Oleh Erizeli Bandaro pada 4 Juli 2025
Mudanews.com OPINI – Matahari senja menetes lembut di langit Sudirman, mengubah rona besi menjadi semburat jingga redup. Tak lagi hitam pekat atau biru cemerlang, tetapi seperti awan yang menahan napas—diam, sejenak menolak bergeser. Di sebuah kafe di Pacific Place, empat sahabat lama berkumpul.
Aling, Silvy, Robert adalah sahabat satu almamater di Universitas Kristen. Walau aku bukan mahasiwa, Aling selalu ajak aku dalam diskusi mahasiswa Marhaen. Disanalah aku mengenal Silvy dan Robert. Kami membedah Marxisme, menyelami insan Minke dalam “Bumi Manusia,” sambil secangkir kopi dingin mengaburkan malam. Dialog-dialog kami penuh gairah. Tahun 1982-1985 adalah golden age kami yang sedang mencari jati diri dan penuh idealism
Kini, jalan hidup mereka berbelok: Aling menjadi Head of Representative MNC–Hong Kong. Silvy menjadi Analis pada IM Amerika. Robert sebagai advisory pada PE Eropa. Sementara aku tetap sebagai pedagang. Tidak berubah sejak mengenal mereka.
Aku melirik Aling. “Bagaimana dengan pekerjaan mu?” tanyaku.
“Ada tantangan,” jawabnya lembut. “Tapi prinsip—yang dulu kita pancangkan di diskusi—masih menjadi pegangan.”
Silvy meneguk kopi hitamnya. “Pasar global mungkin tak pernah tidur, tapi kita bisa menyisipkan keadilan sosial lewat strategi yang hati-hati.”
Robert menambahkan, “Nilai-nilai Marhaen tak lekang oleh waktu. Sekarang kita aplikasikan skala lebih luas, di forum multilateral.”
Kupandangi mereka. Ada kehangatan—bukan hanya karena kenangan, tapi karena rasa saling menghargai atas perjalanan masing-masing.
Aku tersenyum. “Aku hanya pedagang, tapi setiap interaksi adalah pelajaran. Dari kalian, kutahu bahwa idealisme bisa menapak dari tempat kos yang sempit hingga panggung dunia.” .
“Danantara,” kata Aling, lirih, sambil mengetik sesuatu di tabletnya. “Lembaga non-kementerian yang mengelola sebagian dana investasi negara. Katanya untuk mengefisienkan, mempercepat, dan menjembatani pembiayaan strategis nasional.”
Silvi menimpali, “Tapi struktur dan mandatnya… samar. Siapa bisa audit? Siapa yang menyetujui alokasi? Siapa yang mengawasi transaksi derivatifnya?”
Robert meneguk kopi hitamnya. “Danantara adalah shadow budget, Ale. Ini bukan sekadar instrumen. Ini cermin dari kepanikan fiskal yang disamarkan sebagai inovasi.”
Aku memandangi grafik SBN di notepad Aling. Yield naik terus. Foreign outflow meningkat. Penerimaan negara stagnan. Dan di bawah semua itu : DSR yang mulai mencekik.
“Kenapa kita butuh Danantara?” tanyaku.
Aling menjawab pelan, “Karena negara kehabisan ruang. SAL makin tipis. APBN dibebani bunga utang. Likuiditas semakin ketat. Bunga SBN terlalu mahal. Proyek PSN terus butuh dana.. Maka lahirlah instrumen alternatif. Danantara-lah jawabannya. Atau kamuflasenya.”
“Dividen BUMN tahun ini sekitar Rp80 triliun,” ujar Silvy. “Sebagian besar dialirkan ke Danantara untuk pembiayaan proyek strategis nasional. Portfolio Danantara sektor energi, transportasi, digitalisasi, dan mining. Katanya akan di-leverage lewat skema structured bonds, hybrid swaps, dan carbon monetization. Tapi dengan struktur yang kompleks—melibatkan konsorsium asing, SPV luar negeri, dan trustee yang tidak tunduk langsung pada hukum Indonesia.
“Siapa yang menilai feasibility-nya?” Tanya Aling.
Tak ada jawaban.
“Kalau proyek gagal?” tanya Robert. “Siapa yang tanggung jawab?”
“Tentu Negara,” jawab Silvi singkat. “Lewat jaminan sovereign guarantee tidak langsung.”
Aku menyandarkan punggung.
“Ini bukan efisiensi. Ini fragilisasi. Negara dipaksa menjadi market maker, tapi kehilangan kendali atas uangnya sendiri. Ini bukan soal lembaganya,” kata Aling. “Tapi soal desain dan manusia di dalamnya. Kalau mereka orang yang tak bisa dibedakan antara investasi dan rente, maka Danantara bisa jadi bom waktu. Bukan solusi.”
“Kita sudah pernah lihat ini,” kataku. “BLBI, obligasi rekap, sovereign wealth fund abal-abal, semua punya pola yang sama: uang rakyat jadi bancakan elite yang mengerti sistem, tapi tak punya tanggung jawab publik.”
Aling memejamkan mata sejenak. “Dan antara pasar dan rakyat, Danantara memilih pasar.”
“Ini bukan pembangunan,” ujar Silvi pelan. “Ini financial engineering. Ini transformasi negara jadi entitas korporat.”
Robert menambahkan, “Dan ketika rakyat menuntut transparansi, mereka akan bilang: ini teknis, bukan urusan publik. Padahal seluruh dananya berasal dari aset negara.”
Aku mengetuk meja pelan. “ Danantara tak sedang menyelamatkan negeri ini dari krisis. Ia sedang memperhalus kejatuhannya.”
Akhir April 2025. Pemerintah mengumumkan bahwa Danantara akan menjadi penyedia likuiditas utama untuk program PSN gelombang dua. Beberapa analis menyebutnya sebagai Fiscal Gamechanger. Tapi bagi kami, ini adalah fase baru dalam sejarah keterpisahan antara uang rakyat dan kedaulatan anggaran.
“Negara kehilangan kekuasaan atas dompetnya sendiri. Danantara bukan cuma lembaga. Ia adalah gejala—dari negara yang memilih akuntansi atas integritas, arsitektur keuangan atas akuntabilitas publik.
Mungkin negara ini tak akan tumbang oleh krisis. Tapi ia akan perlahan hilang—digerus oleh optimisme teknokrat tanpa pengawasan, dan kebijakan yang menjadikan publik sebagai penonton, bukan pemilik.”
“Ale,” suara Aling hampir berbisik. “Aku tak ingat kapan terakhir kali negara ini benar-benar mengendalikan keuangannya sendiri. Mungkin sejak burden sharing itu diberlakukan, semuanya berubah. Kita hanya berpura-pura punya pilihan. Sekarang tak ada lagi shock absorber. Likuiditas makin tipis, tax ratio mandek, dan kita masih berharap pasar akan terus percaya.”
Aling menggeser tabletnya padaku. Di layar terpampang kurva yang menukik naik: biaya bunga utang pemerintah. Angkanya mencengangkan. “Bunga utang sudah menembus 500 triliun. Dan itu bukan bunga dari utang baru. Itu beban dari tahun-tahun sebelumnya. Artinya, setiap APBN diawali dengan membayar masa lalu sebelum kita bisa membicarakan masa depan.” Kata Aling.
Aku bergumam pelan, “Refinancing.”
Aling mengangguk. “Dan pasar tahu itu. Mereka tahu kita menerbitkan utang bukan untuk ekspansi, tapi untuk menutup lubang yang semakin menganga.”
Silvi menatap kami tajam, langsung ke pokok masalah. “Kita sedang menghadapi tiga risiko utama: likuiditas, refinancing, dan nilai tukar. Dan jujur saja: kita tidak siap untuk ketiganya.”
“Kalau ekonomi melambat, penerimaan bisa anjlok. Tapi belanja rigid. Gaji ASN, subsidi, bunga utang… semua tidak bisa dikurangi. Ini bukan lagi soal kebijakan. Ini soal eksistensi fiskal.” Kata Robert
“Dan kalau SBN jatuh tempo bersamaan,” sambung Silvi, “dan tak ada yang mau beli… kita tidak default, tapi gagal bayar dalam arti yang lebih halus: menunda, memutar, menggoreng waktu.”
Aling menambahkan, “Dan jangan lupakan risiko ketiga: rupiah. Kalau nilai tukar goyah, utang valas kita meledak dalam semalam.”
“Ini yang paling menyedihkan..,” kata Robert. “Kita tahu semua risikonya. Tapi tak ada yang mau bicara terang-terangan. Pemerintah lebih takut pada sentimen pasar ketimbang pada kebenaran publik.”
Aku memandangi jendela kaca. Jakarta tetap tampak megah. Tapi di bawah lapisan gedung-gedung itu, denyut ekonomi mulai tak sinkron dengan narasi. “Kalau ini musik,” kataku pelan, “maka kita sedang menari dalam irama yang dibuat-buat. Tempo sebenarnya lebih lambat. Tapi kita dipaksa terus cepat.”
Malam itu, hujan masih turun. Televisi di ruang café menyiarkan pidato pejabat fiskal: “Ekonomi kita tetap tumbuh. Pasar tetap responsif. Kita dalam kondisi aman dan terkendali.”
Kami diam. Karena kami tahu—dan semua yang berpikir tahu—ini bukan soal aman, tapi soal bertahan dengan tubuh yang luka dan otak yang lelah. “Negara ini sedang berjalan di atas tali. Tapi tali itu makin tipis, dan angin makin kencang. Dan semua yang di bawah hanya bisa menatap, berharap si penyeimbang tidak tergelincir. Karena sekali jatuh, semua akan ikut hancur.”
“Inevstor asing kami tidak bisa terus menahan portofolio di Indonesia,” katanya Silvi, risiko terlalu besar, reward terlalu kecil.” Lanjutnya.
Saat pemerintah bicara pertumbuhan,” kata Robert “Tapi yang investor asing lihat adalah: defisit naik, rupiah goyah, dan tidak ada reform yang serius.
“Mereka tidak percaya lagi,” kata Silvi. “Dan saat investor mulai keluar, tak ada lagi yang bisa ditahan. Bahkan BI pun tak bisa melawan kalau modal keluar serentak.”
“Negara ini tidak punya kedaulatan fiskal, Silvi. Kita membanggakan APBN, tapi nyatanya itu hanya brosur. Yang menentukan arah bukan kita. Tapi pasar.” Kata ALing.
“Ini bukan APBN, Ling,” kata Robert sinis. “Ini spreadsheet yang disusun untuk menyenangkan pasar.”
“ Pemerintah mengumumkan bahwa 35% SBN jangka menengah kini dipegang investor asing. Lebih dari separuh transaksi SBN dipengaruhi oleh capital flow global. Rupiah tergantung pada arah bunga The Fed. “ Kataku
“Dan kalau pasar marah, semua retorika tentang ekonomi itu tinggal narasi. Kita tak bisa menentukan nasib sendiri, bahkan untuk membiayai gaji guru pun, kita harus tunggu sinyal dari fund manager London atau Singapura.” Kata silvy.
“Negara ini telah menjual kemerdekaannya dalam bentuk surat utang.” Kata Aling.
“Kalau pemerintah terus menunda pembenahan struktural, nanti bukan hanya investor yang meninggalkan. Tapi juga rakyat. Dan ketika dua-duanya pergi, apa yang pemerintah kelola selain ilusi?” Kata Robert.
“Kau tahu, Ale?” lanjut Robert lirih. “Yang paling menyakitkan bukan karena kita sedang tidak baik baik saja. Tapi karena mereka—yang duduk di atas sana—masih berkata semuanya baik-baik saja. Masih menyuapi publik dengan grafis-grafis palsu.”
“Kalau kita tak bisa menyelamatkan negeri ini,” kataku, “setidaknya kita bisa tetap waras di tengah kegilaannya.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam sekian lama, kami terdiam dan hening lama seperti kehilangan kata kata. Kami masih berharap pada pemimpin negeri itu agar berpihak pada akal sehat dan keberanian moral.
“Aku lelah, Ale,” kata Aling.
Aku tak menjawab. Karena aku tahu lelahnya bukan hanya dari kerja, tapi dari menyaksikan harapan yang perlahan menguap.
“Usia kita sudah diatas 60. “ Ujar Aling menatap kami satu persatu. “Ingat waktu masih muda tahun 83. Saat acara bedah buku, Bumi Manusia. Aparat datang membubarkan. Dan kita seperti anjing jalanan di paksa naik ke atas truk oleh Tentara. Ingat engga apa kata Minke dalam dialoghnya buku Bumi Manusia “Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.”
Dan kamu ingat engga” Timpalku. “ kata kata dari Nyai Ontosoroh, Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri.”
Aku menatap mata mereka. Mata yang dulu penuh semangat, kini memuat kegetiran. “ Musuh kita sejak belum merdeka sampai kini sama, yaitu feodalisme.! Kataku