan hukum.

Tumpang tindih lainnya terjadi antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba.

Pasal 14 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menyatakan bahwa kewenangan pengelolaan pertambangan diambil alih oleh pemerintah pusat dari pemerintah daerah.

Kebijakan ini bertentangan dengan semangat otonomi daerah dan menyebabkan kebingungan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

Pertentangan lain terjadi antara Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya dalam hal penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.

UUPA mengatur tentang hak penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan atas tanah dan sumber daya agraria lainnya serta mengakui hak ulayat dan masyarakat adat.

Sebaliknya, Undang-Undang Kehutanan memberikan kewenangan penuh kepada negara dalam menetapkan kawasan hutan, yang sering kali bertentangan dengan hak-hak masyarakat hukum adat.

Keduanya memiliki pendekatan yang berbeda terhadap pengelolaan lahan dan sumber daya, sehingga perlu segera dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi agar tidak terus-menerus menimbulkan konflik hukum.

Perizinan tambang yang tumpang tindih dengan kawasan hutan atau lahan pertanian pangan berkelanjutan juga menjadi masalah, karena hutan adat atau tanah ulayat kerap diklaim sebagai kawasan hutan negara oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, meskipun klaim tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip pengakuan hak adat dalam UUPA.

Selain itu, terdapat konflik antara Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya dalam pengelolaan layanan kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas.

Ketidaktegasan pembagian kewenangan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota menimbulkan kebingungan dalam hal anggaran dan pelaksanaan pelayanan kesehatan di daerah.

Undang-Undang Otonomi Daerah juga sering berbenturan dengan Undang-Undang sektoral, seperti Undang-Undang Energi, Kelautan, dan Pertanian.

Dalam banyak kasus, pemerintah daerah ingin mengatur tata ruang dan perizinan secara mandiri, tetapi regulasi sektoral justru memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah pusat.

Ini sangat melemahkan fungsi otonomi daerah yang seharusnya memberikan kemandirian kepada daerah dalam mengelola wilayahnya.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang juga menjadi sumber tumpang tindih baru. Meskipun UU Cipta Kerja bertujuan menyederhanakan izin usaha melalui sistem OSS, banyak Undang-Undang sektoral seperti UU Lingkungan, Ketenagakerjaan, dan Pertambangan masih mensyaratkan izin khusus. Ketidaksesuaian ini menimbulkan ketidakpastian hukum di kalangan pelaku usaha dan birokrasi.

Oleh karena itu, perlu dilakukan harmonisasi regulasi secara menyeluruh oleh Kementerian Hukum dan HAM serta BPHN, untuk menyatukan dan menyelaraskan norma-norma hukum antar sektor.

Penyusunan Omnibus Law harus dilakukan secara komprehensif dan transparan, melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Judicial review terhadap pasal-pasal yang saling bertentangan perlu diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk memperoleh kepastian hukum.

Penegasan kewenangan melalui peraturan pelaksana seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri juga harus segera dilakukan. Penguatan peran DPR dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan legislasi merupakan langkah penting untuk mencegah tumpang tindih peraturan di masa depan.

Upaya pembenahan sistem hukum dan regulasi ini sangat penting untuk mendukung komitmen pemerintahan Presiden Prabowo dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Tanpa kepastian hukum, tidak akan ada keadilan dan pembangunan yang berkelanjutan. Semoga.

Berita Terkini